Vino kemudian mengajak Shani ke taman yang terhubung dengan ruang tengah dan hanya di batasi menggunakan pintu kaca berukuran besar. Vino mengambil sedikit tempat di taman itu yang ia tutup dengan lantai kayu dan ia gunakan untuk menjadi tempat berkumpul tambahan jika ruang tengah di dalam rumah tidak cukup. Ada sofa panjang berwarna abu-abu lengkap dengan meja dan beberapa buku milik Vino. Di sudut taman juga ada sebuah alat untuk membuat barbeque jika Vino dan teman-temannya sedang berkumpul.

Beralih dari lantai satu, Vino membawa gadis itu ke lantai dua. Ada ruang keluarga lagi namun kali ini tidak ada alat elektronik apapun, hanya ada sofa dan rak buku serta beberapa action figur yang Vino koleksi dan tertata rapi di atas kabinet.

"Wanna see our room?"

"Udah jadi?"

Lelaki itu mengangguk mantap, "udah dong, yuk." Ia kembali merangkul Shani dan menggiring gadis itu ke kamar mereka.

"Ready?" Tanya Vino ketika tangannya sudah bertengger di atas engsel pintu, "kamar yang udah aku ubah dikit biar nggak kelihatan kamar kamu banget."

"Emang harusnya gitu kan, ini kamar kita berdua nantinya. Harusnya jadi tempat ternyaman buat aku dan kamu, bukan aku doang." Kata Shani sambil mengusap pipi Vino.

"Okay, Nyonya Narendra."

Vino kemudian membuka pintu kamar mereka. Kamar yang awalnya bernuansa white gold sesuai warna kesukaan Shani itu kini berubah dengan memperlihatkan adanya kehidupan seorang Vino di sana. Nuansa kayu dan warna-warna abu-abu pada bagian belakang tempat tidur mereka dan terdapat kabinet panjang berisi buku-buku Vino.

Vino awalnya benar-benar membuat kamar tidur mereka senyaman mungkin untuk Shani, sampai ia bahkan lupa untuk memberikan sedikit warna dirinya di kamar tidur. Tapi kemudian Shani meminta Vino untuk mengubah design kamar mereka, kamar yang mereka tempati itu harus nyaman untuk mereka berdua bukan hanya salah satu di antara mereka. Dan jadilah seperti sekarang.

Di sudut kanan kamar terdapat meja rias untuk Shani, di sisi kiri ada sebuah meja kerja untuk Vino yang menghadap jendela besar yang menunjukkan pemandanban hijau dari taman. Ada juga sebuah walk in closet yang tidak terlalu besar tapi setidaknga cukup untuk menyimpan baju, tas, dan sepatu mahal Shani.

"Gimana, udah kelihatan ada akunya belum di kamar ini?"

"Udah," Shani tersenyum dan mendaratkan ciuman di pipi kanan Vino, "makasih ya, Mas, udah usahain semua ini buat aku. Padahal kamu nghak harus berjuang sendiri gini, aku juga nggak masalah kalau harus bantu buat bikin rumah ini."

Vino menggelengkan kepalanga tegas, "nggak usah. Untuk urusan rumah, ini udah jadi tanggung jawab aku. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kamu, aku berani meminta kamu dari orang tua kamu untuk hidup bareng aku, itu berarti aku harus bisa memberikan sama seperti apa yang orang tua kamu berikan," Vino mendudukkan Shani di ranjang dengan ia yang berjongkok dan menggenggam erat tangan Shani, "walau rumah ini nggak ada apa-apanya sama rumah kamu di Jogja, tapi seenggaknya ini hal terbaik yang aku usahakan untuk kamu. Masalah keuangan, we already talked about this so many times. Uang kamu biar jadi uang kamu, dan uang aku biar jadi uang kita, kamu boleh beli apa aja pakai uang aku, karena itu kewajiban aku sebagai suami kamu nantinya, paham?" Vino menengadah sambil tersenyum.

Shani mengangguk, "tapi ingat, kalau kamu ada kesulitan apapun, tolong cerita ke aku ya, Mas. Apapun itu. Karena itu juga udah jadi kewajiban aku buat jadi tempat kamu berkeluh kesah, nemenin kamu dalam keadaan apapun. Janji?"

Vino tidak tahu lagi harus bagaimana selain mengucap syukur karena Shani yang akan menjadi istrinya sebentar lagi, menjadi ibu bagi anak-anaknya, menjadi teman hidupnya sampai mau memisahkan mereka. Vino tidak tahu ungkapan syukur apa lagi yang harus ia ucap, semua yang terjadi padanya terasa sangat indah dan tepat pada waktunya.

How IfWhere stories live. Discover now