Part 2

20 0 0
                                    


AYAH

Tidak seperti biasanya, hari ini jam empat Aruna sudah tiba di rumah. Di balik pagar besi minimalis terlihat ayahnya yang memakai kaos oblong dan celana pendek sibuk mengotak atik motor vespa kesayangannya. Entah kenapa dengan motornya. Maklum saja motor itu memang motor tua sejak ayahnya muda dulu. Kalau dilihat dari luar memang masih mulus karena pernah diperbaiki catnya. Untuk mesinnya, ayahnya pernah bilang kalau mesin Vespa cukup kuat.

"Pada jaman Ayah muda dulu, mempunyai motor vespa merupakan suatu kebanggaan," kalimat itu yang sering dikatakan ayahnya. Meskipun setelah munculnya motor-motor baru mampu membuat kepopuleran vespa menjadi tenggelam.

Akhir-akhir ini sering terlihat beberapa orang datang ke rumah ingin membeli motor ini. Tapi dengan tegas dan tanpa berpikir panjang ayah Aruna langsung menolaknya. Padahal jika dipikir, harga yang ditawarkan cukup mahal. Hampir sama dengan motor-motor keluaran terbaru saat ini. Sebenarnya ada lagi motor matic terbaru di rumahnya tapi sepertinya hati ayah Aruna belum bisa berpindah ke yang lain. Memang banyak kenangan yang dilalui bersama motor itu. Kenangan ketika harus makan sepiring berdua bersama istri tercintanya.

"Assalamualaikum," dihampiri ayahnya yang berada di samping motor. Aruna menyodorkan tangan kanannya.

Ayah menjawab salam anak gadisnya sambil membalikkan tubuhnya, "Waalaikumsalam"

"Tangan Ayah kotor," menunjukkan kedua telapak tangannya yang penuh warna hitam.

"Tidak apa-apa Yah," tetap dicium tangan ayahnya dengan aroma semacam oli. "Motornya kenapa lagi? Macet?"

"Gak, hanya minta dibersihkan saja," ayahnya masih sibuk memegangi bagian bawah motornya. Ada sebuah baskom kecil berisi air dan kuas di sampingnya.

Sebagai anak cewek, Aruna sama sekali tidak memahami hal-hal yang berkaitan dengan motor. Dengan motornya sendiri pun kalau ayahnya tidak mengingatkan waktunya service atau ganti oli juga akan dibiarkan saja. Kadang sebelum berangkat ayahnya selalu mengecek bannya, kurang angin apa tidak. Kata ayahnya kalau kurang angin bisa membuat bannya mudah bocor.

Aruna duduk di kursi yang ada di teras depan. Ada dua kursi dan satu meja bulat di teras. Tubuhnya dia sandarkan pada kursi yang dia duduki. Tangannya sibuk mengambil snack yang ada di pangkuannya. Snack rasa keju yang dia beli di persimpangan jalan sepulang kerja tadi. Pandangannya menjurus pada satu titik yang persis berada di hadapannya. Seorang laki-laki luar biasa yang ikut serta dalam kelahiran dia ke dunia. Kini, kombinasi warna hitam dan putih menghiasai rambutnya.

Ayahku tidak lagi segagah yang dulu, terlalu banyak beban yang dia pikul, batinnya. Kerutan-kerutan halus nampak jelas di wajah dan tangannya. Tangan yang tak pernah lelah untuk membahagiakannya. Tak terasa bulir bening membasahi pipi Aruna. Segera dia menyekanya, jangan sampai ayahnya melihatnya. Bagi Aruna, membahagiakan ayahnya adalah tujuan yang utama.

Sejak pensiun jadi guru, ayah Aruna sering menyibukkan diri dengan motor kesayangannya. Belum lama, kurang lebih lima bulan yang lalu ayahnya tidak lagi pergi ke sekolah untuk mengajar siswanya. Sering terbesit rasa kasihan karena ayahnya harus sendirian di rumah ketika Aruna bekerja.

Pernah Aruna memberi ijin ayahnya untuk menikah lagi tapi ayahnya menolak. Rasa sayang pada almarhumah istrinya sangat besar dan beliau juga takut kalau salah mencarikan ibu untuk Aruna. Setelah kematian istrinya, ayah Aruna sering berdiam diri dan pikirannya seperti kosong. Memang kepergian ibunya yang sangat tiba-tiba membuat banyak orang kaget.

Teringat saat itu, ketika ayahnya pulang dari mengajar melihat istrinya muntah-muntah. Dugaan yang muncul pertama adalah masuk angin. Setelah memijat bagian tengkuk istrinya, ayah Aruna mengambil minyak kayu putih dan uang logam. Ayah mengerok punggung ibu. Terdapat bekas merah-merah di kulit punggungnya. Aruna yang baru datang dari sekolah ikut mengoles minyak kayu putih di perut ibunya. Saat itu Aruna masih duduk di kelas tujuh SMP. Masih belum cekatan untuk memberi pertolongan apa kepada ibunya. Wajah pucat terlihat jelas pada wajah ibunya. Berulang-ulang ibunya memejamkan matanya sambil sedikit menekan bagian ulu hatinya. Ayahnya menyiapkan mobil untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Mulai muncul keringat sebesar jagung-jagung membasahi wajahnya. Aruna membantu membersihkan keringat ibunya dengan menggunakan handuk kecil yang biasa diapakai ayahnya untuk olahraga. Semakin lama, tubuh ibunya semakin lemah. Matanya sayu. Lalu terjatuh. Tepatnya ibunya pingsan.

SENJA TAK BERWARNAWhere stories live. Discover now