"Tapi sekarang kan pegawai pemerintah gajinya langsung masuk ke rekening. Jadi saya nggak terlalu pusing sama yang itu lagi. hanya saja kayak ada potongan yang nggak sesuai, atau gaji yang nggak kepotong. Jadi dari instansi itu telepon ke saya yang ngurus gaji mereka buat cross check dan lain-lain," jelas Katerine panjang lebar. Kini Bram lebih paham, apalagi banker itu sangat luas dan bermacam-macam. Seperti yang biasanya Bram lihat duduk dengan papan di atas meja bertuliskan costumer service, atau yang biasanya berdiri sambil menghitung uang.

"Jadi semacam kamu kerjasamanya sama instansi A, nah nanti kamu kasih penawaran pinjaman sekian dengan potongan sekian, habis itu hitung-hitungan sama staf keuangan dari instansi tempat kamu kerja sama?" ulang Bram, dijawab angukan oleh Katerine.

"Kerja saya nggak jauh-jauh dari ngitungin duit orang," canda Katerine. Kalau wanita itu menghitung uang, Bram menghitung struktur bangunan. Sebenarnya sama saja, sama-sama menghitung, tapi rumusnya berbeda.

Tiba-tiba ponsel Katerine kembali berdering, ada telepon masuk untuknya. "Maaf banget, harus saya angkat," kata Katerine merasa tidak enak. Bram mempersilahkan wanita itu untuk mengangkat panggilan masuk.

Bram duduk menyesap teh hijau, pura-pura tidak menghiraukan wanita itu yang sedang menyebutkan nama seseorang serta kata potongan, gaji, dan 0%. Cukup dua menit hingga akhirnya wanita itu kembali menutup ponselnya.

"Maaf Bram, saya nggak enak kalau nggak angkat panggilan yang tadi. Saya juga nggak enak sama kamu," kata Katerine. Bram sekali lagi mengatakan tidak apa-apa.

"Saya maklum yang namanya dikejar-kejar deadline, kalau gajinya nggak tersalurkan bisa bahaya," kata Bram maklum.

Katerine teringat sesuatu, "oh iya, sekarang lagi promo potongan 0% selama lima bulan pertama. Saya pegang dua intansi pemerintah, masing-masing dijatah sepuluh slot. Sisa dua slot lagi. Kalau kamu berminat bisa saya urus yang penting ada slip gaji dan syarat utamanya harus jadi nasabah di bank saya."

Dari situ berlanjut ke penawaran berikutnya. Bukan lagi kencan, melainkan penawaran transaksi pinjam dana. Bahkan kata penutup kencan mereka juga gokil.

"Kalau kamu butuh dana, hubungi saya."

Bram memutuskan untuk tidak melanjutkan kencan mereka ke tahap kedua. Meskipun Katerine masuk kriterianya, seperti umurnya tidak terpaut jauh, punya pekerjaan, dan wanita itu punya badan yang proporsional. Tetapi atitude wanita itu tidak begitu Bram sukai.

...

Kencan kedua di sebuah restoran Jepang. Bram akan menemui seorang pramugari. Tinggi badan wanita itu menyentuh batas maksimal yang Bram ajukan, 175 cm. Umurnya juga menyentuh batas minimal dari syarat Bram, 25 tahun, terpaut 13 tahun di bawah Bram. Baru kemarin mereka dipasangkan, hari ini wanita itu minta bertemu. Alasannya besok pagi dia ada jadwal flight.

"Salah satu persyaratan saya, harus wanita yang punya pekerjaan. Nggak tahu akhirnya saya harus dipasangkan sama wanita-wanita super sibuk," canda Bram.

"Malahan saya yang khawatir kalau dikira kebelit pengen ketemu. Terima kasih karena kamu maklum sama pekerjaan saya," kata Anisa bernafas lega.

Obrolan mereka malam itu tak jauh dari Sabang sampai Merauke, kecuali Miangas dan pulau Rote. Anisa bercerita kalau dia hanya menangani flight dalam negeri.

"Sekarang homebase saya di Makassar, dulu pernah di Bali. Tapi sekarang Bali itu untuk anak-anak baru saja," kata Anisa. Bisa dikatakan dia sudah termasuk level menengah ke atas.

"Jadi setiap hari kamu sarapannya coto Makassar dong?" canda Bram. Terdengar garing, tetapi karena Anisa sudah mahir melayani banyak penumpang dengan berbagai model, Anisa bisa maklum.

