Wanita tersebut tersenyum sangat manis padaku. "Siapa namamu, Nak?"

"Ben, Tante." Aku enggan mengulurkan tangan kotorku, tapi terpaksa menyalamnya karena wanita itu lebih dulu memberi tangannya.

"Becca. Selamat datang di rumah kami," ujarnya lembut. Di jalanan aku belum pernah mendengar kalimat diucapkan selembut itu. "Jangan sengan! Anggap saja rumah sendiri."

Astaga! Rumah sebesar ini kuanggap rumah sendiri? Aku tidak ingat pernah melakukan kebaikan besar hingga layak mendapatkannya. Tapi jika itu adalah perintah, aku akan melakukannya sepenuh hati.

"Iya, Tante."

"Daddy." Sebuah suara cempreng datang dari arah belakangku, lebih tepatnya dari pintu utama. Aku membalik badan demi melihat si empunya suara. Satu lagi makhluk kaya yang berpenampilan sempurna.

Aku menduga usianya tiga atau empat tahun. Dia bertubuh mungil seperti boneka. Kulitnya putih dan bersih. Rambutnya ikal dan sedikit merah. Matanya yang cantik membulat saat memandangku.

"Uuuuu," ia merengek serta bergerak mundur, ia memegang kaki perempuan berseragam merah muda yang kutebak adalah pengasuhnya. "Kenapa orang gila ada di rumah kita, Dad?"

Harusnya aku kesal, tapi aku malah tersenyum. Dia begitu lucu, apalagi pipinya yang gemuk. Apakah dia putri Om Hanun dan Tante Becca?

"Larissa!" Tante Becca menegurnya. "Itu nggak sopan, Sayang. Kenalkan, kakak ini namanya Ben."

Namanya Larissa, sangat cocok untuk dirinya yang manis. Gadis kecil itu menggelengkan kepala hingga rambut ikalnya bergoyang. "Issa nggak mau! Kakak itu malas mandi, jorok."

"Sekarang Ben jadi kakak kamu." Kata Om Hanun. "Jadi kamu harus sopan, sayang. Kamu bilang mau punya kakak, kan?"

Larissa mengangguk. "Tapi kak Ben harus mandi dulu."

"Iya, nanti kak Ben mandi."


*****


Aku diberikan kamar yang sangat besar. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan potongan koran yang selama ini kugunanakan sebagai alas tidur. Ada lemari besar, tv, kamar mandinya juga di dalam kamar. Aku tidak lagi mengantri hampir sejam di kamar mandi umum hanya demi membasuh tubuh. Ya, Tuhan. Aku tidak menduga hal seperti ini akan terjadi padaku.

Padaku diberikan pakaian bersih. Aku tidak tahu darimana mereka mengambilnya. Ada beberapa pasang lagi di dalam lemari. Tante Becca bilang nanti dia akan membelikan lagi, beserta perlengkapan sekolahku.

Aku baru saja selesai mandi. Aku sengaja lama membersihkan tubuhku. Kupakai banyak-banyak sabunnya, agar nanti, saat Larissa melihatku, dia tidak menganggapku orang gila lagi. Bibirku tersenyum mengingat balita itu. Dengan wajah boneka seperti itu, kuyakin tak ada yang tega marah padanya.

Pintu kamarku berderit. Mengeringkan rambut, aku melirik ke arah pintu. Si kecil berambut ikal sedang tersenyum ke arahku. Dia masuk lebih dalam. "Kakak udah mandi?"  Suaranya tidak secempreng tadi.

"Udah."

"Kalau udah mandi udah boleh main?"

"Main?"

Larissa mengangguk. "Main boneka barbie lho, kak."

"Hhhmm." Demi apa aku bermain boneka? "Larissa main sendiri aja, ya."

Bibirnya bergetar. "Kak Ben nggak mau temanin Issa main?"

"Bukan nggak mau," aduh! Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Tapi kak Ben nggak suka main barbie."

Tatapannya penuh tanya. "Terus kak Ben sukanya main apa?"

Main kejar-kejaran sama orang, main copet-copetan. "Nonton tv."

"Yah," Larissa menggerak-gerakkan badannya. "Nonton tv nggak enak, kak."

"Enak kalau nontonya sama kakak. Issa mau coba?"

Mungkin dia tidak punya pilihan, kepalanya mengangguk. "Nonton barbie, ya."

Astaga. "Nontok tembak-tembakan aja."

"Yaudah deh." Larissa naik ke tempat tidurku. Walau tubuhnya pendek, dia dengan mudah memanjat. "Hidupin tv nya, kak." Kakinya di panjangkan ke depan, ia melipat tangan.

Ck, masih kecil dia sudah terbiasa mengatur. Aku mengambil remot lalu menyalakan tv. Aku mengganti-ganti chanel, bingung memilih yang mana. Setiap aku berhenti di satu acara Larissa selalu menggeleng.

"Nggak ada barbie?" Ia menatapku dengan mata bulatnya. Ingin kucubit pipi gemuk itu.

Aku mana tahu film barbie ada di chanel apa. Aku sudah memencet semuanya, satupun tidak ada yang dia suka.

"Kayanya nggak ada, Sa." Handuk yang tadi kupakai kugantungkan kemudian ikut naik ke tempat tidur. "Bagaimana kalau kakak bacain dongeng aja?"

"Boleh." Larissa membalikkan tubuh mungilnya lantas tiduran.

"Lho, kok tidur?''

"Kak Ben bilang mau bacain dongeng. Issa harus tiduran kalau mau dengarin cerita."

Baiklah, dia gadis kecil yang banyak menuntut. Kubaringkan tubuhku di sampingnya, mulai bercerita.

"Zaman dahulu---"

"---jangan zaman dulu dong, kak! Kata miss zaman dulu nggak ada mobil yang ada cuma kuda. Issa nggak suka naik kuda. Takut jatuh."

Aku dengan patuh menurutinya. "Pada suatu waktu, adalah seorang gadis kecil bernama Monica---"

"---ganti jadi Issa aja, kak. Monica nama temanku, dia cengeng."

Aku menahan helaan napas. "Adalah seorang gadis kecip bernama Issa. Di sedang bernyanyi---"

"---Issa nggak suka nyanyi, kak Ben. Suara Issa jelek. Issa suka menari."

Aku menarik kata-kataku saat kubilang Larissa lucu. Dia sangat menyebalkan. "Ya udah kita main barbie aja." Aku menyerah.

Larissa langsung duduk, ia menarik tanganku. "Ada di kamar Issa, kak. Ayo, kak."

Bolehkah aku berpikir kalau Larissa memang sengaja menolak semua siaran di tv, memotong setiap ceritaku, supaya bisa bermain barbie??

Tapi demi Tuhan, dia masih kecil.



Bersambung....


_______________________



Yeayyy!!! Hola-hola💃💃💃

Berhubung With love udah selesai dan sedang dalam masa revisi, aku datang dengan cerita baru. Biar kalian nggak menye-menye karena babang Putra harus kegantung macam kolor di jemuran..🤣🤣🤣

Judulnya Miss Possesive! Kalau moodku lancar, bakal aku apdet tiap hari🥰🥰

Jangan lupa vot dan komen ya, syg.

Salam cinta😘





Miss PossesiveWhere stories live. Discover now