Bel masuk sekolah tinggal lima menit lagi, tapi Jisoo tidak juga berhenti memainkan game Day Dream House yang sudah menemaninya sejak jam satu pagi. Jisoo belum berhenti sekalipun karena baginya, game adalah tujuan hidup sedangkan belajar adalah sampingannya.
"Hidup ini cuma sekali dan harus dinikmati. Ini cara gue menikmati hidup." Kata Jisoo ketika ditegur teman sebangkunya, Lisa Manoban.
"Iya hidup cuma sekali karena abis ini lo bakal mati ditampol sama bokap lo." Lisa menjitak kepala temannya. "Udah tau hidup cuma sekali, bukannya bikin orang tua bangga."
Jisoo mengelus kepalanya—pura-pura kesakitan. "Aduh, Lisa, my best friend. Inget jargon gue, kan? I'm Jisoo, I'm okay. So don't worry."
"Im jisi im iki." Lisa mengejek teman sebangkunya yang belum juga lepas dari game jual beli apartmentnya. "Dikit lagi bu Jelita masuk, loh. Gue gak ikut-ikutan kalo hape lo sampe disita sama dia."
"Santai sama bujel, mah." Mata Jisoo masih menatap karakter di dalam gamenya yang sedang melakukan tawar menawar. "Udah CS."
Lisa berdecak gemas. "Bujel, bujel. Bu Jel! Emang bener-bener ya lo miss smartphone but not smart enough to manage your dream. Hape terus! Dah ah."
Sementara bu Jelita, sang guru Matematika yang terkenal killer itu sedang menjelaskan teori entah tentang apa, anak-anak di barisan belakang sepertinya punya cukup nyali untuk tidak memperhatikan materi tersebut. Mereka sedang membahas tentang bot chat yang saat ini tengah ramai diperbincangkan oleh teman-teman di sekolah Jisoo. Bot itu ada di dalam aplikasi Telegram di mana kita bisa berinteraksi dengan siapapun secara personal dan anonim. Kita tidak perlu mengunggah nama dan foto asli, cukup jenis kelamin, itu pun tidak harus.
"Seru gak?" Lisa berbisik kepada Suho yang tengah mempromosikan bot chat anonymous layaknya lulusan S3 Marketing Harvard.
Suho mengangkat kedua jempolnya. "Banget. Gue udah kenalan sama beberapa orang. Cuma ini tuh bot baru, Lis. Makanya baru bisa di Jakarta Selatan aja jangkauannya. Untung kita anak jaksel, ya."
Lisa memutar bola matanya, sebal. "Gue mau coba, ah. Chu," ia menoel lengan Jisoo. "Nanti coba, yuk. Daripada lo main game jual beli apartment mulu. Kaya juga engga."
"Kok lo ngeselin, sih. Ini simulasi supaya nanti kalo gue kaya beneran, gue gak norak. Oke? Lagian bot itu apa, sih? Gak paham lah udah."
"Jisoo, lo lupa ya," Lisa membenarkan posisi duduknya. Sesekali ia melirik ke arah bu Jelita agar tidak ketahuan mengobrol. Ia lalu kembali fokus ke Jisoo yang sedang mencoret-coret buku tulis bagian belakangnya. "Katanya salah satu mimpi lo itu punya pacar tahun ini. Siapa tau lo bisa dapet pacar dari situ. Bener gak gue?"
"Udah gila, ya?" Jisoo berbisik sambil melotot ke arah teman sebangkunya. "Kalo gue kenalan sama pedofil gimana? Kita masih di bawah umur tau."
Suho menjambak rambut Jisoo dari belakang. "Sok imut banget. Ada yang mau sama lo juga udah syukur alhamdulillah."
Jisoo membalikkan badannya dan dengan cepat mencoret-coret buku catatan Suho dengan pulpen. Suho memukul tangan Jisoo berulang kali agar perempuan itu bisa berhenti merusak bukunya dan di sisi lain, Lisa hanya mampu menahan tawanya sekaligus menjadi pengawas kalau-kalau bu Jelita mulai sadar akan kekonyolan mereka.
Setelah teori dan contoh soal yang begitu banyak hingga rasanya mampu memusnahkan otak mereka, akhirnya mereka punya kesempatan untuk mengobrol (dengan kedok diskusi) secara lebih terang-terangan. Tentu saja mereka kembali membahas tentang bot anonymous yang Suho jelaskan sebelumnya.
"Yaudah intinya gitu doang. Lo set gender, start chat, terus say hi atau punten juga gak apa-apa. Nanti kalo misalnya lo gak ada chemistry sama pasangan anonim lo, simply end chat aja dan bisa langsung cari anonim lain." Suho sang expert baru saja selesai menjelaskannya dengan bangga. Lisa mengangguk-angguk sebagai tanda paham sedangkan Jisoo hanya mengernyitkan dahinya.
"Lo... gak takut?" Jisoo masih menautkan kedua alisnya bingung. "Itu kan bener-bener orang asing yang lagi lo ajak ngomong. Kalo sampe mereka macem-macem, gimana?"
Suho mendecak. "Gak seserem itu, beneran. Lo coba aja dulu. Seru, kok."
Lisa menggoyang-goyangkan bahu Jisoo sebagai tanda pemaksaan kalau mereka harus segera mencoba bot anonymous ini. Jisoo akhirnya terpaksa harus pasrah sebelum badannya rontok satu persatu akibat temannya itu.
"Ihhh, ya udah, iya. Nanti kita coba. Lagian gue harus beneran dapet pacar sebelum acara keluarga gue yang super ribet itu mulai." Jisoo memainkan pulpennya sambil menatap kosong ke arah meja. Dalam hati, ia sungguh merasa bahwa ini—mencari pacar di bot anonymous—adalah hal yang konyol.
Ada begitu banyak lelaki yang cukup oke di sekolahnya, bahkan di sekolah lain. Namun, ia tak punya cukup keberanian untuk berkenalan dengan salah satu dari mereka. Jika ada keberanian pun, Jisoo tak akan melakukan itu. Selain tidak berpengalaman, ia juga tak mau dianggap agresif.
Jisoo adalah perempuan tercantik di sekolahnya. Setiap buku tahunan di buat oleh angkatan atas yang akan segera lulus, Jisoo pasti dipanggil untuk dimasukkan ke dalam frame 'the most beautiful one'. Katakan ini kutukan, tapi fakta membuktikan bahwa belum ada seorangpun yang menyatakan cintanya kepada Jisoo. Ia tidak galak, tidak terlalu cuek juga. Entah mengapa tidak ada lelaki yang terang-terangan mau menunjukkan perasaannya kepada Jisoo. Terkadang ia berpikir bahwa kecantikannya seperti tersia-siakan di sekolah ini.
"Liat aja," batinnya. "Setelah ini, gue pasti punya pacar."
* * *
Halo!
Semoga kalian suka sama jalan ceritanya. Ini pertama kalinya aku pakai karatker dari idol Kpop :)
Kalau suka dan punya kritik saran, silahkan tinggalkan komentar yaa.
Much love,
Ivy.
YOU ARE READING
Anonymous Bot
Fanfiction24 jam perhari berkutat dengan ponsel lantas membuatnya mendapatkan julukan sebagai 'Miss Smartphone but not smart enough to manage her dreams.' Suatu hari, tiba-tiba saja ada satu aplikasi bot chat yang memungkinkan siapapun untuk saling berinterak...
