“ Waltz ? “

“ Ya, aku tahu kau pasti bisa. “ Kataku.

Langkah demi langkah kaki kami bergerak sesuai dengan ketentuan tarian, tak kusangka Roderick dapat menarikannya dengan baik sekali. Aku kira dia akan menginjak kakiku. Kuakui dia punya refleks tubuh yang bagus.

Bahkan kedua mata kami saling bertatapan, saling menukar daya sensual tarik menarik antara kutub selatan dan utara yang mampu membangkit gairah akan keinginan saling memiliki. Dan pada akhirnya aku kalah juga oleh daya pikatnya yang luar biasa tak tertandingi.

Tahap terakhir pun dilakukan secara halus dan lebih dramatis, Roderick sengaja  hampir menjatuhkan aku ke bawah namun kekuatan kedua tangannya yang kuat menopang tubuhku dengan mudahnya.

Mengangkat kembali tubuhku secara pelan sementara kepalaku masih menengadah ke atas sembari kupejamkan kedua mata ini. menikmati setiap detik sentuhan jari jemarinya yang dingin menelusuri relung leher—mencumbunya di sepanjang rahang dan leher. Sentuhan kulitnya menggetarkan jiwaku, aroma tubuhnya pun menggelitik bulu kudukku hingga meremang. Satu kecupan mendarat mulus di bibir ini, cumbuan yang kulakukan terasa menjadi lebih bergairah. Seolah-olah aku sedang melampiaskan terlalu banyak cinta, seketika tak ada kelanjutannya lagi karena dia langsung membawaku berdiri tegap tanpa basa basi. Menjauhkan aku darinya.

“ Apa yang kau lakukan ? “ tanya Roderick. Sikapnya berubah dingin.

“Apa ? “ tanyaku tak mengerti.

“ Kau hampir saja membuatku melewati batas kemampuan pengendalian diri. “ Maksudnya tentang pengendalian diri, apakah mengarah pada gairah seksual seorang lelaki. Aku melongo tak percaya mendengarnya, tapi mulut ini kututup rapat oleh kedua tanganku, takut kelihatan jelek.

“ Maaf, tak sengaja. Memang kapan aku melakukannya ? “ tanyaku antara rasa tak enak dan bingung.

“ Sepanjang kita berdansa. “

“ Benarkah ? Justru aku malah berpikir sebaliknya. “

“ Ganti bajumu, kita pergi. “ Katanya cepat, dia tak membalas pernyataanku barusan malah terkesan mengalihkan pembicaraan. Adakah sesuatu yang menganggunya.

“ Hei, aku belum selesai. “ cegahku.

“ Gadis yang baru cedera jangan terlalu lama berlatih, aku tunggu kau di luar studio. “ Katanya mengingatkan lalu meninggalkan aku sendiri. Dia berjalan cepat sekali seperti melayang di udara, tampaknya tubuh tinggi dan berototnya tak memberikan hambatan besar.

Aku buru-buru memakai kembali pakaian dan menanggalkan baju senam di dalam tas. Aku ingin secepat mungkin berada disisi Roderick lagi. Aku berharap hari-hari ke depan yang kami jalani akan terasa indah, meski aku tahu, perselisihan akan selalu hadir dalam membangun suatu hubungan.

Tak mengapa, karena hari ini aku sedang menikmati indahnya suatu hubungan asmara.       Setengah berlari aku keluar dari ruang studio lalu mengerem mendadak karena Roderick berdiri tak jauh dari pintu studio, aku sempat kaget. Kemudian senyumnya langsung mengembang sempurna saat aku datang. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya.

Kulitnya terasa dingin sama seperti yang kurasakan sebelumnya. Aku berpendapat kemungkinan dia kedinginan karena udara di luar dan yang kedua kekurangan darah. Namun sejurus kemudian, dia melepaskan genggamannya padaku dan membiarkan tanganku bebas tak tersentuh. Sedikit keberatan tapi aku memaklumi keinginannya.

“ Tanganmu dingin ? Apa kau selalu kedinginan ? “ tiba-tiba aku bertanya hal mendasar. Mungkin akan mengusik perasaannya. Tapi aku penasaran.

Dia tak menjawab hanya tersenyum sampai kami tiba di depan taman sekolah yang cukup lengang dari siswa-siswa sekolah ini. Dia pun menjawab. “ Ya, memang dingin. Bagaimana menurutmu ? “ tanyanya padaku.

“ …. Sebetulnya aku punya dua teori untukmu. Pertama, mungkin kau memang kedinginan dan kedua mungkin kau kurang darah atau semacamnya. “ Aku mengendikkan bahu, merasa tak percaya bisa mengatakan hal bodoh tak beralasan demikian. “ jika kau mau, aku bawa sarung tangan untuk menghangatkanmu. Ya setidaknya cukup hangat. “ Kataku menawarkan agak ragu-ragu, setidaknya berusaha membuat dia lebih ceria.

Dia tertawa kecil lalu berkata. “ Terima kasih, kau baik sekali. Teorimu hampir mendekati tapi aku lebih suka teori yang kedua. “

“ Benarkah ? Kenapa ? “

" Aku terlahir memang akan selalu kekurangan darah. “ Jawabnya sederhana. Tetapi kedengarannya tak sesederhana itu bagiku, yang punya tekanan darah normal.

 “ Well, aku bisa mendonorkan darahku padamu. “

Pernyataanku barusan membuatnya berhenti berjalan—raut mukanya berubah tak senang, kurasa sedikit kesal walaupun terjadi hanya dalam hitungan detik saja, tak lama. Lagi-lagi dia hanya mengutarakan senyuman sempurnanya. “ Aku tak tahu kau perhatian sekali. Tapi terima kasih, mencobanya pun aku tak mau. Kau terlalu berharga daripada sebuah makanan. “ Ujarnya—kagum.

 “ Hei, apa kau punya bunga favorit ? “ Roderick mengalihkan pembicaraannya pada hal-hal yang kusukai.

“ Mm, aku suka bunga yang berkaitan dengan mawar, lili, yang beraneka warna lalu… bunga yang mekar di musim semi, sangat indah. “

“ Bagaimana dengan warna ? “ tanyanya lagi.

“ Tidak ada warna favorit, aku hampir menyukai semuanya. Tergantung suasana hati. Kesannya aku hanya tak ingin berbuat diskriminasi. “

“ Terlalu berlebihan. “ Komentarnya, “ apa kau pernah keluar dari kota kecil ini ? “ sekali lagi dia bertanya.

“ Ya tentu… aku ingat pernah ke Maroko, lalu… “ Aku tertegun diam sedang berpikir, alis ini berkerut, “ aku pernah kemana saja ya ?” gumamku bingung. Pandanganku ke bawah sambil menggigit kuku,  “ aku… lupa. “

“ Kurasa amnesia yang kau derita cukup parah juga ya, “ sahut Roderick santai.

“ Bisa dianggap seperti itu. “ Aku terdiam sebentar, “ tak terpikir olehku untuk menggali tentang diriku sendiri. “ lanjutku setengah bergumam.

“ Setidaknya kau punya paspor. “ Sambung Roderick.

“ Ng ? Maksudmu ? “ tanyaku tak mengerti.

Dia tak menjawab hanya menunjukkan senyuman memabukkan nan sempurna itu, sikap tenang terkesan muram kebanyakan sengaja diperlihatkan padaku. Seolah-olah menyimpan suatu rahasia terpendam dalam hidup, dimana kemungkinan besar tak ingin diberitahukan padaku.

Aku rasa, posisiku yang masih baru di sisinya dinilai belum cukup pantas mengetahui tentang rahasia hidup yang dia miliki. Aku pun tak mau memaksa atau mendesaknya. Tetapi aku berharap dugaanku salah kalau kesan muram dibalik ketenangannya bukanlah menyimpan suatu rahasia.

“ Aku antar kau pulang. “ Katanya.

“ Yah, “ aku menghela napas, “ sebenarnya, um, aku ingin sedikit lebih lama lagi denganmu. “ Ujarku—berkata jujur.

“ Benar ? “ kedua alisnya mengangkat terkejut.

Aku mengangguk membenarkan ucapanku sendiri. “ Apa kau tertarik datang ke rumahku ? “

“ Kau mengajakku ke rumahmu ? Kau yakin ingin mengundangku ? ”

“ Ya. “ Jawabku mantap, “ aku akan memasak untukmu. “ Bujukku.

Roderick hanya tersenyum geli mendengar kalimat bujukanku, seakan-akan dia tak begitu yakin kalau aku handal dalam memasak. Dia tak tahu aku belajar memasak sejak berusia dua belas tahun, aku benar-benar seorang juru masak terpercaya di keluargaku sendiri.

Teringat masa-masa itu Ketika Mom masih belum bekerja, aku bersamanya akan menghabiskan waktu di dapur jika les menari selesai. Menggeluti kedua bidang tersebut cukup menyita banyak waktuku sebagai kanak-kanak, di kala teman lainnya sibuk bermain, aku malah menghabiskan di dua tempat. Walaupun aku menyadari kalau aku menyenangi aktivitas tersebut. Memfokuskan diri pada pembelajaran tehnik-tehnik dasar menari dan memasak. Pantas kudapatkan.

Mom sangat berjasa dalam pembentukan karakter kemandirian dalam diriku untuk tidak tergantung pada orang tua. Walaupun selintas dalam pikiranku berkata, aku hanyalah pengganti dirinya jika sewaktu-waktu sibuk bekerja.

Hello My Dear Dark Lover #Book 1Where stories live. Discover now