Aku bahkan nggak tau yang mana awal dari semua ini.

Apakah semuanya berawal dari malam dimana aku meng-install dating app di ponselku, atau siang yang terik di hari Senin saat aku mendapat notifikasi pesan dari Niko—salah satu match-ku dari aplikasi tersebut, atau malam Minggu ketika aku memutuskan untuk meet up dengannya di Starbucks.

Aku cuma tau satu hal: sejak awal hubunganku dengan Niko adalah kesalahan, tanpa pernah tau di mana awal itu berada.

Dua atau tiga tahun yang lalu, aku cuma seorang remaja polos yang penasaran dengan yang namanya pacaran, tanpa tau kalau beberapa lama setelah kedatangannya hidupku berputar seratus delapan puluh derajat.

<>

Sandri

Rumah Wage berisik dengan suara video game dari televisi, bungkus keripik kentang beserta kunyahannya, dan sumpah serapah dari Juan dan Dimas yang masing-masing fokus dengan konsol PS mereka.

Di sisi gue, Brian masih fokus mengulik lirik buatannya—yang kemungkinan akan jadi lagu orisinil pertama kami—sambil sesekali mengambil segenggam kacang goreng untuk mengisi lambung spacious-nya itu.

Hari ini Brian baru saja menunjukan lirik buatannya pada kami, atas beberapa saran dan masukan, ia merasa perlu memoles beberapa bagian sebelum kami benar-benar bisa mengubah lirik tersebut ke dalam sebuah lagu. Maka selagi cowok itu fokus melakukan finishing pada liriknya, kami berempat memilih untuk duduk manis dan menemaninya karena Brian sendiri nggak mau dibantu. Katanya, sih, liriknya terinspirasi dari pengalaman pribadi, jadi dia nggak mau ada orang lain yang mengusik penulisan lirik tersebut.

"AHAHAHAH!" tawa Dimas pecah saat skor akhir muncul di layar televisi, "I broke your mental!" pekiknya senang kala melihat skor Juan jauh di bawahnya.

"Lo anak sasing tapi Bahasa Inggrisnya berantakan banget, sih!" Juan mengalihkan topik, nggak terima kalau dirinya kalah. Gue cuma bisa ketawa liat kelakuan Juan, yang notabene paling tua di sini, malah berantem sama yang bungsu.

"Oh iya," gue beranjak dari sofa, meraih sebuah flyer dari dalam tas dan menaruhnya di tengah-tengah kami berempat. "Tadi gue dikasih ini sama mbak-mbak Cosmo."

"Cosmo? Yang steak house itu, Bang?"

Gue mengiyakan pertanyaan Dimas, "Katanya mereka baru pasang instalasi panggung mini, tiap weekend nanti bakal ada yang ngisi."

"Lo mau tampil disitu?" tanya Brian yang tiba-tiba sudah meninggalkan pekerjaannya itu.

"Kenapa nggak? Cosmo kalo weekend rame banget, lho, lumayan gak, sih? Apalagi job kampus lagi sepi, emang lo gak pengen nyoba tampil di luar?"

"Gue pengen, sih," celetuk Juan, "ini perlu bayar fee gak?"

"Tadi gue tanya-tanya mbaknya, katanya kalau lo diundang pihak Cosmo, lo dibayar, tapi kalau lo nyewa panggung, ada fee-nya. Nggak dikasih tau berapa, gue cuma dikasih CP-nya, tapi kalau nggak salah tadi doi bilang buat dua minggu pertama free enter."

"Gaslah!" ujar Brian dengan semangat, "Mending lo hubungin CP-nya sekarang, book minggu keberapa gitu, mumpung free enter."

"Serius gak, nih? Kalo iya besok langsung gue hubungin. Jangan sekarang, udah malem banget gak etis."

"Setuju gue," seru Juan mantap, disusul anggukan dari Brian. Di antara kami, Dimas melongok ragu.

"Ini gue diajak, Bang?" tanyanya ragu, sontak gue tertawa melihat kepolosan bocah itu. Kami memang masih menggantung status Dimas sebagai drummer tetap, tapi pertanyaannya barusan itu merupakan pertanyaan retoris.

"Iyalah, masa videoin doang," balas Brian, membuat Dimas nyengir malu.

"Bahas apa, sih?" sang tuan rumah muncul dari dalam kamar mandi, dengan rambut setengah kering dan baju seadanya, Wage duduk nyempil di antara gue dan Brian. "Apaan ini? Cosmo? Lagi ada promo steak?"

"Nggak, Cosmo abis pasang instalasi panggung mini terus open performance tiap weekend. Mau ikutan gak lo?"

"Ikutlah!" mata Wage membelalak, menandakan kalau cowok itu bersemangat, "Tapi emang instrumen dia lengkap?"

"Kurang tau, tapi palingan mentok-mentok synth yang perlu bawa sendiri, sih."

"Lo yakin panggungnya cukup? Akustikan ajalah biar aman, pake cajon biar nggak makan tempat," sugesti Brian. Wage dan Juan mengangguk-angguk mendengar opininya tadi.

"Besok coba gue tanyain deh sekalian hubungin CP-nya. Fix nih ya."

Setelah itu, semuanya kembali dengan kesibukannya masing-masing. Brian kembali mengotak-atik liriknya, Juan dan Dimas sedang memilih game apa lagi yang akan mereka mainkan, sementara Wage sibuk berselancar di Instagram.

"Eh, San," gue menengok saat Wage menepuk lembut bahu gue, "temenin ke Indomaret, dong. Nyokap gue minta dibeliin susu."

"Ayo," gue beranjak dan mengambil kunci motor, diikuti Wage yang memutuskan untuk meminjam jaket oversized milik Juan, "ada yang mau nitip sekalian gak?"

"Gue mau sponge cokelat, dong!" sahut Brian.

"Brian doang, nih? Yaudah gue cabut bentar ya."

<>

Pesanan ibu negara ternyata lebih dari sekedar susu. Selagi Wage memenuhi permintaan ibunya itu, gue mampir ke rak mie instan. Mata gue langsung tertuju pada mie cup yang direkomendasikan Bianca tempo hari. Otak gue melayang ke momen pagi buta itu, membuat beberapa pertanyaan tiba-tiba melintas.

Mereka ngapain aja, ya? Mereka ngobrol apa aja? Brian cerita apa aja? Dan ...

... kenapa Brian bawa Bianca ke tempat rahasianya itu?

Saat Bianca bilang kalau mereka mau lihat sunrise, gue sama sekali nggak kepikiran kalau tujuan mereka adalah tempat rahasia itu.

Gue nggak bisa bohong kalau gue kaget saat melihat foto di story IG-nya. Foto itu sama persis seperti foto tempat atau view yang diunggah Brian setiap kali ia mampir ke tempat tersebut.

Is she that special for him that he brought her there?

Dan dia bilang mereka gak ada apa-apa. Bullshit lo, Bri.

"Lo naksir sama indomie?"

Gue menoleh, mendapati Wage sudah berdiri di samping gue dengan keranjang penuh belanjaan. "Ini bukan indomie."

"Mau merknya apa juga orang bilangnya indomie," jawab Wage sekenanya, meskipun omongannya nggak salah juga sih.

"Nggak lo beli?" tanyanya saat gue menaruh kembali mie cup itu. Gue menggeleng. "Kenapa? Ngeliatinnya udah kayak orang naksir gitu padahal."

Tak urung gue tertawa mendengar candaan recehnya, "Apaan, sih, gue ngeliatin doang."

"Iya, iya, kan naksirnya sama Bianca ya."

"Hah?"

Wage menatap gue dengan alis terangkat, "Jujur sama gue, lo ada sesuatu, kan, sama dia?"

"Uhh ... nggak, tuh?"

"Iya," Wage mengelak, gak mau kalah rupanya, "mata lo gak bisa bohong."

"Oh ya? Sejak kapan lo merhatiin cara gue merhatiin Bianca?"

Bukannya menjawab, Wage malah mengedipkan sebelah matanya dan berjalan menuju kasir, meninggalkan gue dalam kebingungan.

<> 

A/N

Maafkan aku yang suka update tengah malem begini ya :") I hope y'all still enjoy this story, also big thanks buat kalian yang masih bertahan sampai sini masih selalu baca dan ngasih vote, I'm really grateful for that huhu I love you all <3

FinaleWhere stories live. Discover now