Tembang

17 6 0
                                    

Karya ini merupakan cuplikan cerita "Don't Be Afraid" milik grup penulisan Magnificent Universe yang telah dijual dalam versi cetak.

Penulis Yuni_Hana

Dia adalah Ningsih, teman baik di kala gundahku. Rambut hitamnya tergerai panjang. Matanya kosong, tapi sesungguhnya dia bisa melihat. Kadang dia menangis dan juga tertawa. Aku tidak tahu pasti penyebabnya karena Ningsih tidak pernah menceritakan apa pun padaku.

Dia jarang sekali bicara padaku dan hanya menyanyikan sebuah melodi. Suaranya yang lembut mampu menenangkan jiwa. Terkadang dia duduk di sampingku. Tangannya mengelus rambutku pelan sambil menembangkan melodi tersebut hingga aku terlelap.

***

“Rowo Bayu?!”

Aku mendengkus panjang sambil melihat sekeliling. Mata kuliah seni budaya yang kuambil kali ini benar-benar membosankan. Pak Deddy Wayang selaku dosennya justru mengadakan field trip atau kunjungan lapang hanya demi mengulas seni kebudayaan Jawa Timur pada zaman dahulu. Teman-teman sekelasku mungkin belum pernah ada yang ke Rowo Bayu sepertiku. Namun, aku sudah bosan.

Keluargaku sudah pernah ke sana sebelumnya. Rowo Bayu adalah destinasi wisata di Jawa Timur berisikan rawa sebagai lokasi utama dengan berbagai titik area lain yang menjadi tempat menyucikan diri dan juga bertapa orang-orang tertentu.

Ningsih memperhatikanku dari pojok ruangan. Aku menyadari jika ia berdiri di sana sejak tadi. Sorot matanya yang kosong seolah mengatakan, “Ayo, Saras, sebaiknya kita pergi ke sana juga!”

Kedua alisku terangkat sejenak membalasnya, lalu kembali menatap Pak Deddy yang tengah memberikan ceramah materi seperti biasanya. Pria botak itu sesekali melihatku, lalu melemparkan pandangannya ke arah murid yang lain. Aku terdiam memikirkan tatapan beliau barusan. Namun, tatapan seorang Deddy Wayang saat jam kuliah tampaknya masih bisa tidak kupedulikan.

Beberapa hari setelahnya, aku dan teman-teman sekelas melakukan perjalanan ke Rowo Bayu. Aku dan yang lainnya berkumpul terlebih dahulu sebelum masuk ke bus. Masih seperti saat mengajar di kelas, tatapan Pak Deddy selalu terarah padaku. Aneh, padahal aku sama sekali tidak punya urusan apa pun dengannya.

Namun, yang menjadi pertanyaanku sekarang, kenapa kedua netraku justru terfokus pada seseorang yang kini duduk di sampingku?

Kenapa bisa aku satu baris kursi dengan pemuda sepertinya? Di bus pula!

Ah, Septian Kusuma. Aku ingat sekali namanya. Senyum kudaku tidak bisa kubendung lagi kala kami bersemuka. Tangan kananku seolah tersodor pada pemuda yang duduk di sampingku itu.

“Kakak ... Septian Kusuma, ya?” tanyaku berbasa-basi.

“Hehe. Iya. Panggil aja Tian,” jawabnya. “Kamu ....”

Septian menggaruk kepalanya. Padahal aku tahu pasti tidak ada kutu rambut di sana. Dia pasti sedang menebak-nebak namaku.

“Saraswati, Kak,” timpalku. “Panggil aja Saras.”

Pemuda itu mengangguk.

“Kok ikut naik bus, Kak?” tanyaku lagi.

“Biasalah ... aku ngulang mata kuliah. Pak Deddy bilang, kalau aku ikut field trip ini, dia berjanji ngasih aku nilai A nanti,” jawabnya tampak santai.

Bus yang kami naiki mulai berjalan. Kulihat Pak Deddy duduk di kursi kiri paling depan, sementara aku dan Septian duduk di kursi kiri deretan tengah. Teman-teman sekelas sudah terbawa ke alam mimpi mereka. Septian juga begitu. Lain halnya denganku yang sibuk melihat panorama di luar jendela sampingku.

Don't Be AfraidWhere stories live. Discover now