“Haaaa?” Radina terkejut karena ia sedang mengeringkan rambutnya, bertelanjang dada, dan hanya memakai boxer.

“Ayo,” kata Nalani sambil menarik-narik tangan Radina.

“Ke rumah sakit mana, Nal? Ngapain? Aku pake baju dulu,” kata Radina.

“Nih pake cepetan!” kata Nalani sambil melempar sweater Radina ke wajahnya.

Radina segera memakai sweaternya dan Nalani sudah menarik tangannya lagi.

“Nal, aku belom pake celana! Bentar dulu dong, dompet aku juga di celana...” kata Radina.

“Cepet, pokoknya, cepet!” Nalani membuat Radina diburu-buru.

Radina yang tidak tahu kalau Nalani hendak menemui Agung malah diselimuti perasaan senang dan heran. Ternyata bisa juga Nalani bersikap seperti ini, terburu-buru dan tidak jelas maksudnya apa sekaligus menggenggam tangannya dengan erat hingga naik taksi.

***

Radina mulai curiga karena Nalani tidak pergi ke UGD, melainkan ke lobby rumah sakit dan menanyakan sebuah ruangan ke satpam. Nalani setengah berlari dan Radina mengikuti jejaknya. Firasat Radina memburuk. Pasti...

“Agung!” Nalani langsung memanggil Agung yang sedang duduk dengan tatapan tidak fokus. Nalani berlari mendekati Agung dan memeluknya dengan sangat erat. Agung membalas pelukan itu dengan sama eratnya.

Radina terpana melihat keintiman dua orang tersebut. Tidak ada yang membuka mulut, tapi Radina yakin kalau Nalani memeluk Agung dengan sepenuh hatinya.

Pak Bejo menatap Radina lalu memberinya kode untuk ke luar kamar, membiarkan kedua orang tersebut untuk berkomunikasi satu sama lain.

“Mas ini siapa ya?” tanya Pak Bejo.

“Saya Radina,” jawab Radina.

“Lha, suaminya Mbak Lani toh? Ta kirain sudah dewasa kok ya masih muda begini,” kata Pak Bejo dengan logat jawa yang kental.

“Bapak siapa?”

“Oh ya, maaf. Saya Bejo, sopir dan pengasuhnya Mas Agung dari kecil.”

Radina mengangguk paham lalu duduk di ruang tunggu pasien yang berada di luar kamar.

“Agung kenapa, Pak?” tanya Radina.

“Ada yang mencelakainya waktu survey ke Garut, Mas. Sepertinya ada yang iri sama Mas Agung jadi Mas Agung diserang,” jawab Pak Bejo.

“Ooooh.”

“Tapi sekarang Mas Agung ndak bisa liat, Mas. Pukulan di kepalanya mencederai saraf matanya. Kata dokter sih penyembuhannya mungkin lama. Saya ndak tau harus ngapain, Mas. Kenapa harus Mas Agung yang begini.”

Radina langsung menatap Pak Bejo yang kini matanya berkaca-kaca.

***

“Aku gak bisa liat, Lan, aku nggak bisa...” Agung mengeluh di tengah tangisnya.

“Ini cobaan dari Tuhan, Gung. Kamu masih disayang Tuhan...” kata Nalani.

“Kamu gimana sekarang? Sehat?” tanya Agung sambil meraba wajah Nalani.

“Sehat banget,” jawab Nalani sambil menggenggam tangan Agung yang membelai wajahnya.

“Peluk aku lagi, Lan,” kata Agung.

Nalani menuruti kehendaknya itu.

“Adnan gimana? Baik-baik aja kan? Sehat?”

Agung mulai berbicara seperti dulu, menanyakan kabar Nalani dan anaknya sambil tetap berpelukan sampai Agung menguap.

“Ngantuk, Gung?” tanya Nalani.

“Nggak...” jawab Agung.

“Tidur aja. Aku tungguin,” kata Nalani.

“Janji ya?”

“Janji...”

Agung menggenggam erat tangan Nalani di dadanya dan ia menutup matanya. Tangan Nalani yang bebas membelai kepala Agung dengan lembut dan penuh perasaan hingga terdengar suara dengkuran yang sangat halus dari mulut Agung.

Radina melihat semua itu dari kaca yang terdapat di pintu kamar Agung. Ia melihat betapa akrab dan intimnya kedua orang tersebut.

“Nal...” panggil Radina sembari masuk ke dalam kamar Agung.

Nalani langsung menatap Radina.

“Kamu diem di sini aja ya, aku pulang. Adnan juga udah sampe,” kata Radina.

Nalani mengangguk.

I don’t know who you are, Nal, batin Radina.

Perasaan Radina sudah tidak karuan bentuknya dan tiba-tiba segelintir pertanyaan menghujaminya: siapa Nalani sebenarnya?

Well, you don't know who I am. How could I know who you are, Radina membatin lagi.

Radina mendesah resah lalu mengisap rokoknya untuk menghibur diri sekaligus menghangatkan tubuh di dinginnya kota Bandung malam ini.

faster than a weddingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt