01. Rio

216 140 41
                                    

Di pagi hari yang cerah, suasana di kantor mulai terasa hidup. Karyawan-karyawan berdatangan, menyapa satu sama lain dengan ramah. Suara ketikan keyboard dan percakapan ringan memenuhi ruangan. Aroma kopi yang baru diseduh menguar, menyegarkan suasana.

Di meja-meja kerja, para profesional fokus mengerjakan tugas masing-masing. Sesekali terdengar bunyi telepon yang berdering, diikuti suara sopan saat menjawab. Rapat pagi diadakan dengan tenang, membahas strategi dan rencana kerja hari ini.

Suasana di kafetaria terasa lebih santai, karyawan menikmati istirahat siang sambil berbincang ringan. Tawa dan canda terdengar, menciptakan atmosfer yang nyaman. Setelah itu, semua kembali ke meja kerja dengan semangat untuk menyelesaikan pekerjaan.

Seraya berkerja, sesekali Nadin meminum kopi susu miliknya dengan kedua bola mata fokus menatap layar komputer yang menampilkan pekerjaannya saat ini. Untuk terakhir, Nadin menekan tombol titik sebagai tanda pekerjaannya telah selesai.

Nadin merenggangkan tubuhnya sambil menyenderkan punggungnya pada kursi kerja putarnya. Nadin menghembuskan napas lelah, ia terdiam sejenak mengosongkan pikiran setelah berlama-lama menaruh beban pikiran pekerjaannya.

"Rio di rumah sama siapa, Nad?" tanya Raden yang posisi tempat kerjanya bersebelahan dengan Nadin.

Nadin menoleh ke arah Raden, terlihat masih sangat fokus mengerjakan pekerjaannya yang hampir selesai membuat proposal parfum perusahaan ini untuk rapat berikutnya.

"Gue udah sewa baby sister. Ya, semoga aja satu ini bakal betah," jawab Nadin.

Pengasuh Rio sejauh ini tidak pernah ada yang merasa betah menjaga Rio, sebab kenakalan Rio melebihi dari anak lainnya. Bahkan Rio tidak pernah mengerti saat dibicarakan dengan cara lembut ataupun kasar.

"Dia masih bergadang sampai subuh, kah?" tanya lagi Raden.

"Hm, semalam aja dia abis dicakar kucing. Awalnya dia lagi mainin kucing di lantai belakang gue, tiba-tiba suara kucing berantem di dalam lemari sambil suara gerubuk-gerubuk, gue reflek nengok, Rad. Bener aja, itu anak udah di dalem sama kucing yang berantem sampai penuh cakaran. Udah gitu anaknya enggak nangis sama sekali, gue yang liat aja kaget banget takut kenapa-kenapa, Rad."

Nadin mulai memijat-mijat keningnya karena pusing. Raden hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya menyebut nama Rio tidak habis pikir. Raden tampaknya telah menyelesaikan pekerjanya, ia mulai menyandarkan tubuhnya kepada kursi putar lalu menoleh ke arah Nadin.

"Coba, deh. Lo sekali bawa Rio ke orang pintar, gue rasa mungkin aja dia bergadang sampai tengah malam bahkan sampai subuh itu karena dia punya temen mahkluk halus yang nemanin dia. Karena anak kecil seumuran dia bergadang sampai tengah malam aja udah gak wajar, Nad. Gimana menurut lo?" kata Raden memberi sedikit saran.

"Rad, gue gak percaya sama yang kaya gitu. Mau berapa kali lo nyuruh gue, gue gak akan mungkin bawa Rio ke orang kaya gitu," ucap Nadin kemudian beranjak pergi meninggalkan Raden.

Yang membuat dirinya takut adalah, tanggapan orang lain terhadap Rio. Nadin pikir Raden berbeda dari yang lain, nyatanya, ia sama saja seperti lainnya.

Kantor perusahaan parfum tepatnya di Jakarta ini mulai ramai dengan orang-orang menuju pulang karena telah menyelesaikan pekerjaannya. Nadin memasuki lift bersama karyawan lain, lift berjalan turun dengan cepat hingga terbuka kembali pada lantai satu.

Nadin berjalan keluar dari lift, ponsel Nadin bergetar bertanda seseorang sendang menghubungi ponsel Nadin. I mengambil ponselnya dari kantong celananya, ternyata telepon ini berasal dari baby sister Rio, Nadin segera mengangkat telepon tersebut lalu menempelkannya ke telinga.

"Halo, Bi?" panggil Nadin sambil terus berjalan menuju mobil miliknya.

"Neng, Nadin. Ini Rio teh matiin ikan orang lain di dalam akuarium. Orangnya kesini marah-marah, katanya gak mau pergi sampe Neng Nadin pulang," ucap sang pengasuh bernama Ningsih dengan nada penuh rasa takut.

"Kok bisa, Bi?" tanya Nadin sedikit dengan nada menekan.

"Tadi bibi niatnya mau bikinin susu buat Rio, pintu udah bibi kunci juga. Begitu bibi balik lagi, Rio udah pergi ke luar, pintu rumah kebuka lebar. Bibi cariin sampai satu jam lebih, Neng. Pulang-pulang dijewer sama ibu tetangga sebelah," ucap Ningsih dengan nada bicara yang sama.

"Yaudah kalo gitu Nadin buru-buru pulang, Bi." Nadin mematikan telepon sepihak lalu bergegas menghampiri mobilnya dan masuk ke dalam.

Ia buru-buru keluar dari parkiran sampai di jalan besar layaknya kendaraan berlalu-lang membuat kemacetan di jalan.

Mobil Nadin bergerak perlahan, sesekali berhenti total. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, matanya awas memperhatikan setiap pergerakan kendaraan di depannya.

Nadin menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba bersabar menghadapi kemacetan yang tak kunjung berakhir. Sementara waktu terus berdetik, membuat Nadin semakin gelisah memikirkan Rio.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Nadin melihat kemacetan di depannya mulai berkurang. Kendaraan-kendaraan perlahan bergerak maju, meski masih dengan kecepatan yang terbatas.

Sedikit demi sedikit, jalanan di depan Nadin mulai terlihat lebih lengang. Mobil-mobil bergerak dengan lebih lancar, meski masih belum sepenuhnya bebas dari kemacetan. Nadin menghela napas lega lalu memacu mobilnya semakin cepat, berharap bisa segera sampai.

RIOWhere stories live. Discover now