Bakos = Bapak Kos

Mulai dari awal
                                    

"J-jangan sentuh saya, apa pun bapak. Saya minta maaf telah lancang masuk tanpa izin. S-saya cuma mau bayar uang kos," ujarku terbata bata, sambil menyodorkan amplop yang kusimpan di saku oversize sweeters-ku ke arah belakang.

"Begini caramu memberikan sesuatu kepada seseorang yang memberimu tempat tinggal?"

Deg!

Suara berat itu terdengar menyeramkan, dingin dan datar. Tanpa sadar membuat suaraku tertahan di tenggorokan.

"Berbalik," titahnya, aku tidak mau.

Demi apapun aku tidak mau berbalik sampai kapanpun. Titik!

"Aruna?"

Dari mana sih dia tahu namaku? Hah.
Aku akan menuntut orang itu karena telah menyelewengkan namaku tanpa sepengetahuan. Jadilah pria menyeramkan di belakangku ini terus menyebutkan nama cantikku dengan suara yang menakutkan miliknya.

"Berbalik Aruna," ujarnya penuh penekanan.

Ucapanya itu tentu membuat tubuhku meremang. Rasanya seperti ada energi magis yang menatap tajam punggung kecil milikku.

Grep!

Allahumma, maafkan hambamu ini yang paranoid berlebihan. Tapi demi spongebob yang tinggal di bikinibottom, aku parno mendengar suara berat yang menakutkan ini. Rasanya, mendengar suaranya saja membuat esensi tubuhku tak baik-baik saja. Apalagi jika diriku, melihat wajahnya yang entah bagaimana rupanya. Tapi kuyakini, wajahnya pasti tak jauh dari suaranya yang menakutkan.

"Ahkk, Astagfirullah haladzim. Pokoknya Una gak mau lihat wajah Anda. Una udah minta maaf, sekali lagi Una minta maaf pak Toro," ujarku spontan tanpa membuka mataku, saat dirasa cekalan kasar membuat tubuhku berbalik secara spontan.

"Apa katamu Aruna?"

"Please, Una mau pergi dulu. Uangnya yang penting sudah Una kasih. Bye."

Finally, aku langsung menarik pergelangan tanganku yang ia pegang, tanpa membuka mataku.

"Buka matamu."

"Gak."

"Aruna!"

Dia membentakku, seriusan?
Bahkan Ayah dan ibuku saja tidak pernah membentakku. Mereka akan selalu mengoreksi kesalahan yang aku buat tanpa kekasaran, bentakan atau kekerasan fisik. Mereka mengintrogasi diriku dengan lembut dan pengertian, kemudian membuatku introveksi diri akan kesalahan yang telah aku buat. Ayah tak pernah membentaku, apalagi ibu yang amat lembut kepada putri putrinya.

Lalu dia, siapa dia berani membentaku?!

Orang asing yang baru kutemui beberapa menit yang lalu, dan dia sudah membentak diriku.

Apa haknya coba? Aku emosi, sungguh!

"Siapa Anda berani membentakku?"
Ujarku sarkasme sambil membuka matuku lebar lebar.

Memperlihatkan kepadanya kemarahan yang mulai mencapai ubun ubun. Seenak jidatnya saja dia membentak diriku. Enak saja, demi upin ipin yang tidak pernah punya rambut, aku bersumpah akan memarahinya. Aliran darahku seperti naik seketika.

Aku mematung, suaraku tercekat ditenggorokan. Jika benar adanya mitos jika mahluk halus bisa berwujud setampan ini, aku akan menjadikanya suami. Toh, ibu juga tidak akan menolak untuk menerimanya menjadi menantu. Apalagi jika calon menantunya jelmaan sang Adonis begini!

Astagfirullah, aku beristigfar dalam hati. Hampir saja aku jatuh dalam pesonanya. Bagaimanapun juga pemilik mata tajam bak elang, tapi cerdik bak rubah berekor sembilan itu. Dari pencahayaan yang minim saja, aku bisa melihat ketajaman matanya. Memindaiku tanpa celah sedikitpun.

"P--pak T--toro, S--saya mau bayar kos." Halah, kenapa jadi gagap begini sih?!

