MUHARI: DARI TUKANG SAMPAH KE KAPTEN TNI

22 2 0
                                    

Memang betul adanya ketika orang bilang hidup itu penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Kalimat itu cukup sesuai untuk menggambarkan kehidupan Muhari, mantan tukang sampah yang kini berhasil menempuh karir sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

Muhari lahir di Jagakarsa, Jakarta Selatan pada tanggal 11 September 1976. Ibunya merupakan pegawai pabrik minyak kelapa dan ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Anak ketiga dari empat bersaudara ini memiliki nama paling singkat dibanding saudara-saudaranya. Ketika orang tuanya ditanya mengapa diberi nama Muhari saja, respons keduanya adalah, "Supaya simpel saja."

Sejak kecil, Muhari termasuk anak yang cukup bandel. Alih-alih pergi ke sekolah, dia kerap kali membolos demi membantu kakeknya berjualan petai, nangka, kelapa dan pisang di Pasar Lenteng Agung. Nilai-nilainya semasa sekolah pun bisa dibilang tidak terlalu gemilang, bahkan banyak yang merah. Meski begitu, Muhari tetap bangga. Ia selalu menganggap warna hitam tidak lebih bagus dibanding warna merah. Akibatnya, sang ibu kerap mendapat panggilan dari guru. Pada umumnya seorang anak akan takut jika mendapat SP, namun rupanya hal tersebut tidak berlaku pada Muhari. Dengan santai ia menyerahkan surat panggilan tersebut dan berkata, "Bu, Ari dipanggil lagi."

Tingkahnya yang dianggap tidak beraturan tersebut membuatnya diremehkan banyak orang. Nilainya yang pas-pasan membuatnya tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Meski begitu, selepas lulus SMA, ia berhasil diterima di Akademi Militer. Hal tersebut tentu membuat keluarganya bangga. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tiga bulan berada di akademi, Muhari jatuh sakit untuk waktu yang cukup lama. Dia masih bisa melanjutkan pendidikannya di akademi, dengan syarat harus menyetorkan uang sebanyak tiga puluh juta rupiah. Tidak mau orang tuanya terbebani, ia pun memilih untuk pulang ke kampung halaman. Belakangan baru diketahui bahwa penyakit tersebut 'dikirim' oleh seseorang yang tidak menyukai keberhasilannya.

Sekembalinya ke Jakarta, selain membantu kakeknya dan menjadi centeng pasar, dia mulai bekerja sebagai tukang sampah di kampung. Akibat kegagalannya di Akademi Militer dan ditambah dengan latar belakang keluarganya yang ekonominya menengah ke bawah, Muhari dianggap tidak memiliki masa depan yang gemilang. Bahkan ketika dia dikabarkan dekat dengan seorang gadis, ayah gadis itu meminta Muhari untuk menjauhi anaknya karena dianggap tidak pantas dan tidak mampu menjamin kehidupan anaknya. Padahal saat itu keduanya hanya benar-benar berteman.

Tak merasa minder, Muhari tetap menjalani hidupnya dengan penuh semangat. Baginya, asal pekerjaan itu halal, maka pandangan orang-orang tidak penting baginya. Dan di situlah ia mulai menemukan titik balik kehidupannya. Semangat dan kerja kerasnya berhasil menarik perhatian salah seorang saudara ibunya. Maka, pada umur dua puluh tahun, Muhari pun diboyong ke Malang untuk dilatih sebelum mencoba kembali memasuki pendidikan militer, yaitu Sekolah Calon Bintara atau SECABA. Usahanya berhasil. Muhari berhasil lulus pendidikan SECABA dan menambahkan gelar 'Sersan Dua' di depan namanya.

Karena ditempatkan untuk bertugas di Malang, Muhari memperpanjang masa tinggal bersama saudara ibunya di Gang Ontoseno VI, Polehan. Di sana jugalah ia bertemu dengan Farida Nurhayati, gadis pujaannya. Tapi ada satu masalah yang mengganggu. Keberhasilannya dalam pendidikan dan kedekatannya dengan Farida memicu rasa iri di hati anak saudara ibunya. Maka dari itu, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah kost kecil bersama induk semangnya di Gang Ontoseno VIII. Tahun 1998, ia dikirim ke Banyuwangi untuk membantu meredakan masyarakat yang memanas akibat reformasi. Di sana dia hampir kehilangan nyawanya akibat todongan celurit. Tapi pada akhirnya, ia berhasil kembali ke Malang dalam keadaan sehat dan kemudian meminang Farida. Setahun kemudian, pada 2 November 1999, anak pertama mereka lahir dan diberi nama Nazaria Nevayanti. 

Tiga tahun kemudian, Muhari membawa keluarga kecilnya menempati rumah dinas di Batalyon 512. Selama bertugas di 512, ia tiga kali diberangkatkan bertugas: Aceh I selama 17 bulan, Aceh II selama 9 bulan, dan yang terakhir Papua selama 5 bulan. Tiga kali bertugas, tiga kali pula dia harus mencoba bertahan hidup di tengah serangan kelompok separatis yakni GAM dan OPM. Beberapa kali istrinya bermimpi bahwa dia akan pulang sebelum waktunya. Entah pertanda atau apa, namun pada saat yang bersamaan, dia selalu mendapat giliran memakai rompi antipeluru, sehingga peluru yang menerjang tidak berhasil melukainya dan ia bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Lima tahun tinggal di asrama, Muhari merasa sudah saatnya ia membawa keluarga kecilnya pindah ke rumah yang lebih besar. Dengan bantuan ayah dan kakak lelakinya, sepetak rumah yang dibelinya di daerah Pakisjajar pun direnovasi habis-habisan. Rumah tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 2008 dan ditempati hingga sekarang.

Pertengahan 2009, komandannya memasukkan namanya dalam daftar rekomendasi untuk Sekolah Calon Perwira atau biasa disebut SECAPA. Karena terpilih, maka ia pun diharuskan berangkat ke Bandung untuk menempuh pendidikan. Sembilan bulan kemudian, Muhari berhasil lulus dan pangkatnya naik menjadi Letnan Dua. Namun lagi-lagi dia diharuskan untuk meninggalkan anaknya beserta istrinya yang tengah mengandung akibat penempatan tugas yang memindahkannya ke Denpasar. Tahun 2011, anak keduanya lahir dan diberi Namira Aisyah Oktyanti.

Empat tahun bertugas di Denpasar, Muhari dikembalikan ke Malang dan ditempatkan di Kesdam V/Brawijaya sebagai kepala urusan dalam. Dua tahun kemudian, ia kembali dipindahkan ke Denkeslap Malang sebagai komandan tim. Dengan jabatan barunya ini, dia banyak berpartisipasi dalam acara-acara besar semisal Peleton Beranting yang diadakan tiap tahun, latihan gabungan Indonesia-Singapura di Asembagus, dukungan kesehatan untuk seleksi masuk pendidikan militer dan masih banyak lainnya. Hingga kini, Muhari masih bertugas di Denkeslap dengan pangkat Kapten.

"Biarkan orang lain meremehkan kita. Tidak perlu dibalas dengan hinaan. Cukup dengan kerja keras dan menjadi lebih baik dari mereka, itulah pembalasan yang tepat." – Muhari, Mei 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BiografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang