Menyelesaikan masalah

Start from the beginning
                                    

"Owalah. Mana mau cah bagus sama kamu, perawan kok jam segini masih kumal. Wis, neng ngumah bae!"

"Sudah di rumah aja mbak, itung itung latihan jagain bayi." Sela adikku dari sela pintu.

Arrgg, misiku gatot or gagal total.

Akhirnya, dengan kelogowoan yang hakiki aku memilih berdiam diri dirumah. Membantu kakakku yang baru lahiran mengurus putrinya, bersama adikku.

Dua hari ini, aku memang pulang kampung sungguhan. Aku juga sudah izin untuk cuti selama tiga hari untuk pulang kampung. Cuti dengan dalih pulang kampung, nyatanya aku gunakan juga untuk rehat sejenak dari insiden dilabrak dua hari lalu.

Masalah dilabrak kala itu, berakhir dengan damai. Walaupun ya, jalur mediasi tetap dilakukan walaupun sebelah pihak menolak keras. Kami memutuskan untuk meng-clearkan masalah hari itu juga.

Aku memberi Afka waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Dan selama itu berlangsung, aku juga memilih untuk menyiapkan diri terlebih dahulu. Hati butuh waktu tuk sekedar beristirahat dari penat bukan? Diriku juga sama.

Mendapat kabar bahwa kakakku melahirkan, aku gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Selain karena sudah rindu rumah karena lama tak berpulang. Aku juga menggunakan kesempatan ini untuk memberi dia waktu, maupun diriku sendiri untuk memiliki me time sendiri.

"Mbak, Abel ngompol tuh." Aku tersentag kecil. "Terus?" Cengoku.

"Ngantiin popoknya lah." Lanjut Arinda--adikku sambil tersenyum tipis.

"Dasar, merintah aja bisanya."
Ketusku.

Aku beranjak, beralih mendekat ke arah bayi mungil nan cantik tersebut. Putri pertama mbak Arini--kakakku dengan suaminya--mas Damar.

"Ibunya kemana sih?" Tanyaku penasaran. Sejak pagi, rasanya aku tidak melihat keberadaan kakakku yang comel itu. Yang ada, hanya Abel--putrinya disini sendirian.

"Di belakang rumah."

"Lagi ngapain?"

"Di urut sama mas Damar."

"Hah? Di urut?"

Di urut sama mas Damar, aku merasa agak ambigu dengan perkataan adikku ini. Apanya yang diurut coba?

"Kakinya mbak Rini masih bengkak, sakit katanya. Makanya, mas Damar berinisiatif ngurut kaki mbak Rini."
Tutur Arinda lagi.

Bibirku bergerak membentuk huruf O. Ternyata itu maksudnya toh.

"Eh dek, habis ini ajak mbak main yuk."

"Males ah, hari ini panas kayaknya."

"Eleh, bilang aja mau ketemuan 'kan? Hayoo, ngaku kamu Arinda!" Desakku.

Adikku memutar bola matanya kesal. Dia paling tidak suka jika didesak desak begini. "Ok, tapi keliling kampung doang?"

"Ok, deal."

Setidaknya, jika di kampung begini aku bisa merefresh kembali otakku.

Menjelang siang, aku benar-benar merealisasikan keinginanku. Berjalan jalan keliling kampung sambil mengendarai sepeda. Di sepanjang jalan, hanya ada banyak kenangan saat aku masih kecil. Berlarian di pinggir petak sawan, petak umpek di dekat ladang ilalang. Bermain layangan di lapangan desa, hingga berburu semut hitam untuk di adukan.

Masa kecil yang sederhana memang, namun tetap nampak menyenangkan. Tak terasa, hari mulai beranjak sore saat aku tiba di sebuah air terjun kebanggan desa kami. Riak airnya yang jatuh bebas dari ketinggian, terasa menyambut kedatangan kami. Jika sore begini, salah satu objek wisata andalan ini cukup jarang di datangi orang.

Membuat suasana sepi kian kentara menyambut kami. Membuat aku berasa ditempat private sendiri.

"Mbak mau disini dulu Rin, kamu pulang aja duluan."

"Yakin, gak nyasar kan pulangnya?"

Aku tersenyum tipis. "Masa jalan pulang kerumah sendiri lupa, ada ada saja kamu dek." Ujarku sambil tertawa kecil diakhir.

"Hehe, iya, iya mbak. Tapi hati hati ya, cepet pulang. Soalnya udah mau maghrib, ra ilok magrib-magrib masih diluar rumah."
*Ra ilok sama artinya sama dengan pamali.

"Iya, sebelum maghrib mbak pulang."

Arinda mengangguk, kemudian aku bisa melihat sepeda yang di goes-nya pergi menjauhi area air tentun. Meninggalkan aku sendiri dengan kedamaian disini.

Aku beranjak, memarkirkan sepedaku di tempat yang dirasa aman. Aku berjalan dengan langkah hati-hati agar tidak tergelincir bebatuan yang licin. Tiba di sebuah batu besar yang nyaman untuk diduduki, aku memilih mendudukkan diri disana. Merogoh saku celana panjangku, lalu mengabadikan momen indah ini melalui jepretan camera.

Meng-uploadnya dengan caption sederhana, lalu kembali kepada suguhan pemandangan di hadapanku.

"Hm."

Sesekali aku menghembuskan nafas gusarku. Rasanya, aku ingin berteriak keras demi meluapkan segala himpitan di dadaku. Bukan saja masalah Afka dan kisah kami semata, masih ada banyak yang aku pikirkan di samping masalah kasmaran. Belum lagi urusan skripsi untuk sidang nanti, nyatanya benar benar mampu membuatku pusing tujuh keliling.

Bahkan karena masalah di caffe kemarin, di hari berikutnya rumor tak sedap menyebar di kampus. Ada beberapa akun lambe yang menyebarkan gosip mengenai aku yang di labrak oleh Aleena kala itu.
Bohong jika semua itu tak mempengaruhi pikiranku.
Nyatanya, mau tak mau aku tetap memikirkanya hingga membuat kepalaku pening sendiri.

Aku bukan lari dari masalah dengan meninggalkan ibu kota. Hanya saja, aku butuh me time untuk memikirkan segalanya. Bukan sekedar urusan asmara dan kepelikanya, aku juga memiliki tanggungan pikiran yang lainya.

Bukan menyalahkan pertemuanku dengan Afka yang nyatanya adalah Bakos di kosanku sendiri. Hanya saja, karena pertemuan ini hidup tentramku harus berganti dengan banyaknya kepelikan karenanya. Bohong jika aku tak pusing tujuh keliling, terkadang aku hanya ingin menghilang dari bumi ini saja rasanya.

Meninggalkan masalah demi masalah yang menumpuk di otakku. Tetapi tetap saja, lari dari masalah bukan menyelesaikanya. Hanya membuatnya terbengkalai saja.

"Aruna?"

Kupikir diriku ini sepertinya tengah merindukan suara sumber kepelikanku akhir-akhir ini. Sampai sampai, aku bisa mendengar suaranya yang familiar itu mendekat.

"Aruna, hey?!"

Tapi, mana mungkin Afka ada disini.Untuk apa juga dia datang kesini jauh jauh coba?

"Aruna, Aruna?!"

Tapi itu suaranya, aku yakin seratus persen jika itu suaranya. Aku beranjak menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tidak ada.

"Aruna?"

"Aruna?!"

Sumpah demi apapun, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas. Hanya saja aku tidak bisa menemukan keberadaanya. Hanya ada suara riak air tenjun yang melingkupi suara nyaringnya. Aku mulai berpikiran negatif sekarang.

"Aruna?!"

Ya Allah, kegelapan apa lagi ini? Suara-suara yang memanggilku kian santer terdengar. Bersamaan dengan gelap pekat yang tiba tiba datang seolah-olah merengkuhku.

"Aruna?!"

🍒🍒

To Be Continue

Horee, update lagi ya readers.
OK, jangan lupa tinggalkan jejaknya ya. Vote, komentar, dan share.
Jumpa lagi di part selanjutnya.

Sukabumi 30 Juli 2020
12.53
Revisi 08 Januari 2020

My Mysterious Dosgan : Dosen Ganteng (Lengkap)Where stories live. Discover now