e. broken arrow

Beginne am Anfang
                                    

"Bukankah jam kantormu dimulai pukul delapan nanti?" Sepasang netranya memandang lurus, menyelami kepribadian Yoongi yang dirasa-rasa terlalu kelabu dan sukar untuk dipahami. "Duduklah sebentar, temani Nenek sarapan."

Ada selang waktu cukup lama bagi Yoongi mencerna keadaan, ia mengerjap cepat agar mampu menarik kembali realita yang tersaji. Menjatuhkan tubuh tepat di seberang Elijah, Yoongi menyambut mangkuk bundar beisi nasi pulen berikut kuah dari sup rumput laut. Seakan lupa bagaimana cara berbicara dan memuntahkan serangkaian kalimat, pria itu hanya diam sembari menikmati makanan.

Derik mesin pemanas terdengar bising, begitu pula mesin pemangkas rumput dari tetangga sebelah yang meretakkan ketenangan pagi ini. Elijah menahan napas, mendapati sosok di hadapannya tampak tak berselera menyuap sendok demi sendok nasi ke dalam mulut. Kunyahannya terlihat lambat, terpaksa, dan tertekan.

Setelah memastikan gumpalan nasi meluncur menuju lambung secara sempurna, Elijah menautkan kesepuluh jemari di atas meja. "Jadi, bagaimana?"

Yoongi mendongak, belah pipi kemerahannya seperti ditampar kuat, "Maksud Nenek?"

Sontak Elijah memukul keningnya—pelan saja, kalau keras-keras ia bisa kesakitan. "Bukankah tadi malam kita telah membicarakannya di ruang tengah?" Sang lawan bicara menatap penuh ketidakmengertian; setengah linglung bak orang yang berpuluh-puluh tahun mendekam dalam rumah sakit jiwa. "Astaga, Yoongi. Sepertinya kadar kepikunanmu itu telah melebihiku. Tentu saja tentang perjodohan dengan putri semata wayang keluarga Kim. Bagaimana? Sekarang sudah ingat, bukan?"

Ah, perjodohan itu, ya?

Yoongi tak membalas, hanya menunduk dan merenungi sebuah keputusan yang pada kenyataannya masih mengambang di lautan lepas. Jujur saja, jatah tidurnya selama lima jam harus terkuras habis untuk memikirkan hal tersebut, ia menimbang penuh kehati-hatian, mencari tahu risiko macam apa yang menghadang jika ia menerima pun menolak. Tetapi sial, hingga kini Yoongi masih belum mendapatkan jawaban pasti.

Seakan paham oleh seraut ekspresi yang terpancar, Elijah mengangguk pelan. Ia tidak bisa memaksa Yoongi untuk menerima, tapi ia juga tidak bisa menutupi aroma busuk dari keluarganya terlalu lama. Cepat atau lambat, akan ada seseorang yang menyadari bahwa masing-masing dari mereka memiliki titik tumpu permasalahan yang begitu krusial.

"Sayangnya, tidak ada jalan untuk kembali, Nak. Kesempatan terakhirmu hanya ada di tangan mereka." Satu tarikan napas beserta embus kecilnya keluar, Elijah merasa selera makannya menguap seiring dengan tangan yang menangkup milik Yoongi di atas meja; bermaksud menenangkan. "Jangan hanya mementingkan dirimu sendiri. Kau hidup di dunia semata-mata agar bisa bahu-membahu antarsesama. Jangan biarkan Nenek dan mendiang ibumu menanggung derita karena keegoisanmu sendiri."

Kepalanya kembali tertunduk, tak berani untuk sekadar balas menatap pada sepasang manik yang terbakar api kehidupan. Yoongi merasakan genggaman Elijah mengetat, bekas luka akibat tangan yang tersabit celurit pun menjadi saksi bisu bahwa sang nenek telah bekerja keras selama ini.

Nenek benar. Dunia tidak hanya berpusat pada kebahagiaannya saja. Ada banyak orang di luar sana yang menderita akibat ketamakan dari orang semacam Yoongi, dan barangkali Elijah adalah satu dari sekian di antaranya.

Menurunkan ego, mengisi kendi-kendi kepercayaannya dengan secuil ingatan tentang senyum manis Heejin yang terekam di bilik memori, Yoongi memutuskan untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa ia menerima perjodohan tersebut. Tetapi tetap, ada satu keraguan yang bercokol di ruang kalbu.

A Home Without WallsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt