Matanya sembab, bukti nyata kalau dia baru aja nangis.

"Are you okay?" tanya gue retoris. Anak perawan mana yang baik-baik aja terus nangis? Tapi gue beneran gak tau harus ngomong apa.

Gue bahkan gak tau apa gue punya hak buat nanya-nanya kayak gini kedia.

Bianca bergeming. Dia bahkan gak mau ngeliat gue.

"Tadi Dimas nanyain gue liat lo apa nggak, katanya lo nangis di kelas. Gue cariin ternyata lo di sini."

"Kenapa nyariin gue, Kak?" tanyanya dengan suara serak.

Gue terdiam, sendirinya gak tau kenapa gue nyariin dia. "I don't know, I just want to make sure that you're ok."

"Emang kalo gue kenapa-napa bakal ngaruh ke lo?" kali ini suaranya meninggi. Kok kesel?

"Mungkin? Lo kan sepupunya Juan, kalo lo kenapa-napa pasti ngaruh ke Juan, terus gara-gara itu bisa aja merembet ke SunDay."

"SunDay?" Bianca mengernyit, "Oh, nama band-nya SunDay?"

Gue mengangguk. Nggak tau diliat apa nggak, tapi Bianca gak nanya-nanya lagi. Dia cuma diem, matanya lurus ke depan, sementara matahari yang daritadi dia liatin itu udah hilang, berganti sama langit gelap dan beberapa bintang.

"Minum dulu, suara lo serek."

Bianca melirik sebotol air mineral yang gue tawarkan. Bukannya menerima, atau bilang makasih, wajahnya malah berubah masam. The worse thing is, air matanya mengalir lagi. Turun bebas mengaliri pipinya.

Masa gue nawarin minum bikin dia sedih, sih?

"Lo gak ma—"

"Kenapa lo baik banget sih sama gue?!" bentaknya tiba-tiba, nadanya terdengar sangat ofensif, seolah-olah gak terima kalau gue memperlakukan dia sebaik ini.

Apa-apaan?

Gue mendengus. Gini ya rasanya hidup dalam penolakan? Nggak cukup temen-temen (that's not even my friends) di kampus, sekarang sepupu bandmate gue pun ikutan nolak keberadaan gue.

"Lo gak suka?" gue balik bertanya dengan nada yang gak kalah ofensif.

Sorry banget, tapi gue capek. Capek karena semua orang enggan melihat keberadaan gue.

Bahkan Bianca.

"Kalo iya, kenapa?" gumamnya. Suaranya ragu, seperti gak yakin dengan omongannya sendiri.

"Kenapa? Lo kemakan gosip Jun juga?"

Alisnya saling bertautan, menampilkan kebingungan yang nyata pada wajahnya, "Gosip Jun?"

Sial. Kalo dia emang gak tau soal gosip Jun, terus kenapa dia kayak jijik gini sama gue? "Kenapa, sih, Bi? Lo trust issues?"

Bukannya menjawab, perempuan itu malah menunduk, pertanda kalau tebakan gue kemungkinan besar benar. "Bi, kalo lo emang punya trust issues, bukan berarti lo harus nutup diri dari kebaikan orang lain."

"Gue gak ada niatan apa-apa selain nenangin lo. Gue denger lo nangis. I just want to make sure that you're ok. Udah, itu aja. Terserah lo mau percaya apa nggak," gue melanjutkan, "dan kalo lo emang gak suka gue perlakuin kayak gini, bisa kali bilang baik-baik. Gak usah pake acara bentak-bentak."

"Gue udah cukup hidup dalam penolakan di kampus, Bi. Gue pikir lo bakal beda dari mereka. Lo selalu baik sama gue, gak kayak orang lain yang ngeliatin gue dengan jijik."

Bianca mengangkat kepalanya. Kelihatannya ngerasa bersalah, tapi di saat yang sama juga bingung. Mungkin dia nggak ngerti gue ngomong apa. Gue pun nggak berniat untuk menjelaskan lebih lanjut.

Gue menarik tangan Bianca, membukanya dengan paksa dan menaruh botol air mineral tadi di tangannya, sedangkan yang punya tangan gak komentar apa-apa.

"Ternyata lo sama aja, ya? Thanks for the rejection, by the way. Kalo lo emang gak suka, mulai hari ini gue gak akan berinteraksi lagi sama lo."

Gue berbalik, siap-siap pergi. Toh dia udah gak butuh presensi gue, kan? Tapi Bianca menahan gue dengan satu pertanyaan, "Kenapa?"

"Kenapa? Lo keliatannya gak suka kalo gue berbuat baik ke lo, Bi," gue menjawab pertanyaannya tanpa menoleh, "gimana caranya untuk nggak berbuat baik ke lo kalau gue masih berinteraksi sama lo? Satu-satunya cara ya, let's stop talking to each other."

Detik berikutnya, Bianca gak menahan gue sama sekali ketika gue menuruni tangga dan meninggalkannya sendiri.

<> 

A/N
a (little bit) shorter update bc kasian Mas Bri T^T

FinaleWhere stories live. Discover now