Aku merutuki diriku sendiri, antara campuran takut dan juga terpesona. Hmm, dilihat lihat dari segi manapun mahluk di depanku ini memiliki rupa yang rupawan. Jika diukur kadar ketampananya, lumayanlah diatas standar mantan mantanku.

"Terpesona hm?"

Ahh, aku ke-geep lagi memandangi dia intens. Bodoh, bodoh sekali diriku ini Una.

Sabar, tenang dan relax. Kamu cuma perlu memberikan uangnya dan pergi. Ok, siap laksanakan dan pergi.

"I--ini pak Uangnya, saya permisi."
Ujarku buru buru, setelah memberikan uang yang ada di dalam aplop yang kubawa.

Dalam hati aku bersorak gembira, saat tanganku aķhirnya meraih gagang pintu. Tapi, sebelum sempat membuka pintu cahaya terang membuatku terlonjak kaget. Tiba-tiba cahaya terang menyinari seluruh ruangan, dan membuat iris maduku bergerilya kesana kemari.

Tunggu dulu, ini ada apa?

"A--apa apaan ini?" Tanyaku gagap, sambil berbalik arah.

Menatap pria berkaus putih dengan lengan panjang, berdiri sambil bersidakep dada. Ia mengenakan bawahan dongker, dengan sendal rumahan warna hitamnya. Sebuah kacamata bertengger apik di hidung mancungnya. Rambutnya hitam gelap, matanya yang agak sipit terlihat tajam seperti elang dan rubah secara bersamaan. Tubuhnya tinggi, juga peluk-abble. Sialan, ganteng amat!

Hatiku mengutuk nuraniku sendiri. Otak dan hati sangat tidak sejalan disini.

Tapi mataku tak berhenti disitu, saat melihat sekeliling ornamen diruangan ini kepalaku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Siapa foto wanita yang mirip denganku, dan banyak tergantung di dinding tersebut. Senyumnya, rambut sebahunya, tawanya, tubuhnya, persis sekali dengan diriku. Bahkan mbak Arini dan Arinda saja yang notabene kakak dan adikku tak semirip itu dengan wajahku.

Lalu, dia ini siapa?

"Mirip, denganmù Aruna?" Dia kembali berucap, tanpa merubah posisinya.

"Dia siapa?" Sewotku kesal.

"Tunangan saya," ucapnya gamblang, memberitahuku dengan wajah tanpa ekspresi.

Jika dia mirip denganku memangnya kenapa? Lagi pula itu tidak ada urusanya denganku 'kan.

"Apa urusanya dengan saya, kalau tunangan bapak mirip saya? Gak ada tuh."

"Ada."

Aku menoleh, ada apa maksudnya.

"Berarti kamu harus menjadi penggantinya."

Deg!

"Whatt??"

Gila. Gilak ini cogan satu. Aku yakin seribu persen jika dia gilak tiada tara.

Apa apaan coba, perkara mirip saja langsung menjadi penggantinya. Memangnya aku ini semacam peran pengganti pasangan tokoh utama gitu? Pengganti pasangan tokoh utama dalam sebuah flim atau kisah kolosal. Aku bukan figuran!

Sorry dorry stoberry, Una gak minat!

"Are you insane mr?" Tanyaku datar.

Aku bisa melihat senyuman evilnya di sana. Di wajah tampanya, masih dalam posisi bersidakep dadanya.

Aku memutuskan sampai di sini pembicaraan ambigu ini. Tak ada artinya sama sekali bagiku, semirip apapun tunanganya denganku. I don't care about it.

"Saya tidak peduli dengan apapun itu maksud anda. Yang penting saya sudah bayar uang kos, dan saya tidak di depak dari sini. Thanks," ucapku mengutarakan, sebelum aku berbalik meraih knop pintu.

Pokoknya aku tidak mau lagi berurusan dengan pak Toro itu, TITIK!

🏡🏡🏡

To Be Continue

Hayoo, Una kembali lagi nihh😊😊
Jangan lupa vote dan komentarnya ya. Follow juga akunku @nengkarisma
Ok, sampai jumpa lagi nanti.

Sukabumi 12 Juni 2020
Revisi 04/01/21

My Mysterious Dosgan : Dosen Ganteng (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang