13 - Bad Bad Dream

Start from the beginning
                                    

Jun melangkah mendekati gue, lalu berjongkok dan menatap gue selama beberapa detik. Entah kenapa, gue mengharapkan kata maaf keluar dari mulutnya.

"Gue muak sama lo, Bri," malah menjadi kalimat yang akhirnya ia ucapkan, "gue muak karena semua orang selalu berpaling ke lo. Bahkan Fio yang gue kejar bertahun-tahun sekarang jadi benci sama gue karena lo. Asli, gue muak sama lo."

"Jun, kok lo kayak anak kecil, sih? Kenapa lo nyalahin Brian, jelas-jelas dia gak pernah ngapa-ngapain Fio!" elak Juan.

Sayangnya, Jun sama sekali nggak mengindahkan eksistensi Juan, "Lo udah ngancurin percintaan yang susah-susah gue bangun selama bertahun-tahun, dan gue gak akan segan-segan buat ngancurin hidup lo juga," ancamnya. Jun beranjak, "Silakan lanjutin karier kalian di kampus. Gue keluar dari band dan dari hidup kalian juga. Farewell."

<>

Gue terbangun dengan kepala pening. Jam digital di ujung meja sudah menunjukkan pukul empat sore. Di atas meja, ada banyak kertas berserakan berisi potongan-potongan lirik yang niatnya gue kembangkan sejak jam dua sore tadi, sayangnya gue malah ketiduran dan untuk sementara nggak ada progress apapun yang dihasilkan.

Ketika gue mengambil ponsel, gue mendapati wajah gue benar-benar berantakan sore ini, terlihat jelas pantulannya di layar ponsel. Ditambah lagi ada beberapa bercak air mata yang menghiasi pipi gue.

Hh, mimpi itu lagi. Gue nggak tau apakah mimpi tadi lebih tepat disebut mimpi atau memori, karena mimpi gue barusan merupakan reka ulang adegan dari kenangan paling buruk yang gue miliki. Rasanya masih sangat vivid, seolah-olah gue masih bisa merasakan perih pipi gue waktu itu, atau lembutnya bibir Fio yang gue harap nggak pernah gue rasakan.

Gue menengok, mendapati Wage yang sejak jam satu numpang goler-goler di sini juga sudah tertidur pulas di atas kasur dengan ponsel di dadanya.

"Ge, bangun," gue menggoncangkan kakinya pelan, dengan mudahnya membangunkan Wage yang langsung berubah ke posisi duduk.

"Jam berapa ini?" tanyanya, ia melirik ponsel, "Buset udah jam empat aja."

"Lo bukannya rapat?"

Wage mengangguk lemas, "Masih setengah jam lagi."

Cowok itu berjalan ke arah gue, tangannya meraih kertas-kertas lagu dan merapikannya dalam satu tumpukan, "Kok bisa, sih, lo kerja di meja yang berantakan gini?"

"Udah biarin, ntar juga gue berantakin lagi, mending lo siap-siap. Rapat apaan, sih?"

"BPMF," jawab Wage singkat. Cowok itu berlalu, mengambil kemejanya yang tadi dilempar sembarangan ke lantai dan memakainya lagi.

"Sama Sandri?"

"Iyalah, ya kali ketua gak dateng," Wage terkekeh, lalu tiba-tiba air mukanya menegang, "lo kenapa, Bri?"

"Apanya?"

"Itu," jemari Wage menunjuk ke arah pipi, "lo nangis?"

Gue buru-buru menggeleng, "Mimpi buruk doang tadi."

Tiba-tiba saja, gue merasakan Wage memeluk lembut dari belakang. Tubuh gue sedikit berjengit karena sudden bromance yang diberikan, tapi gue nggak menolak. Gue tau dia cuma bermaksud menenangkan, toh Wage juga pemeluk yang handal.

Cobain, deh, sekali-kali meluk dia.

"Lo kalo ada apa-apa cerita ya, Bri. Ke gue, Sandri, atau Juan."

Gue memberikan senyum tipis sebagai respon, "Iye, udah sana lo rapat. Keburu telat."

"Iya, gue jalan dulu ya,"

"Yo," gue menutup pintu saat Wage sudah benar-benar keluar dari kamar kost. Tangan gue naik ke kepala dan mengacak-acak rambut.

Di saat-saat seperti ini, ketika gue merasa berantakan, gue harap gue berada di tempat itu. Tempat rahasia di mana gue selalu datang saat hati gue lagi kacau balau. Tempat yang bikin gue nyaman tanpa perlu banyak usaha.

Tapi, entah kenapa, kali ini gue nggak mau ke sana sendirian.

Setelah ditampar kenangan buruk yang menjadi awal bagaimana gue bisa menjadi outcast di kampus, rasanya gue butuh penenang. Gue nggak mau sendirian lagi.

Perhatian gue beralih saat ponsel gue berdering, layarnya menampilkan satu notifikasi direct message dari Instagram.

[prams.b]

Kak, ini gue bianca

Follback ya :)

Tangan gue buru-buru mengetikkan sebuah jawaban, terlalu buru-buru sampai gue nggak sadar apa yang gue tulis.

[bridrm]

Ok

Sabtu jalan yuk?

(seen)

Sialan. Kenapa langsung dibaca? Kenapa gue ngirim gitu?

Tangan gue bergetar saat tulisan is typing... muncul di layar, disusul oleh sebuah balasan singkat dari Bianca.

[prams.b]

Boleh, jam berapa?

<>

[prams.b]

Boleh, jam berapa?

[bridrm]

Lo free jam brp?

[prams.b]

Kosong seharian sih

Lo?

[bridrm]

Bisa bangun pagi gak?

Gue lg pengen liat sunrise

Kalo mau siang gpp sih

18.02

[prams.b]

Sbb

Mau mau

Jam 5?

Emg lo bisa bangun pagi, kak? Wkwkwk

18.23

[bridrm]

Kl gabisa gue ga ngajak, bi

Yaudah, jam 5 gue jemput di kost ya?

[prams.b]

Sip

Mau kmn sih emg?

[bridrm]

Gue kasih tau jg lo gabakal tau tempatnya

Ikut aja

[prams.b]

Nt gue diculik

[bridrm]

Mau diculik gue ga?

[prams.b]

Mau deh

[bridrm]

Wwkwkw yaudah

See you on satudary?

*saturday

[prams.b]

See u

FinaleWhere stories live. Discover now