Kembali

16 5 0
                                    

Karya ini merupakan cuplikan cerita "Don't Be Afraid" milik grup penulisan Magnificent Universe yang telah dijual dalam versi cetak.

Penulis Azuralva_One

Namaku Arjuna Dhamar Wayang. Anak pertama dari pasangan Wahyu Dhamar Wayang dan Diajeng Ayu. Umurku 17 tahun. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju bandara terdekat dari Kota Bengkulu untuk pulang ke Surabaya. Sebenarnya hanya aku yang pulang ke sana, karena Ibu dan adikku akan menunggu Bapak selesai mengurus kepindahan kerjanya. Mungkin sebulan lagi mereka baru akan menyusul.

"Juna."

Panggilan Bapak memecah lamunanku yang tengah melihat pemandangan luar dari jendela pintu. Kutatap wajah Bapak  lewat kaca dalam mobil. "Kenapa, Pak?"  dapat dilihat Ibu yang duduk di kursi samping sopir dan Srikandi di sebelahku tertidur, jadi kupelankan suaraku.

Bapak langsung memutus tatapannya karena harus fokus menjalankan mobil, tapi dapat kurasakan aura Bapak menjadi sedikit serius.

Sepertinya Bapak ingin mengatakan sesuatu, tapi beliau menunggu Ibu dan Srikandi tertidur di tengah perjalanan.

"Juna, kamu ingat apa yang terjadi saat kita sekeluarga berlibur ke Rowo Banyu di umurmu yang masih tujuh tahun?" tanya Bapak menjaga intonasi suaranya.

Aku tertawa canggung, merasa bingung akan pertanyaan Bapak yang terkesan tiba-tiba. "Kayaknya wajar deh Pak, kalo Juna jawab enggak inget," jawabku bercanda, tapi langsung terhenti saat melihat wajah serius Bapak yang kembali menatapku lewat kaca mobil. Aku meneguk ludah. "I-inget Pak."
Jawabanku yang terakhir tentu tidak sepenuhnya benar. Kejadian itu sudah berlalu sepuluh tahun lamanya, sedikit yang kuingat, itu pun berkat Bapak yang sering mengingatkanku dulu.

Dari kursi penumpang, bahu Bapak yang dibalut pakaian batik serta kopiah hitamnya tetap terlihat.

"Apa yang kamu ingat?"

Aku menunduk memainkan jari tanganku. Pertanyaan Bapak tadi entah kenapa tiba-tiba membuatku merasa merinding. Keringat dingin membasahi punggungku, padahal angin sejuk terus berembus lewat AC dalam mobil yang menyala.

"Penunggu Rowo Banyu tertarik dengan kekuatanku, makanya dia mengikuti sampai ke rumah. Karena Bapak tidak bisa mengusirnya, Bapak berakhir hanya bisa mengurung dia di salah satu pohon di belakang rumah," ucapku nyaris mencicit. Bayangan bocah laki-laki kecil yang memiliki aura pekat di belakangnya terlintas di kepalaku. Dialah yang dulu menjadi sumber ketakutan terbesarku, Bima.

Aku lupa siapa yang pertama kali menyebutnya Bima, tapi seingatku, sosok itu sudah dipanggil Bima sampai sekarang.

"Kurang tepat. Bapak mengurungnya di guci yang Bapak kubur di bawah pohon. Bapak tidak sehebat kakekmu, jadi Bapak sadar kalau segelnya mungkin sudah rusak." Bapak memperlihatkan ekspresi cemas. "Bapak enggak mau kamu kenapa-kenapa saat di sana, jadi akan lebih baik jika kamu menginap di rumah anaknya saudara jauh Bapak saja."

Ucapan Bapak terdengar lancar mengalir seperti air sungai. "Bapak tahu kamu bukan kamu saat masih usia tujuh tahun. Kamu sekarang sudah memiliki keberanian berhadapan dengan mereka, tapi tetap saja dulu dia adalah ketakutan terbesar kamu."

Aku mengangguk pelan, lalu tersenyum. Aku sangat mengerti kekhawatiran Bapak kepadaku. Sebagai sesama anak pertama dari garis keturunan keluarga Wayang, kami diberkahi kelebihan yang bisa melihat eksistensi yang menghuni dunia ini selain manusia.

Sedari kecil fisikku lemah, turunan Ibu, ditambah karena aku anak pertama, aku memiliki kekuatan dan kelebihan yang diturunkan dari pihak Bapak. Tentu saja aku adalah mangsa yang empuk bagi sosok-sosok di luar sana.

Don't Be AfraidWhere stories live. Discover now