Theodore hanya tersenyum menanggapi kebohongan-kebohongan Kiera, walaupun ia tidak tahu apa yang ditutupi oleh Kiera, tapi yang jelas ia tahu bahwa Kiera berbohong. Orang yang jarang berbohong, akan terlihat pada sikapnya yang gugup ketika berbohong. Bisa dilihat dari manik matanya.

Seperti sebelumnya, Theodore membukakan pintu untuk Kiera. Suatu perilaku kecil, tapi memiliki arti mendalam yang menunjukkan sifat pria sejati. Kiera membalas senyuman Theodore dengan enggan. Pikirannya masih terpaku pada kejadian di stasiun tadi.

“Kau mau kopi atau teh?” tanya Theodore setelah lama memandangi Kiera yang masih asyik dengan pikirannya sendiri bahkan setelah ia duduk di sofa yang ada di ruangan Theodore. “Kiera? Apa kamu baik-baik saja? Setelah kejadian tadi, kamu lebih banyak diam dan melamun, apa ada yang mengganggu pikiranmu?”

“Ah, tidak... tidak ada,” Kiera gelagapan setelah mendapati kesadarannya kembali.

“Kau mau kopi? Atau teh?” Theodore mengulangi pertanyaannya lagi.

“Teh saja, terima kasih,”

Kiera kembali pada lamunannya setelah Theodore keluar dari ruangannya. Apa mungkin ia masih memiliki perasaan yang sama seperti tiga tahun yang lalu? Bahkan setelah ia dicampakkan begitu saja? Tidak. Tidak mungkin. Ini pasti hanya karena ia sudah lama tidak bertemu dengannya. Batin Kiera.

“Apa kau melamun lagi?” suara lembut itu menyadarkannya dari lamunannya. Kiera hanya menggeleng kecil. “Kalau pikiranmu sedang tidak fokus, apa kita bisa memulai pembicaraan kita tentang pencetakkan dan penerbitan naskah ceritamu? Serta royalti yang akan kau terima?”

“Maaf kalau aku dari tadi hanya melamun, maafkan aku,” Kiera seakan kembali pada dunia nyata yang ia hadapi saat ini.

“Baik, aku sudah membaca dan merefisi sedikit tulisanmu, ceritanya sungguh menarik dan menyentuh, tapi cara penyampaianmu agak sedikit kurang jelas, tapi sudah kuberikan refisinya, kamu bisa lihat dulu,” Theodore mengambil jilidan naskah cerita milik Kiera dan sedikit membalik-balikkan lembaran-lembarannya, lalu menyerahkannya lagi kepada pemiliknya.

Kiera mengamati refisi dari Theodore yang sama sekali tidak mengubah cerita, bahkan membantu tulisannya untuk memperjelas maksud penulisnya. Kiera tersenyum mendapati pesan singkat pada halaman terakhir naskah ceritanya yang membuat wajahnya memerah karena tersipu malu.

“Aku tidak menanggapinya pada saat itu, bukan berarti aku tidak mendengarnya, aku mendengarnya dengan jelas dan aku menyukai keramahanmu, walau mungkin setelah itu kau memaki dirimu sendiri dalam hati,” ujar Theodore.

‘Salam kenal! =)’

Hanya pesan singkat biasa dan mungkin tidak berarti bagi kebanyakan orang, tapi hanya dua kata saja, bisa mengembalikan senyum lebar ke wajah Kiera yang sempat sirna entah kemana beberapa saat lalu.

“Kuharap kamu tidak murung lagi seperti tadi, aku belum pernah menghadapi gadis cantik yang murung begitu lama seperti kau, jadi aku tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan senyummu,” Theodore membungkukkan tubuhnya sehingga wajahnya dengan wajah Kiera berada pada jarak yang terbilang dekat dan membuat Kiera menarik kepalanya kebelakang agar bisa menghindari tatapan Theodore yang tidak terbaca.

Theodore kembali duduk di sofa berhadapan dengan Kiera. “Oh ya, sekarang kita bicarakan tentang royaltinya, singkat saja, kamu akan mendapatkan lima belas persen tiap buku yang terjual,”

“Ya! Aku menyetujuinya,” ucap Kiera bersemangat. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi bisa ada di stasiun?”

“Aku tadi memang rencananya mau menjemputmu di stasiun, karena menurutku, tidak baik bagi seorang gadis jalan sendiri dari stasiun di jalan yang cukup sepi pada hari yang sudah gelap,”

I Give You My DestinyWhere stories live. Discover now