Dengan lembut Shani memegang tangan papa yang masih memegang pundaknya.

"Pa..."

"Shani putri kecil Papa ... kamu cantik sekali, Nak," Papa tersenyum sambil mengusap pundak Shani, "gadis kecil kesayangan Papa sudah dewasa, hari ini dia akan menikah dengan pria yang sudah ia pilih." Papa beralih berdiri di sebelah Shani.

"Papa senang dan tenang karena kamu akhirnya menikah, putri kesayangan Papa menikah dengan pria yang InshaaAllah baik, bertanggung jawab, dan sangat menyayangi kamu. Papa yakin, Vino akan menjadi suami yang baik untuk kamu, Papa yakin dia mampu menjadi pemimpin rumah tangga kalian dengan bijak," Papa mengusap pipi Shani lembut, "kehidupan rumah tangga, nggak selalu diisi dengan tawa bahagia dan kamu pasti sudah tahu itu. Akan ada masa kalian berbeda pendapat, cekcok, dan sebagainya. Tapi satu hal yang harus selalu kamu ingat, ketika kamu bersedia menikah dengan seseorang, itu berarti kamu harus bersedia menerima semua kekurangan dia, bersedia berbagi hidup dengan dia. Hormati suami kamu, penuhi semua kewajiban kamu sebagai seorang istri. Dan ingat, selalu minta restu apapun itu ke suami kamu sebelum kamu bertindak."

Shani bangun dari duduknya dan langsung memeluk papa dengan erat.

"Stop talking, Pa ... make up aku bisa berantakan ini."

Papa tertawa, tangannya masih setia mengusap punggung Shani dengan lembut, sesekali menepuknya dengan perlahan.

"Adek sayang sama Papa,"

"Papa jauh lebih sayang sama Adek, jauh sebelum Adek tahu Papa. Adek akan selalu jadi gadis kecil Papa, kapan pun itu. Nggak perduli walau kamu udah dewasa, menikah atau bahkan punya anak sekali pun, bagi Papa, kamu tetap putri kecil kesayangan Papa yang senang Papa gendong di atas pundak ketika berjalan bersama di sore hari, yang selalu minta diusap alisnya untuk tidur. Kamu tetap putri kecil Papa, jangan lupain Papa ya walau kamu udah nikah."

Shani melepaskan pelukannya dengan Papa, "mana mungkin Adek lupain Papa, my very first love, my hero, my everything."

***

Vino duduk dengan gelisah, kedua telapak tangannya tiba-tiba banjir oleh keringat, tremor, dan terasa dingin. Sejak tadi ia terus menunduk sambil berkomat-kamit malafalkan berbagai macam doa agar acara pagi ini berjalan lancar.

Papa berdehem dan membuat Vino mengangkat kepalanya. Pria yang sebentar lagi akan resmi menjadi mertuanya itu tersenyum sambil menggerakkan tangannya yang menghadap ke bawah beberapa kali.

"Calm down, Vino. Why you look so nervous?"

"Takut, Pa..."

"Takut apa? Kamu udah nggak punya waktu buat kabur dari pernikahan ini kalau kamu takut," Papa mencoba mengajak Vino bergurau, "relax, relax ... Papa yakin kamu sebenarnya udah hafal dengan apa yang harus kamu ucapkan pagi ini sejak beberapa tahun yang lalu, iya, kan?" Papa kemudian tertawa.

Beberapa menit kemudian, tangan papa dan Vino saling bersalaman di atas meja. Vino menatap lurus-lurus papa yang tersenyum padanya.

"Ananda Raja Vino Narendra bin Bayu Rahmat Prijadi, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya yang bernama Shani Indira Natio kepada engkau dengan mas kawin berupa 500 gram logam mulia dibayar tunai." Papa mengeratkan salaman tangannya dengan Vino.

"Saya terima nikah dan kawinnya Shani Indira Natio binti Richard Natio dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Ujar Vino dengan penuh keyakinan dan dalam satu tarikan napas.

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah."

Semua perasaan takut pada Vino langsung menguap. Pria itu mengucap hamdallah berkali-kali dalam hatinya sambil menunggu penghulu selesai melafalkan doanya.

Tak lama setelah itu, MC mempersilakan Shani untuk masuk ke ballroom hotel setelah Vino selesai mengucap ijab kabulnya. Dengan diiringi suara gamelan, Shani melangkah dengan anggun dan dengan senyum yang menghiasi wajahnya menuju tempat Vino.

Pria itu menatap Shani dengan pandangan mata yang buram, entah kenapa rasa haru kini menyerang Vino. Ia bahkan sampai harus berbalik badan untuk mengusap air matanya.

"Are you crying?" Bisik Shani setelah duduk di samping Vino, "Sayang, why are you crying?"

"Because now you are my wife, and you look so damn beautiful."

"Silahkan Mas Vino untuk memasangkan cincin ke Mbak Shani, begitu juga Mbak Shani untuk memasangkan cincin ke Mas Vino, monggo..."

"Alhamdulillah, you are my wife." Bisik Vino sambil memasangkan cincin ke jari manis Shani.

"Alhamdulillah, this man is my husband." Shani ikut berbisik sambil memasangkan cincin di jari manis Vino.

Keduanya kemudian saling melemparkan senyum bahagianya.

"I love you." Ucap Vino tanpa suara, tapi Shani bisa membaca dengan jelas pergerak bibir pria yang kini sah menjadi suaminya itu.

Penghulu kemudian meminta Vino untuk memegang kepala Shani kemudian mulai membacakan doa.

"Silakan kalau mau dicium istrinya, udah sah sekarang. Tapi, ciumnya di kening aja, Mas, kalau yang lain monggo nanti malam saja nggih." Goda sang penghulu pada Vino dan membuat beberapa orang yang mendengarnya tertawa, begitu juga dengan Vino dan Shani.

Maka dengan perlahan Vino merangkai wajah Shani dan memeberikan ciuman di kening istrinya dengan lembut. Ada perasaan yang sulit Vino jelaskan, ia sudah sering mencium kening Shani seperti ini, tapi entah kenapa sekarang terasa berbeda. Mungkin benar apa kata orang-orang, ketika kita menikah segala sesuatu yang biasa dilakukan ketika sebelum menikah dan dilakukan setelah menikah terasa berbeda terasa lebih nyaman dan hangat.




***

Karena kayaknya kepanjangan kalau dibuat 1 part, jadi extra partnya saya bagi 2 deh, hehehehe👀

Gimana, gimanaaa, udah sah tuh mereka berdua!!! Ayo semuanya ucapin selamattt ke kedua mempelai!!!

Yang bagian kedua nanti agak sorean aja ya, saya mau ngejar deadline tugas duluu, hehehe👀

How IfWhere stories live. Discover now