Dadanya terasa sesak dan ia sulit bernafas. Kepalanya terasa pening mendengar dan melihat keadaan di depannya.

Matanya tiba-tiba memanas dan ia tahu kalau ia akan... menangis. Jangan menangis, Clara. Ia terus menarik nafas dalam-dalam dan wajahnya masih menunduk. Ia tidak mau terlihat mengenaskan di depan pria-arogant dan tunangannya ini.

Clara mencoba mendongak setelah ia sedikit bisa menahannya dan tepat di saat itu ia menyadari Arinta sudah tidak ada di samping Aga. Bahkan Aga juga tidak ada di mejanya.

Apa yang ia lakukan? Melamun? Meratapi nasib hingga tidak sadar kedua orang sudah beranjak dari hadapannya? Clara mengumpat dalam hati karena ia terllau bodoh dan tidak bisa mengendalikan pikirannya.

Terdengar suara langkah. Tidak lama kemudian Aga sudah kembali duduk di kursi kebesarannya. Oh, jadi dia mengantarkan calon Istrinya ke depan. Manis sekali? Tapi, apa calon Istrinya juga bekerja di sini? Di gedung yang sama?

Kalau iya... Matilah kau, Clara. Clara memejamkan matanya merasakan hatinya yang terasa ditusuk-tusuk, nyeri.

“Jadi, kamu tahu kan, posisi kamu di sini. Sebagai Asisten saya.” ujar Aga tenang sembari merapikan map di mejanya kemudian menghela nafas panjang dan menatap ke arah Clara.

“Kenapa Bapak tidak bilang terlebih dulu kalau posisi yang Bapak tawarkan—“

“Maksud kamu?” potong Aga cepat menatap Clara dengan menyelidik dan tidak suka, “Bukannya sudah saya jelaskan kalau soal posisi kamu di sini, saya yang tentukan. Apa kurang jelas penjelasan saya waktu kamu menerima tawaran itu, hm.” nada yang ditujukan padanya sangat menohoknya.

Benar memang dan Clara ingat akan hal itu.

“Tapi kemampuan saya—“

“Kamu sudah pernah menjadi Asisten Bapak Ardi,” Aga menekankan lebih keras kalimat Bapak Ardi dengan tatapan tajamnya, “Untuk itu, kamu tetap pada posisi Asisten. Hanya sedikit berbeda karena saya... Tidak. Sama. Dengan. Pria itu. Kamu mengerti.”

Jelas sudah Aga sepertinya masih menganggapnya ada hubungan dengan Mantan Managernya itu. Benar-benar.

“Baik. Saya mengerti.” jawab Clara pelan dengan nada yang ia buat setegar mungkin agar ia tidak terlihat lemah di depan pria ini.

Tanpa Clara sadari, tatapannya tertuju pada Aga belum teralihkan, hingga ia juga baru menyadari Aga juga menatapnya dengan tatapan mata yang sedikit melunak, tidak sedingin tadi... lebih menghangat.

Ia rindu tatapan ini, walau dulu.... dia memang jarang sekali melihat tatapan mata-indah Aga menatapnya dengan lembut, setidaknya ia pernah merasakan tatapan hangat pria ini walau hanya sesekali saja.

Entah sudah berapa lama ia mengagumi wajah tampan di depannya ini dan Aga juga tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun hingga kesadaran menguasainya saat ada suara telepon di meja kerja Aga.

Clara dengan cepat mengalihan padangannya dan segera menata raut wajahnya yang ia yakini kini sudah kacau balau dan pasti memerah karena ketahuan masih... mengangumi pria jahat di depannya. Oh, sialnya pria itu juga menatapmu juga kan?

“Ya. Pak Jaya bawakan berkas dari proyek kerja sama dengan Perusahaan Julian. Iya. Dia di sini. Baik.”

Clara masih mendengar suara tenang Aga menjawab dan berbicara pada Pak Jaya di telepon. Ia juga masih belum bisa mengangkat wajahnya.

“Ehm. Pak Jaya akan menjelaskan tugasmu.” ujarnya tenang dan Clara akhirnya mendongak, walau sedikit ia bisa melihat Aga yang kembali seperti semula. Sibuk dengan kertas-kertas di mejanya.

Still YouWhere stories live. Discover now