Chapter 1 - Selamat Tinggal!

1K 3 2
                                    

Lonceng jam makan siang berbunyi, yang merupakan sinyal untuk memulai pem-bully-an. Saeki datang untuk memaksaku berkeliling hari ini juga.

"Yo, Hidaka, belikan aku jus."

Rambut kemerahan, anting salib, dan kancing baju terbuka di lehernya. Itu Saeki.

"Hei, selagi kau melakukannya, belikan untukku juga, Hidaka."

Dia Kida, antek Saeki. Dia tak bertindik, tapi dia memiliki penampilan yang tidak berbudaya seperti Saeki dengan rambut berwarna oranye dan garis leher yang panjang.

Inilah keadaanku setiap hari. Sejak aku masuk ke sekolah menengah, sampai sekarang, dua tahun kemudian, aku menjadi budak mereka. Harga diriku tak mengizinkanku untuk mengakui bahwa aku telah ditindas, jadi aku bersikap seolah-olah kami adalah teman.

Aku membuat alasan dengan mengakui bahwa aku tidak dipaksa. Namun, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Orang lain di kelas seharusnya menyadari bahwa aku sedang di-bully.

Hari-hari berlalu tanpa makna.

"Saeki, apa kau mem-bully Hidaka lagi? Kau itu seorang siswa sekolah menengah, bukankah memalukan untuk memaksa seseorang seperti itu?"

Dia adalah perwakilan kelas, Kawachi. Dia memiliki rasa keadilan yang kuat. Rambut hitamnya yang tebal di belakang kepala dan matanya, berkilau dengan cahaya keadilan memuncak dari balik kacamata berbingkai merah. Dia terlihat munafik.

"Kau bilang apa? Dia cuma mau membelikan jus untuk kami. Hei Hidaka, kita teman, kan?"

Saeki cukup licik, sementara dia tak mampu belajar. Artinya, dia hanya memukul perutmu, bahkan jika dia marah dia tidak akan memukul wajahmu. Saat membeli jus, kau harus membayarnya sendiri.

"Ya, kau cuma salah paham, kami benar-benar teman dekat kok," Kida menimpali.

Kau tidak pernah menganggapku sebagai teman sekalipun. Tentu saja hal yang sama berlaku untuk Saeki, tapi Kida benar-benar idiot. Itu kesimpulan alami, anak-anak setuju dengan apa pun yang dilakukan Saeki, dia tidak akan berpikir untuk menindasku sendirian.

Tidak ada yang seburuk alam bawah sadar.

"Hidaka jangan diam saja, dong. Kalau mereka membullymu, bicaralah. Kalau kau diam, aku maupun guru tidak akan bisa membantumu."

Orang munafik, dalam mencari perhatian berusaha untuk menyelamatkanku.

"Mereka tidak membullyku."

Dengan senyum pahit, Kawachi mendesah keras pada kata-kataku.

"Hidaka, apa semuanya baik-baik saja?"

"Aku tidak mengerti apa yang kau tanyakan padaku."

Aku meninggalkan kelas meninggalkannya. Aku bisa mendengar tawa konyol Saeki dari koridor, diikuti tawa bodoh dari Kida sendiri. Apa yang sangat menyenangkan dari menindas manusia lain? Tidak, intinya mereka menganggap semua ini menyenangkan... Bullying tidak akan berhenti.

Pelaku, korban, penonton, pengamat.

Dengan kata lain, ketika menyangkut bullying, tidak ada pihak yang tak terlibat. Masing-masing bekerja bersama dan sebagai hasilnya, aku dibully. Setidaknya, itulah yang ingin aku katakan tapi kenyataannya berbeda.

Tidak apa-apa jika itu menyenangkan, tidak apa-apa asalkan kau bisa memandang rendah orang lain. Itu sebabnya aku tidak berdiri di depan mesin penjual otomatis sekarang. Sebaliknya aku pergi ke atap.

Sebagian besar sekolah membatasi akses atap, tapi tidak untuk atap ini. Hampir seperti aku yang ingin mengatakan, "jika hidup terlalu sulit, jangan ragu untuk melompat kapan saja."

Aku mungkin tidak boleh mengatakan hal-hal seperti itu. Aku pasti terlihat sangat aneh atau, mungkin aku hanya gila.

"Aku bukan orang gila, dunia ini yang gila."

Meskipun aku mengatakan itu, itu tak mengubah apa pun.

Aku bisa melihat langit melalui pagar. Memanjat ke sisi lain, aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Di dalam pagar ada berbagai siswa yang tengah makan siang dan berbicara dengan teman-teman mereka.

"Hei, lihat! Bukankah itu berbahaya?"

"Bukankah kita harus memanggil guru?"

Itu benar, aku akan bunuh diri. Semuanya jadi berisik saat mereka bergegas ke atap. Aku bertanya-tanya apa yang terlintas di pikiran mereka, toh ini cuma kehidupan satu orang. Meskipun kau membawa guru, aku akan bebas sebelum mereka tiba.

Langit selalu berwarna abu-abu yang indah, tanah dan aspalnya juga, selalu menampilkan warna yang sama. Hanya untuk hari ini, aku ingin semuanya menjadi warna yang berbeda.

"Kau mengerti benar. Kenapa aku akan melompat."

Meskipun mereka tak bisa mendengarku, aku mengajukan pertanyaan. Tapi sudah terlambat, akan lebih baik kalau aku melakukannya lebih awal. Secepatnya.

"Baiklah, selamat tinggal, semuanya."

Badanku membungkuk ke depan, lalu aku melompat dan jatuh terbalik. Bukannya aku ingin mati. Aku hanya tidak ingin hidup. Kau mungkin tidak akan mengerti perbedaannya.

Aku jatuh sekarang, aku akan segera menghilang. Ini akan menjadikanku tidak pernah ada lagi. Aku bisa melihat atap saat aku jatuh ke tanah. Rasanya seolah kesadaranku telah hilang.

Saat itulah cahaya terang muncul. Cahayanya memenuhi penglihatanku yang membutakanku. Aku menjadi tak bisa berpikir. Hal terakhir yang kulihat adalah dunia yang penuh dengan warna putih. Hari ini, hidupku berakhir.

Hidaka Masamune sudah mati.

Nito no Taidana Isekai Shoukougun: Sai Jakushoku "Healer" Nano ni Saikyou waTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang