Taeyong ikut tertawa. Suatu kebetulan karena tas yang dibawa Ten sama persis dengan yang dipilihkan olehnya untuk istri Jaehyun.

"Pasti mahal ya, saya mah ga sanggup beli." Yah, Taeyong memang tahu persis berapa harganya.

"Iya kali ya? Saya juga gatau. Tapi tumben suami saya seleranya lagi bagus."

Taeyong tersenyum kecut. Sepertinya benar Ten ini istrinya Jaehyun. Kesamaan cerita mereka terlalu kebetulan untuk dibilang bukan kebetulan.

.
.
.

"Bunda~"

Jaemin berlari kecil menghampiri Ten yang kini tengah mengobrol dengan Taeyong. Rapat sudah selesai dan anak-anak diperbolehkan menemui orang tua masing-masing untuk pulang lebih awal.

Taeyong tersenyum karena Jaemin tidak sendiri. Anak itu berlari kecil sambil menggandeng tangan Jeno, putranya, yang meskipun terlihat ogah-ogahan tapi tetap mengikuti Jaemin.

"Kamu udah punya temen nih sekarang?" Tanya Taeyong sambil menoel pipi Jeno.

"Iya dong tante. Jaemin ajak main Jeno terus akhirnya dia mau deh."

"Anak pinter..." Puji Taeyong pada Jaemin. Jeno sepertinya iri karena tak disebut pintar juga oleh ibunya. "Jeno?"

"Jeno juga pinter."

Ten ikut tersenyum melihat tingkah dua anak kecil itu. "Taeyong, ehem, saya boleh manggil gitu aja kan ya? Abisnya anak kita udah temenan, masa kitanya ga temenan juga?"

"Ah iya, boleh."

"Kamu juga panggil saya Ten aja. Eh iya kayaknya tuaan saya ya daripada kamu? Panggil kakak juga boleh."

Taeyong hanya mengangguk. Ten ini punya kharisma yang membuat siapapun bisa menurut begitu saja.

"Iya, kak."

.
.
.

Minggu-minggu berlalu, tak ada hal spesial yang terjadi. Taeyong menghabiskan waktunya di kantor, sambil tetap menjaga jarak aman dengan Jaehyun. Mau bagaimana lagi? Gosip tentang dirinya yang merupakan calon pelakor dalam pernikahan Jaehyun semakin kencang berhembus. Kalau tak ingat susahnya mencari pekerjaan di ibukota, mungkin Taeyong sudah resign saja dari kantor ini.

"Taeyong, ada telepon pas kamu ke toilet tadi."

"Oh iya, makasih pak." Taeyong segera mengecek handphonenya setelah diberitahu Jaehyun. Ada 2 panggilan dari pemilik rumah kontrakan yang disewa Taeyong. Sepertinya cukup penting. Taeyong segera balik menelepon.

"Taeyong, ya ampun. Akhirnya kamu telepon juga. Ada musibah. Kontrakan kita kebakaran."

Jantung Taeyong mencelos. Kakinya terasa lemas tiba-tiba.

"Tapi, orang-orang di sana gapapa kan bu? Ga ada korban kan?"

Taeyong lebih ingin tahu keselamatan orang-orang yang tinggal di sana dibanding keadaan kontrakannya. Demi apapun, tetangga-tetangganya itu sudah ia anggap keluarganya sendiri.

"Aman. Untungnya karena siang-siang banyak yang ga di rumah, dan yang di rumah pun langsung nyelametin diri."

Taeyong mendesah lega. Setidaknya tidak ada yang terluka. Anaknya juga masih aman di sekolah. Tapi bagaimana nasib tempat tinggalnya nanti?

"Kontrakan kamu ga terlalu kena imbasnya karena apinya mulai dari ujung kiri. Tapi ini atapnya hampir kena semua, udah ga aman buat ditinggalin. Kita mau usahain renovasi dulu, selama renovasi terpaksa kamu harus nyari tempat tinggal lain."

Taeyong memaksa otaknya bergerak cepat. Anaknya akan pulang sore nanti dan tak mungkin ia biarkan Jeno terluntang-lantung tanpa tujuan pulang yang jelas. Ia tak punya kerabat atau sahabat yang bisa ditumpangi secara mendadak. Bagaimana ini?

"Taeyong kenapa? Muka kamu kok pucet gitu?"

Jaehyun sebenarnya dari tadi melirik Taeyong yang sedang menelepon. Karena sambil mengetik ia hanya dengar sedikit-sedikit. Taeyong bertanya tentang korban dan rumah dan ya hanya itu yang didengar Jaehyun. Ada apa sebenarnya?

"Pak, saya mau minta tolong boleh?"

.
.

Dan di sinilah Taeyong, di dalam ruang tamu rumah Jaehyun yang nyaman. Jeno duduk di sebelahnya, memeluknya dari samping dengan erat. Anak itu sepertinya cukup terguncang mendengar kabar rumah mereka kebakaran. Untungnya koleksi mainannya aman, jadi ia tak sampai menangis.

"Barang-barang kamu udah aman di gudang belakang." Jaehyun muncul dari bagian belakang rumahnya. Terlihat bulir keringat di dahinya. Sepertinya ia habis membantu petugas pengiriman menata barang-barang di gudang.

Setelah Taeyong berkata ingin minta tolong pada Jaehyun, mereka bergerak dengan cepat. Taeyong mendapat izin untuk pulang lebih awal, sampai di rumah ia segera menyelamatkan barang-barang penting yang sekiranya bisa ia bawa dengan mudah. Dengan bantuan para tetangga, Taeyong berhasil mengepak semua barangnya sebelum sore.

Jaehyun meneleponnya dan mengatakan ia sudah mengirim satu mobil bak terbuka untuk mengangkut barang-barang Taeyong ke rumahnya. Jaehyun memang mengizinkannya menumpang dan menitipkan barang sampai ia menemukan tempat tinggal baru. Kata Jaehyun istrinya pun tidak keberatan.

Setelah memastikan barang-barangnya terangkut, Taeyong bergegas menjemput Jeno di TK. Sampai TK, Jeno sudah tidak ada. Kata gurunya Jeno sudah diajak pulang bersama oleh Jaemin dan ibunya.

Taeyong sempat panik, tapi ternyata salahnya sendiri yang tidak mengecek handphone. Padahal Ten sudah menghubunginya dan meminta izin mengajak Jeno main bersama Jaemin.

Setelah mengecek alamat yang dikirimkan Ten sebagai alamat rumahnya, Taeyong hanya bisa terdiam. Ternyata benar, Ten adalah istri Jaehyun. Alamat rumah mereka sama persis.

Dengan kondisi kehabisan tenaga, Taeyong sampai di rumah Jaehyun saat hari sudah petang. Jaehyun yang kasihan melihatnya menyuruhnya duduk saja selagi ia membereskan semua barang Taeyong.

"Taeyong, diminum dulu..." Ten meletakkan secangkir teh hangat di depan Taeyong. Ia sudah mendengar cerita yang dialami Taeyong dari Jaehyun. Ia tak menyangka selama ini Jaehyun dan Taeyong sekantor. Tahu begitu mereka bisa berteman lebih awal.

"Makasih, kak." Taeyong meraih cangkir teh lalu menyesap isinya pelan. Rasanya segar sekali setelah semua keruwetan yang dilaluinya beberapa jam terakhir. Ia juga harus berpikir keras bagaimana menjelaskan situasi mereka pada Jeno.

"Jeno, mandi dulu yuk sama tante, biar mamanya istirahat dulu. Jaemin udah selesai mandi tuh." Ajak Ten lembut pada Jeno yang masih saja memeluk Taeyong.

"Gausah, kak. Jeno bisa mandi sendiri. Ayo sayang, jangan nyusahin tantenya."

"Sama mama..."

Taeyong tersenyum pasrah. "Maaf ya kak nyusahin, kamar mandinya di mana? Tumben ini anak manja banget."

"Wajar kali, Yong. Dia masih takut. Ayo sini ikut tante. Nanti mama nyusul."

Taeyong lega, Ten begitu perhatian pada Jeno dan Jeno pun dengan cepat menurut padanya.

Sepeninggal Ten dan Jeno. Taeyong hendak beranjak, tapi pening mendera kepalanya sehingga ia hampir kehilangan keseimbangan. Untungnya Jaehyun dengan sigap menahan lengannya.

"Istirahat dulu."

"Jeno harus diurusin, Pak."

"Ada istri saya yang bisa bantu kamu."

Taeyong menggeleng, lalu melepaskan pegangan Jaehyun pada lengannya. "Tolong jangan begini, Pak. Jangan pernah tunjukkin kalau kita pernah kenal di masa lalu. Kita cuma teman kantor biasa."

Setelah mengatakan, itu Taeyong berlalu dari hadapan Jaehyun. Menyusul Ten dan Jeno yang sudah pergi lebih dulu. Jaehyun menatap kepergian Taeyong sendu. Sepertinya Taeyong benar, ia tidak boleh sembarangan menunjukkan afeksinya pada Taeyong. Tidak di sini, di rumahnya, di depan mata kepala istrinya.

.
.
.

Bersambung

.
.
.

Vote and comment ya~

In Between [JaeYong version]Where stories live. Discover now