Dua

4.9K 760 37
                                    

Bibir ranum itu tak hentinya mencebik, mendelik berkali-kali pada manusia yang duduk begitu tenang tanpa merasa bersalah sama sekali.  Bagaimana bisa seorang dokter spesialis memutuskan sesuatu secara implusif seperti itu? Sialnya, niat baik mengunjungi keponakannya malah berujung petaka. Apa katanya? Calon istri?

"Jadi nama kamu Nirmala?"

Mala tersenyum paksa, mengangguk pelan. "Iya, Bu. Nama saya Nirmala."

"Nggak sia-sia saya jauh-jauh datang ke sini, akhirnya dapat juga kepastian dari Adam." Ibu tertawa kecil, terlihat anggun. Namun Mala yakin ada racun tak kasat mata dari tawanya itu. "Adam susah banget kalau ditanya perihal asmara sama pasangan. Padahal saya udah nggak sabar pengen punya cucu."

Mala meringis, melirik Naira yang hanya mengulum senyum geli. "Ah begitu." Adam jahanam! "Memang Adam nggak menceritakan apa pun tentang saya, Bu? Pekerjaan sama status saya mungkin?"

Raut wajah Adam yang semula tenang mendadak tegang. "Mama nggak pernah mempermasalahkan latar belakang. Iya kan, Ma?" Adam melirik Mala penuh peringatan. "Kan kita juga udah lama jalin hubungan. Nggak mungkin stuk di tempat terus, kan? Mengingat udah sama-sama dewasa juga." Semua serba dadakan. Bahkan Adam tidak memperhitungkan kemungkinan yang bisa saja terjadi karena pengakuannya terhadap sang ibu.

Ibu menatap Adam penuh keheranan. "Latar belakang penting banget, lho." Adam mengembuskan napas berat, sedangkan Mala tersenyum penuh kemenangan. "Kita nggak bisa, dan nggak boleh main ambil aja seseorang yang akan jadi pasangan kita, Dam. Mama nggak melarang siapa pun orangnya, asal bibitnya dari keluarga baik-baik aja udah cukup kok."

Mala terdiam, merasa tertohok atas ucapan ibu Adam. Belum lagi matanya menangkap pandangan menilai dari ibu Adam. Kentara sekali bahwa wanita paruh baya yang duduk di hadapannya ini adalah seorang wanita sosialita kelas atas. Bukan ibu-ibu yang suka rumpi di kursi warung depan kosannya.

"Ma..." Adam merasakan situasi menjadi semakin canggung.

"Mala perempuan baik kok, Bu. Saya yakin," Naira bersuara.

Ibu Adam tersenyum hangat. "Ah iya."

Mala mencebik tak suka dengan perkataan Ibu. "Kok bisa Mas Adam ajak Ibunya ke sini?" Mala sengaja menekan sebutan Mas, bermaksud menyadarkan Adam dari kegilaannya. Pasalnya, bila terus dibiarkan lama-lama dia akan ikut terbawa gila.

Adam gelagapan, mengusap tengkuknya gugup. "Itu, Mama tiba-tiba datang ke rumah. Tadinya Mas mau telepon kamu buat datang ke rumah atau Mas jemput, tapi Naira telepon katanya kamu ada di sini. Jadi Mas bawa Mama ke sini buat ketemu sama kamu."

Mala mengangguk paham. "Untung hari ini libur ya, Mas. Kalau enggak, kasihan Ibu pulang dengan harapan kosong." tatapan Mala beralih pada ibu Adam. "Mas Adam sibuk banget, Bu. Saking sibuknya sampai saya suka lupa udah punya pasangan."

Adam terpaku, nyaris tersedak ludahnya sendiri. Apa barusan itu? Mala mengiyakan?

Ibu tersenyum manis. "Kalau begitu, kapan kalian ke Jakarta? Atau mungkin Mama yang harus datangin keluarga Mala? Mumpung lagi di Cianjur juga, kan?"

Suasana mendadak hening. Mala terkekeh pelan, begitupun dengan Adam. Mereka kompak mengusap tengkuk, gugup.

"Saya anak tunggal, Bu. Saya juga nggak punya keluarga karena Ibu sama Bapak anak tunggal juga. Jadi, keluarga saya ya cuma Naira sama Mas Adam."

"Ah... begitu." Ibu melirik ke arah putranya penuh maksud. "Kalau begitu secepatnya ajak Mala ke Jakarta, Dam. Papa kamu pasti senang banget dengar kabar kalau putranya mau menikah."

Adam mengangguk semangat. "Secepatnya, Ma."

