Awan

31.6K 1.2K 34
                                    

Pernahkah kalian ... oh maaf, aku tak akan memulai cerita ini dengan kalimat tanya. Terlalu klise untuk sebuah kisah yang sudah cukup pasaran. Lebih baik aku memulainya dengan mengenalkan diriku saja.

Namaku Rintik –jangan tanya mengapa Mama memberiku nama itu, kurasa ia sudah kehabisan ide. Hari itu seperti Senin lainnya. Pagi yang cukup cerah.  Aku bangun pukul 7:05 AM dan langsung melakukan segala ritual pagiku. Mandi, berpakaian, bergelut hingga kesal dengan rambut keritingku yang sulit diatur, sarapan, dan akhirnya berangkat kuliah.

Tak pernah kusangka kalau Senin tanggal 24 september 2012 adalah hari terakhir aku melihat Awan sebagai seorang sahabat. Tidak! Awan tidak mati hari itu –seandainya saja, mungkin hidupku lebih baik dari sekarang. Namun, keesokkan harinya terjadi sesuatu yang aneh padaku.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan debar jantung yang berbeda untuknya. Mataku tak lagi melihat Awan sebagai teman kecil yang selalu bersamaku. Entah setan apa yang merasukiku semalam. Kurasa, aku sudah tak waras.

Selasa itu, entah mengapa Awan tampak sangat berbeda. Ia terlihat lebih tampan dengan kepala botaknya–yang sampai kemarin masih sangat kubenci. Ia juga terlihat lebih ... hmmm ... cowok? Entahlah. Sudah kubilang kan, kalau aku mungkin mulai gila?

Sekarang biar kujelaskan sedikit masalahnya. Kalau sampai aku jatuh cinta sama Awan, maka hidupku akan merana. Terkutuk mungkin lebih tepat. Kenapa? Awan itu sudah terkenal sebagai playboy ganteng kelas ikan paus. Yep! Selain wajahnya yang tampan, Awan juga anak seorang pengusaha kaya raya. Bisa dibilang hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Namun, tingkat intelektual dan pikiran cabulnyalah yang menjadi nilai minus untuk Awan. Walau itu semua tertutupi dengan Fortuner putih yang selalu ia bawa ke kampus. Banyak juga cewek-cewek kampus yang mau jadi pacarnya hanya karena materi yang Awan punya. Bisa dibilang, Awan cukup royal terhadap pacar-pacarnya. Apapun yang mereka minta, pasti diberikan. Entah dia itu bodoh atau apalah.

Awan selalu duduk di sebelahku di setiap kelas yang kami ambil bersama. Tujuannya sudah jelas, menyontek. Bila ada tugas atau quiz mendadak, akulah yang menjadi sumber jawaban di kertasnya. Dari masih berseragam dulu, Awan tak pernah sekali pun belajar. Nilai-nilainya selalu dibantu oleh sumbangan Ayahnya kepada kepala sekolah atau guru. Hidup ini sangat mudah untuk Awan.

"Rin, gue galau nih," ujar Awan begitu ia duduk di sebelahku.

"Galau kenapa? Putus lagi?"

"Ho'oh ... masa gue sms-an sama Diana aja, si Bela langsung mutusin gue!" gerutunya tanpa merasa bersalah. Aku yakin benar kalau Bela mencium gelagat perselingkuhan Awan dengan Diana. Bukan Awan namanya kalau dalam satu bulan hanya punya satu pacar.

"Lo nggak pengen apa punya pacar serius?" tanyaku.

"Pacaran serius?" ulangnya, "Nggak deh kayaknya ... gue bisa dapetin cewek mana aja yang gue mau, ngapain terikat ke satu cewek doang kalo gue bisa dapet banyak?" jawabnya.

"Terserah lo aja deh," rutukku.

Benarkan? Jatuh cinta pada Awan itu sebuah kutukan hidup! Dan aku tak ingin menjadi satu dari kesekian mantan pacarnya. Tak mau! Oh Tuhan, cobaan hidup apa yang sedang kau berikan padaku? Untung saja dosen segera datang dan menyudahi obrolan kami. Kalau tidak, aku yakin jawaban-jawaban-pembenaran-diri darinya akan merusak mood-ku. Tuhan, mengapa kau siksa diriku dengan rasa ini?

