06 - Your One Call Away Man

Start from the beginning
                                    

"Indomaret yuk? Tak traktir es krim."

Senyum Bianca mengembang, dan bohong kalau gue bilang gak ada rasa senang ketika melihat adek (sepupu) kesayangan gue ini tersenyum.

<>

Sandri

Kalau kalian pikir kuliah itu enak, please buang jauh-jauh mindset itu. Emang, sih, lo bisa pilih-pilih jadwal kelas seenak jidat, sehari paling cuma satu matkul yang gak sampe tiga jam kelar. BPM—atau organisasi mahasiswa lainnya, gak ada bedanya sama OSIS atau MPK.

Somehow, kuliah itu jauh lebih berat. Nggak tau apa yang bikin beda. Padahal sama-sama rapat, sama-sama bikin tugas, sama-sama sibuk kepanitiaan. Tapi kuliah itu jauh lebih berat, dah, titik.

Intinya, gue capek banget sekarang. Semuanya itu berkat rapat BPM yang baru selesai jam setengah sembilan malam, ditambah tumpukan paper dan presentasi yang harus gue selesaikan dalam waktu satu malam. Bye-bye tidur.

But here's a thing, seberat-beratnya kuliah, don't stress yourself too much. Take a rest, have some fun, walaupun cuma lima menit. Hidup kan udah susah ya ... gak usahlah dibikin lebih susah.

Maka dari itu, di sinilah gue sekarang, seorang Sandri Setiawan, naik motor keliling kota malam-malam masih dalam balutan baju yang gue pake sejak pagi. Sekedar melepas penat sebelum akhirnya benar-benar pulang ke kost dan kembali berkutat dengan kewajiban gue sebagai seorang mahasiswa.

Saat itulah gue melihat Bianca, berjalan lesu entah dari mana dan entah mau kemana. Tanpa pikir panjang, tentunya, gue langsung menghampiri perempuan itu.

"Eh, Kak Sandri?" ujarnya, terkejut dengan kehadiran gue yang nggak disangka.

"Mau kemana?" gue bertanya dengan senyum mengembang. Coba kasih tau gimana caranya gak senyum-senyum di depan Bianca.

"Oh ... anu, mau pulang."

"Oh, gue anter, yuk?"

"Gak baik cewek pulang malem sendiri, apalagi jalan kaki," sela gue cepat sebelum Bianca sempat menolak. "lagian kayaknya lo capek banget, yakin masih mau jalan?"

Bianca dengan ragu memperhatikan motor gue, dia nggak mengiyakan, tapi gak lama setelahnya ia langsung menempatkan diri di atas jok. Nah, gini kan enak.

"Gue gak bawa helm tambahan, sorry, ya."

"Nggak pa-pa, Kak, deket kok. Lurus aja dikit nanti belok kiri, kost gue yang warna krem."

Gue tau pasti kost mana yang Bianca maksud, mungkin karena gue terlalu sering keliling kota malem-malem begini. Jujur gue agak kaget karena beneran sedeket itu, gak ada lima menit lagi Bianca bakal turun dan lagi-lagi momen gue bisa ngobrol sama dia akan berakhir begitu aja.

"Mau minum dulu, Kak?" tanya Bianca begitu turun dari atas motor. Gak nolak lah gue, gila. Kapan lagi bisa ngobrol sama dia berdua?

Gue duduk di teras, sementara Bianca masuk ke dalam kostnya dan gak lama kemudian keluar dengan sebotol minuman teh instan.

"Air putih aja gak pa-pa padahal," ujar gue seraya membuka botol itu dan menenggak setengah isinya. Haus, bro.

"Kalo tehnya kurang nanti gue ambilin air putih, kok," Bianca tertawa kecil.

Ih, manis.

"Darimana?"

"Keliling aja, sih, bosen gue di kamar terus."

"Enak ya, maba, masih gabut."

"Nggak, kok," elaknya, "gue juga banyak tugas, tapi males ngerjain aja."

Paham, Bi, gue juga dulu gitu. "Lagi banyak pikiran ya?"

Air muka Bianca berubah masam, dan gue nggak tau apakah gue salah bertanya seperti itu. Tangan gue merogoh tas, mencari secarik kertas dan bolpen, lalu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Bianca.

"Itu nomor telepon gue," gue menjelaskan sebelum Bianca sempat bertanya, "it may sounds like a stalker, tapi gue liat lo di kampus gak banyak ngomong sama orang lain. Dan, yah, lo mungkin punya Juan buat jadi tempat cerita, but if it's a family thing, or anything you couldn't tell Juan, lo boleh banget, kok cerita ke gue."

Bianca masih diam, matanya menatap kosong kertas yang gue berikan tadi. Gue sama sekali nggak tau apa dia senang, atau malah semakin sedih.

"Anggep aja gue one call away lo, Bi. Gue cuma akan jadi pendengar yang baik, bikin lo nyaman, and I promise I won't share your story to anyone else, even Juan."

Gue melirik jam tangan, dan langsung mengumpat dalam hati waktu sadar sekarang udah jam berapa. "Kayaknya gue harus balik sekarang, duluan ya."

Bianca nggak ngomong apa-apa, dia cuma mengantar gue ke gerbang, tempat motor gue terparkir rapi. Bahkan ketika gue senyum, dia nggak membalasnya sama sekali. Matanya kosong, mulutnya terkatup rapat. Gue cuma bisa berdoa dalam hati, semoga dia nggak salah paham sama itikad baik gue.

Gue menyalakan mesin motor, bersiap untuk pergi, dan sedetik sebelum gue sempat melaju, gue menyempatkan diri untuk melirik wajah Bianca sekali lagi. Gue melihatnya, setetes air mata jatuh dari mata Bianca. Sayangnya motor gue sudah lebih dulu melaju, dan gue gak bisa kembali lagi untuk menghapus air mata itu.

<> 

FinaleWhere stories live. Discover now