Mala mendesah gusar, memejamkan matanya sesaat. "Bukannya kita nggak pernah bahas pernikahan ya, Mas? Kesannya mendadak banget, nanti disangka hamil duluan lagi."

Adam tersenyum lembut, jemari lancangnya merangkum jemari Mala. Dari tatapannya terlihat binar penuh cinta. "Enggak dong. Lebih cepat lebih baik, kan? Jangankan Mama yang nggak sabar pengen gendong cucu. Aku juga udah nggak sabar pengen gendong anak kita."

Ada kantong keresek? Perut Mala terasa bergejolak ingin muntah. Mala menggerakkan jemarinya berusaha melepaskan rangkuman jemari Adam. Mala tertawa sumbang, ah bukan. Mala meringis, merasa memang benar dirinya sudah terseret arus kegilaan Adam.

***

"Wah!" Mala mondar-mandir tak jelas. "Wah! wah! wah! Kalian emang gila!" Mala berkacak pinggang, menatap sengit Naira dan juga Adam yang terlihat santai-santai saja. "Lo kerjasama sama dia, Nai?" tunjuk Mala pada Adam. "Wah! ini yang namanya sahabat nusuk dari belakang!"

Adam bersedekap, tatapannya begitu tenang. "Saya kan udah bilang dari sebelumnya, bagaimanapun caranya kamu harus setuju nikah sama saya."

Mala melotot tak suka. "Itu namanya tindak kriminal, Pak! Masuknya penipuan, nggak bisa begitu dong," protes Mala tak terima.

Naira mendesah pelan. "Nggak ada salahnya dicoba, Mal. Mau sampai kapan melajang? Adam serius sama kamu, dan dia juga baik kok. Aku percaya sama Adam."

"Iya, elo percaya, tapi gue nggak! Orang baik mana yang ngajak nikah musiman? Dikira kawin kontrak sama orang Arab, heh!"

"Nggak sepenuhnya salah juga sih, memang wajah saya blasteran Timur Tengah. Kamu mau menganggap kayak gitu juga nggak apa-apa," sahut Adam bersedekap tenang.

Mala menjambak rambutnya frustrasi. "Kalau sebelum semusim saya hamil mau gimana? Gimana nasib anak kedepannya?"

"Jangan salah, saya pria paling bertanggung jawab."

Mala terduduk lemas, menatap pasrah keduanya. "Nai, elo punya sepatu hak tinggi, nggak? Boleh dicoba gue getok kepala laki di depan ini. Siapa tahu memang sarafnya keganggu." Mala menatap Adam tajam seolah ingin membunuh Adam saat itu juga.

Adam tersenyum penuh kemenangan. "Itu artinya kamu udah setuju, tinggal mempersiapkan diri menemui orangtua saya." Adam berdiri, mengembuskan napas lega. "Leganya..." Adam berbalik menatap Naira. "Terima kasih banyak atas bantuannya, Nai. Nanti saya kasih camilan buat Geza, sama suntikan semangat buat Nugara untuk memproses adek Geza secepatnya."

Mala berdecih, menatap Adam sinis. "Siap-siap, saya punya hobi buat orang di dekat saya pusing, gelisah, merana." seringai tercetak jelas dari bibir Mala.

Adam mengangkat bahu ringan. "Saya tunggu. Kebetulan, saya juga punya hobi dibuat pusing, gelisah, sama merana. Apalagi karena rindu." Adam mengedipkan sebelah mata genit sebelum berlalu dari sana.

Wajah Mala berubah beringas, beralih pada Naira yang sudah siap pergi juga. "Kalian menang kejam!" mendesah frustrasi, Mala menyembunyikan wajahnya menggunakan bantal sofa.

Naira tersenyum geli, menepuk-nepuk bahu Mala santai. "Jodoh nggak akan kemana, Mal. Dicoba dulu, kalian emang kelihatan cocok kalau lagi berdebat kayak gitu. Ada kemistri yang kuat di sana."

Mala mengangkat kepala, melayangkan tatapan tajam pada Naira. "Kalau tahu gini, nyesel gue datang ke sini! Niat baik gue nggak dihargai!" Mala memasang raut wajah dramatis seolah tengah dianiaya.

Naira tergelak puas. "Justru harusnya kamu hargai dong niat baik aku." lagi, Naira menepuk bahu Mala menguatkan. "Udah ah jangan marah-marah terus, sama tolong jangan kasar-kasar ah. Nanti Geza dengar ditiru, lagi."

Mala memutar bola mata jengah, mendesah frustrasi. Sudah terlanjur gila.

Pernikahan Semusim (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang