"Aaaaah—" Dimas menghentak-hentakkan kakinya, persis anak bayi minta dibeliin permen, "Please, Bi. Lo emang gak gabut apa Sabtu gini di kost doang?"

Yah, bener juga, sih. Aku lagi nggak ada kerjaan selain rebahan dan internetan. "Tapi di studio juga gue ngapain, Dim?"

"Temenin aja, liatin gue, jadi pemandu sorak kek," tukasnya asal, "lagian pasti ada yang seneng kalo lo dateng."

"Hah?"

Dimas mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya kepadaku, dan berbisik, "Kemaren pas gue lagi di-interview, Bang Sandri tuh ngelirik-lirik lo mulu. Apalagi pas lo balik sama Bang Brian, buset, gak lepas tuh mata. Demen sama lo, tuh, pasti."

Aku terdiam, nggak tau harus mempercayai omongan Dimas atau nggak karena aku nggak melihatnya secara langsung. "Terus? Lo disogok Kak Sandri biar gue mau mampir studio hari ini?"

"Nggaklah," Dimas memundurkan tubuhnya lagi, "sumpah, Bi, gue takut banget mau dateng sendirian. Mereka semua, kan, kating, nanti gue di-bully gimana? Kan lumayan kalo ada lo jadi gue punya saksi hidup—"

"Sepupu gue gak pernah main bully."

"Bi ..." Dimas menunduk, tapi matanya tak lepas dari wajahku. Lebih tepatnya, cowok itu mengeluarkan jurus puppy eyes sekarang.

Sialan, aku gak tau kalau Dimas seimut ini.

"Iya deh gue dateng, tapi abis kelas listening minggu depan traktir gue ya?"

"Siap!"

<>

Sandri

Sebagai mahasiswa dari angkatan dua tahun di atasnya, serta prodi kami yang berbeda, gue jarang bertemu Bianca. Dan, kalau kalian ingat confess gue tentang betapa adiktifnya suara Bianca, gara-gara itu gue selalu mengindahkan momen dimana gue bisa bertemu dengannya, apalagi mendengarnya bicara.

Sayangnya, di pertemuan terakhir kami yaitu audisi Dimas, gue gak punya banyak kesempatan untuk bicara dengan Bianca. Meskipun dia beberapa kali ngomong, tetep aja rasanya gue gak puas. Yah, namanya juga adiktif, yang namanya batasan puas itu gak ada.

Gue makin kecewa waktu Bianca pulang, pulangnya sama Brian, lagi. Gue pikir, dia bakal nunggu di sana sampai wawancara Dimas kelar, dengan begitu gue punya sedikit waktu untuk ngobrol lagi, tapi ternyata gue kurang beruntung. Kalau boleh jujur, gue iri banget sama Brian. Meski gue gak tau apa mereka bener-bener pulang bareng satu motor, tetep aja gue iri.

Tapi sekarang kayaknya Semesta lagi baik sama gue, karena siang ini tiba-tiba Dimas muncul di ambang pintu studio dengan Bianca mengekor di belakang.

"Lho, Bi? Kok ke sini? Mami titip sesuatu tah?" tanya Juan begitu melihat sepupunya, dia bahkan gak mau repot-repot menyapa Dimas, Bianca tetap jadi prioritas nomor satunya.

"Ndak, Ko, meh nemenin Dimas aja."

Gue menunduk dan mengulum senyum, kayaknya abis ini gue harus bilang makasih ke Dimas, meski gue nggak tau apa yang terjadi di belakang sampai Bianca mau nemenin Dimas kemari.

Ketika gue mendongak, Bianca sudah sepenuhnya masuk ke dalam studio dan duduk di samping Juan. Hal yang janggal adalah matanya yang terpaku tepat pada sosok Brian, sedangkan Brian sendiri terlalu fokus pada bass-nya untuk membalas tatapan Bianca.

Gue gak bisa berhenti memikirkan hal tersebut. Apalagi saat kami memulai latihan, lagi-lagi gue menangkap mata Bianca tak henti-hentinya menatap sosok Brian, sambil sesekali berganti Juan.

Ada sesuatu, dan gue gak tau apa itu.

"San," Juan menyenggol lengan gue dengan ujung gitarnya, "kok off-beat banget, sih?"

"Sorry, gak fokus gue. Ulang lagi ya, Dimas intro."

Setelah itu, akhirnya, mata gue bertemu dengan Bianca. Iya, dia ngeliatin gue, tapi tatapannya beda dengan yang dia kasih ke Brian. Dia kelihatan kasihan. Mungkin dia pikir gue capek, dan kasihan karena gue sampai off-beat dan ditegur Juan tadi, entah. Dia memberikan senyum tipis, seperti mengirimkan pesan memberi semangat, tapi gue nggak merasa senang karena senyum dan tatapannya itu nggak berakhir lama, lagi-lagi ia beralih pada Brian.

Pikiran gue makin kemana-mana. Apalagi saat otak gue protes karena gue bisa-bisanya mikirin Bianca ketika gue jelas-jelas lagi main gitar, di tengah-tengah latihan yang sangat penting bagi SunDay.

Kalau kalian cukup mengenal gue, kalian pasti tau kalau gue gak pernah fokus selain pada sekolah, musik, dan keluarga. Soal perempuan itu urusan belakangan, toh nanti kalau gue udah sukses pasti banyak cewek yang ngejar, kan?

Gue pernah, kok, jatuh cinta. Gue juga pernah pacaran, tapi gue ngerasa gak worth it aja. Perasaan-perasaan itu malah ganggu akademis gue, bahkan kadang bikin keributan yang efeknya jangka panjang, kayak apa yang terjadi sama Jun misalkan. Efeknya gak cuma bikin dia pusing seorang diri, tapi nyusahin anggota lain SunDay juga.

Sekarang liat coba, gue malah gak bisa nge-brush off Bianca dari pikiran gue, bahkan setelah latihan selesai, gue masih kepikiran. Ditambah Bianca dan Brian sekarang liat-liatan dari posisi mereka masing-masing.

Ibaratnya seorang perokok, gue ngerasa gak terima ketika nikotin favorit gue seenaknya dihisap orang lain. Tapi rokok itu pun gak mungkin cuma produk satu-satunya di dunia, gak seharusnya gue ngerasa begini karena pada akhirnya orang lain bisa beli produk rokok yang sama di banyak tempat dan menikmati rasa yang sama dengan apa yang gue rasakan.

Alias, Bianca bukan milik gue seorang, dan gue nggak punya hak untuk protes.

<> 

A/N

Mari kita tundukan kepala dan mengheningkan cipta untuk Bapak Sandri.

FinaleWhere stories live. Discover now