Chapter 12

189 40 8
                                    

“Sakura! Berhenti di sana!”

Tuan Miyawaki berlari mengejar anaknya di tangga dan berhasil menggamit lengan pemuda itu. Sakura berbalik kearahnya dengan mata yang digenangi oleh air.

“Apa lagi?” tanya Sakura, frustasi.

“Minta maaf pada ibumu sekarang juga!” tegas ayahnya. “Dan katakan bahwa yang tadi kau bilang itu tidak benar.”

Sakura menggeleng. “Tidak! Itu semua memang benar! Dan lepaskan aku sekarang juga. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.”

Tapi ayahnya bersikeras. Sakura merasakan cengkeraman tangan ayahnya semakin menguat di lengannya. Ia sudah bisa membayangkan bekas kemerahan dari cengkeraman itu.

“Sakit!” ringisnya sambil menuding lengannya.

“Aku tidak peduli.” Tuan Miyawaki terlihat geram, sekaligus putus asa. Matanya menyala seperti bola api yang siap meledak.

“Ayah yang bilang sendiri bahwa aku tidak boleh menceritakan kebohongan,” isak Sakura. “Sekarang, aku sudah mengatakannya pada kalian. Aku gay, tapi kalian tidak bisa menerima itu!”

“Tentu saja!” Ayahnya berteriak marah. “Tuhan hanya menciptakan dua jenis manusia di muka bumi ini, Sakura. Mereka adalah laki-laki dan perempuan Tuhan tidak pernah menciptakan seorang banci!”

“Persetan dengan kalian dan Tuhan! Bangsat!”

Sakura mendorong tubuh ayahnya dan berlari dengan cepat menuju kamar, lalu mengunci pintu. Tuan Miyawaki menyusulnya dan menggedor-gedor pintu.

“Sakura, buka pintunya! Buka pintunya, Anak Durhaka!”

Sakura mematikan lampu kamar, menutup tirai jendela, dan melempar kunci kamarnya ke atas ranjang, lalu meringkuk di sisi tempat tidur. Kamarnya berubah sangat gelap persis seperti suasana hatinya saat itu dan hanya diisi oleh suara isak tangisnya yang mengiba.

“Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya.

“Asal kau tahu saja, Sakura..” Ayahnya masih juga bertahan di depan pintu. “..kau tidak akan pernah diterima dimanapun. Bahkan, walau kau taat sekali pun, Tuhan tidak akan membiarkanmu masuk ke dalam surga-Nya. Demi Tuhan. Kau benar-benar anak durhaka!”

“Aku tidak peduli!”

Beberapa saat kemudian, suara di luar tidak terdengar lagi. Ayahnya sudah pergi, tapi Sakura belum bisa bernapas lega. Masalah belum sepenuhnya selesai. Ia masih harus menghadapi perubahan sikap kedua orangtuanya setelah rahasia itu terungkap. Tapi, bagaimana ia harus menghadapinya? Membayangkan apa yang akan dihadapinya saja membuat tubuhnya menggigil.

Sakura mencari-cari telepon seluler di antara barang-barang yang ada di atas meja dan berhasil menemukannya. Masih dengan suara terisak, ia memutar nomor telepon Eunbi. Ia membutuhkan Eunbi di saat-saat seperti ini. Hanya Eunbi. Dering telepon di seberang terus mendengung di telinganya. Telepon itu tidak juga diangkat. Sakura mencoba untuk yang kedua kali, dan nampaknya masih sama.

Sakura menangis lebih keras dan mengerang, “Eunbi, tolong angkat teleponmu. Aku mohon..”

***

Eunbi merogoh-rogoh saku jeans-nya dan tidak dapat menemukan ponselnya dimana-mana.

“Ada apa?” Hyewon memandangnya khawatir.

“Aku melupakan ponselku di kamar,” lirihnya. “Bisakah kita kembali ke apartemenku?”

Hyewon mendesah. “Apakah akan ada seseorang yang sangat penting yang akan meneleponmu? Kita sudah cukup jauh dari apartemenmu, kalau berbalik lagi, maka..”

I Need SomebodyWhere stories live. Discover now