~*~*~

Yang menjadi pertanyaanku akhir-akhir ini adalah mengapa hati tak mampu berpikir? Kalau saja hati dan otakku mampu dikompakkan, maka apa yang kurasakan untuk Awan pasti bisa berhenti hanya dengan satu perintah saja. Mudah! Oh, seandainya....

Satu minggu telah berlalu sejak hari pertama kali aku menyadari perasaanku pada Awan, tak ada yang berubah pada debaran jantungku. Selalu berdetak lebih kencang dari biasanya ketika Awan berada di sekitarku. Dan sekarang pipiku selalu merona kalau Awan mulai mengeluarkan ejek-ejekannya padaku. Benar-benar menakutkan. Entah sudah berapa juta kali kumaki diri sendiri karena perasaan tolol ini.

"Rin, lo jadi pacar gue ya?" tanya Awan dengan ekspresi wajah yang sulit kutebak.

"HAH?" Apa aku tak salah dengar? No! No! No! Aku yakin dirinya tak serius ... atau ... ah, tak mungkin! Awan tak mungkin serius. Ia pernah bilang kalau aku satu-satunya cewek yang ia kenal dan tak akan pernah dipacari.

"Iya, mau ya? Mau ya? Mau ya?" rengeknya. Awan hanya bersikap seperti ini kalau dia ada maunya.

"Kenapa?"

"Gue jomblo sekarang, nggak tau kenapa cewek-cewek pada nolak gue, sial banget kan?"

"Terus? Apa urusannya sama gue kalo lo jomblo?"

"Gue butuh date buat ke ulang tahun temen gue ntar malem, seorang Awan nggak mungkin dong nggak bawa cewek ke acara-acara gituan ... mau ditaro di mana muka gue?"

Oh Tuhan, ujian hidup apa lagi ini? Ingin rasanya aku lari dan menabrakan diri sendiri ke lalu lintas jalan tol dalam kota. Atau, loncat dari lantai sepuluh mungkin ide yang lebih baik daripada harus pura-pura sebagai pacarnya.

"Tapi...,"

"Ya elah Rin, tolongin sahabat lo ini, sih! Tega banget lo sama gue!"

"Yang ulang tahun temen mana? Anak kampus?" tanyaku berharap menggagalkan rencana gilanya, karena satu kampus ini sudah paham betul siapa diriku di mata Awan.

"Bukanlah!" jawabnya cepat, "Kalau anak kampus yang ulang tahun, nggak mungkin gue ngajak lo ... mana percaya mereka! Anak klub mobil."

Anak klub mobil? OH MY GOD! Tak satu pun dari teman klub mobil Awan yang kukenal. Itu karena Awan tak pernah mau mengajakku berkumpul bersama mereka dengan alasan, 'Jangan deh, mereka bajingan! Kasihan elo klo jadi mainan mereka! Ntar lo nangis-nangis, gue yang repot!' Dan sekarang ia ingin membawaku ke depan mereka? Yup! Awan pasti desperate! Mengapa kesialanku semakin bertambah saja?

"Ya? Ya? Ya? Mau ya?" pinta terus-menerus dengan ekspresi wajah dibuat-buat sok imut. Ia cukup menggemaskan kalau sedang memohon seperti ini. Jantungku kembali berdebar kencang karenanya. Argh! Rintik, wake up girl!

"Ya udah, tapi...." DAMN! Kenapa aku malah setuju? Dasar mulut tolol!

"Apa aja yang lo minta bakal gue beliin, Rin!" serunya girang sambil merangkulku. Membuat pipiku panas saja. Dasar playboy cap paus!

Siksaanku tak berhenti hanya di situ saja. Awan berhasil mempermakku habis-habisan sepanjang sore. Butik demi butik kami jelajahi, sepuluh gaun baju telah kucoba, dan tak satu pun yang sesuai dengan keinginannya. Untung saja gaun terakhir cocok dengan seleranya. Tak hanya gaun, sepatu juga, make-up juga, tatanan rambut juga.

Ada secercah perasaan senang dalam diriku, ketika menganggap ini kencan pertama kami. Namun, semua itu langsung runtuh ketika suara di kepala menyadarkan aku pada kenyataan kalau kami hanya pura-pura. Hampir saja aku terbuai dengan semua ini.

~*~*~*~




RintikWhere stories live. Discover now