"Iya, sambil merem pun saya sudah bisa ngebedain rasa dari tiap rumah makan," kata Anisa ikut bercanda. "Kalau pensiun kayaknya pengen daftar jadi host wisata kuliner di stasiun TV Makassar," lanjut wanita itu.

"Kenapa nggak buka rumah makan saja?" tanya Bram bingung.

"Bakat saya cuma seputaran coto Makassar saja," jawab Anisa kemudian terkekeh geli.

Obrolan mereka semakin mendalam, kini Anisa yang mendapatkan informasi tentang Bram. Awalnya Bram bingung mau menceritakan hal lucu apa tentang dirinya agar malam ini tidak awkward. Apalagi topik coto Makassar sudah lewat.

"Saya baru selesai ngerjain bendung Glapan yang direhab."

"Woah! kerennnn," puji Anisa bersemangat.

Bram menarik sudut bibirnya ke atas begitu menangkap sesuatu yang ganjil di matanya. "Saya yakin kamu nggak bisa bedain bendung dan bendungan," sindir Bram dengan mata menyipit.

"Yahh ... ketahuan," akuh Anisa.

Kemudian mulailah kuliah singkat dari Bram, bermodalkan ipad dan beberapa contoh proyek bendung untuk pengambilan air yang sudah selesai direhab, serta sebuah pemodelan bendungan Gongseng yang akan segera dia kerjakan.

"Kesimpulannya, sama saja sih karena bendung adalah struktur bendungan yang kepalanya rendah," kata Anisa menyimpulkan. Bram menggeleng cepat.

"Fungsinya beda, bendungan itu berupa urugan tanah, batu, beton untuk menahan dan menampung air. Sementara bendung ituk menaikkan muka air. Saya juga pengen bilang bendung dan bendungan sama, tapi garis besar fungsinya berbeda karena bendung bisa dibangun sendirian. Misalnya di sungai, kalau kamu pernah ke sungai."

"Maaf, saya nggak pernah jalan-jalan ke sungai," jelas Anisa. "Maklum saja, saya kalau jalan-jalan selalu naik pesawat," lanjut wanita itu pura-pura memasang wajah sombong.

Semakin malam, bahkan sekarang sudah menyentuh pukul 21.15. Makanan di atas meja sudah habis, salah satu dari mereka sudah memberi kode kalau sekarang sudah saatnya membahas apakah mereka akan lanjut atau berhenti di sini.

"Kamu ganteng, pekerjaan mapan, kenapa harus join Kencan Kilat? Saya rasa nggak mungkin deh kalau nggak ada yang naksir sama kamu."

Sama seperti pertanyaan Katerine sebelumnya, Anisa juga menanyakan pertanyaan yang sama. Sepertinya kali ini Bram harus mengulang jawabannya.

"Teman-teman saya kebanyakan supervisor, engineer, mandor, sama kuli bangunan. Hampir semuanya laki-laki."

"Hampir, berarti ada perempuannya juga dong?" benar tebakan Anisa. Di lapangan memang hampir tidak ada perempuan, tetapi di kantor tentu saja ada.

"Yep, tapi sudah pada menikah. Ada yang belum menikah tapi nggak dekat dengan saya."

Anisa manggut-manggut mengerti. Kini giliran Bram yang bertanya lebih dalam untuk memastikan apakah dia akan lanjut atau tidak.

"Saya lihat di profil, umur kamu 25 tahun. Kayaknya kamu masih punya banyak waktu buat milih-milih pasangan dan nggak perlu buru-buru. Jujur saja saya mendaftar di Kencan Kilat karena sudah 38 tahun dan ingin lanjut ke jenjang yang lebih serius di atas serius," jujur pria itu. Selama sepuluh tahun terakhir dia terus diteror oleh pertanyaan 'kapan nikah' membuat kupingnya sakit. Apalagi jika menghadiri sebuah pernikahan, ada lagi pertanyaan lain 'mana pasangan?'.

Raut wajah Anisa berubah serius. Bram berusaha membaca raut wajah wanita itu. Ada banyak alasan yang sudah Bram asumsikan. Ingin balas dendam karena ditinggal nikah pacar, dikejar-kejar hutang sehingga buru-buru mencari pasangan yang mapan, orang tua sakit makanya ingin segera naik ke pelaminan untuk menyenangkan orang tuanya, atau yang terakhir ... satu-satunya yang paling Bram yakini saat ini adalah—

"Saya sudah punya anak."

Kencan Kilatحيث تعيش القصص. اكتشف الآن