after (13)

296 54 7
                                    

"Kabari kalo kamu minta dijemput."

"Nggak dok, saya bisa pulang sendiri naik taksi. Eunsang pasti nunggu bapaknya di rumah."

Seungwoo tersenyum begitu Arin mengingatkannya.

Memang dia akui, sejak dia dan Arin memutuskan untuk sama-sama memiliki hubungan di luar konsulen-residen, pria itu sedikit lebih banyak menikmati dunianya sendiri.

Membuatnya harus tergesa-gesa untuk urusan rumah, beruntung Arin mengingatkannya.

"Good luck."

Arin merasa hangat menjalar dari tangannya lalu meluas ke seluruh tubuh, saat Seungwoo menggenggam tangannya.

"Makasih dok."

Hingga Arin turun keluar mobil, Seungwoo masih menatapnya, menunggu sampai wanita itu masuk ke dalam kediaman orang tuanya.

Keduanya saling melambaikan tangan sesaat setelah Arin memantapkan niatnya sejak dua hari lalu untuk bertemu mami malam itu.

Kemudian keduanua berpisah saat Arin mulai memasuki pekarangan rumah, sementara Seungwoo melajukan mobilnya menuju jalan pulang.

***

"Papah kemana aja sih? Pulang telat lagi. Perasaan jalanan ga macet-macet amat."

Eunsang otomatis mengomel saat tau si bapak sudah kembali setelah dia memandangi jalanan di bawah sana yang terpantau ramai lancar.

"Habis nganterin tante Arin. Laper kan? Makanya cerewet."

Seungwoo ingin melihat reaksi anaknya begitu tahu kalau dia telat pulang ke rumah karena memilih mengantar Arin lebih dulu, barulah pulang. Apa bocah itu akan cemburu atau marah.

Tapi justru di luar dugaannya.

Eunsang malah sibuk menyambut kedatangan makan malam yang di bawa bapaknya. Seolah-olah rasa sebalnya yang tadi hanya angin lalu.

Seungwoo terkekeh.

Meskipun masih kelas tiga SD, Eunsang kepikiran kalo dia merasa terlalu gampangan, karena disuap pake makanan aja udah lemah. 

"Pah, kayanya aku pilih masuk ekstra musik deh." Pamer Eunsang begitu keduanya larut dalam hidangan masing-masing.

"Ganti lagi? Kenapa? Jadwalnya bentrok?"

"Engga. Jadwal mah gampang, bisa diatur. Tapi kayanya aku butuh kegiatan yang bisa buat self healing gitu pah."

Eunsang mengambil satu potong ayam lagi sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Papah kan sering muter lagu-lagu instrumen gitu kan akhir-akhir ini kalo berangkat sekolah. Kayanya itu yang bikin aku tertarik masuk ekstra musik."

"Yo... Jadi udah nemu passion-nya nih? Udah fix?"

"Kayanya. Aku mau renungan lagi sebelum tidur."

Seungwoo meneguk cola-nya sebelum memberi pengakuan.

"Papah udah sempet bingung mau ngarahin kamu pilih ekstra apa. Papah sengaja taruh mainan bola di depan tv, setel lagu-lagu klasik kalo di mobil, ajakin kamu masak kalo weekend. Tapi kayanya emang kamu lebih suka sama yang lagu-lagu itu."

Tak lupa si bapak juga menuangkan air putih ke dalam gelas milik Eunsang.

"Jadi papah kasih bocoran strategi nih? Maaf pah. Kayanya bakat sepak bola papah ga menurun sama sekali, jadi bolanya nganggur aja di sana."

Keduanya tertawa bersamaan di tengah obrolan makan malam itu. Seungwoo juga ga sadar kalo dia jadi makin blak-blakan sama anaknya sendiri.

Biarlah, paling tidak dia ga melihat Eunsang merasa tertekan untuk memilih ekstra sekolahnya.

Seungwoo sempat khawatir saat Johnny cerita kalo anaknya rewel hanya karena bingung membuat pilihan antara les pelajaran atau les bakat.

Si bapak lega karena Eunsang bisa mengontrol emosinya sendiri meskipun masih harus dibimbing beberapa kali. Wajar sih, kan masih kelas tiga sd.

"Oya, pah. Aku dapet chat dari tante Arin tadi sore."

Mendengar ada kata Arin disebut, seketika Seungwoo merasa ada energi masuk begitu saja membuat netranya melebar.

"Katanya tante mau kasih aku hadiah tapi tante gatau aku suka apa." Lanjut si bocah dengan muka polosnya.

"Terus, kamu bales apa?"

Seungwoo tidak bisa mengendalikan rasa antusiasnya melihat ada interaksi antara si anak dan si kekasih.

"Aku bilang, keyboard piano mungkin(?) Soalnya aku lagi mikirin ekstra musik waktu tante Arin chat aku."

Seungwoo menelan ludahnya. Kenapa anaknya jadi materialis gini.

***

"Lo ga nginep sini dulu, Rin?"

"Engga. Gue balik langsung ke rumah sakit. Kerjaan gue banyak."

Arin berdiri tegak setelah mengenakan sepatunya.

"Oh ya. Bilangin ke mami suruh berhenti nangis. Malah jadinya gue yang keliatan jahat ke dia, padahal sebaliknya."

Arin sedikit memelankan suaranya di akhir, menghindari Rian yang mungkin akan sakit hati jika mendengarnya.

"Gue ikut lo deh. Gue nginep rumah lo ya. Gue juga sumpek liat mami."

"Ngawur. Di rumah ada Jiho."

"Ya udah gue ikut lo ke rumah sakit."

"Nope. Besok lo sekolah."

Arin mengeluarkan beberapa lembar uang lalu menaruhnya di atas telapak tangan si adik.

"Lo tuh masih masa pertumbuhan, biar tulang lo cepet sembuh juga, makan yang banyak."

Rian memandangi lembaran uang di tangannya yang bahkan dia peduli soal berapa banyak nominalnya.

"Kak-"

Arin berbalik setelah hampir membuka pintu rumah. Saat bocah itu memanggilnya bukan dengan nama, artinya dia bener-bener pasrah.

"Gue juga pengen bebas kaya lo."

Arin menepuk pundak Rian dengan gentle. Memahami apa yang dirasa Rian saat terkurung di dalam kuasa orang tua yang over-protective.

Ya sekalipun sekarang sudah bahkan berkurang, tapi bocah remaja itu masih merasa tertekan untuk beberapa hal.

"Gue janji bantu lo, tapi ga sekarang. Sekarang, lo sekolah dulu yang bener, sampe lulus, habis itu gue bantu lo keluar dari sini."




kayanya makin aneh aja ini cerita -_-

After | Han Seungwoo ✔Where stories live. Discover now