Part 7 Dalam Bayangan Masa Lalu

4 0 0
                                    

Matahari bersinar cerah di atas cakrawala, memberi kehangatan pada sukma yang dirundung mendung. Angin bertiup lembut membisik merdu. Di kursi penumpang Kereta Api Gaya Baru, Nona merasakan jiwanya bagaikan kosong. Berkali-kali mulutnya mengucap lafadz istighfar, mencoba mengiklaskan segala hal yang belum menjadi rezekinya.


Tuttt!

Bunyi sirine menandakan keberangkatan ular besi raksasa, sang penguasa jalanan darat. Kereta terus melaju, sejenak berhenti di stasiun tertentu, kemudian kembali berjalan. Para penumpang naik-turun silih berganti. Jarak tempuh perjalanan dengan kurun waktu kurang lebih delapan jam, ditambah paket internet yang belum terisi membuat Nona merasa sedikit bosan. Beruntung, dia membawa serta beberapa novel karya Dee. Maka, dibacanya buku fiksi tersebut untuk mengusir sepi. Sedangkan Arin, gadis itu memilih tidur, terlelap dan mungkin sudah terbuai mimpi.

***

Senja memancarkan semburat merah merona dari balik awan mendung yang mulai menghitam. Langit nan cerah tiba-tiba meredup, memberi isyarat akan datangnya hujan dengan intensitas tinggi. Petir menggelar dari balik Merapi, air langit tumpah seiring kilatan yang kedua. Jam lima sore belumlah terlalu petang. Namun, langit sudah begitu gelap, payoda memuntahkan airnya membasahi bumi. Angin barat mulai bertiup garang dalam kereta. Dingin, menyapa tubuh Arin yang hanya terbungkus gamis dari kain wolfis. Sesekali tangannya sibuk menepuk-nepuk pipinya yang terasa membeku.

Laju gerbong kereta mulai melambat, roda berderit, semakin lama ular besi itu berhenti sempurna. Tepat di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Arin segera membangunkan Nona yang masih terlelap sejak kereta memasuki perbatasan Purwokerto.

Tepat saat kedua dara itu bangkit, Bu Desi sudah berdiri di hadapan mereka. "Rin, kamu bantu Nona turun, biar ibu bawa barang-barang kalian," titah wanita paruh baya itu lembut. "Agus sudah menunggu kita di ruang tunggu," pungkasnya.

"Bu, biar Arin saja yang bawa barang-barang, Ibu yang jaga Nona," sahut Arin. Tak tega jika ibu asuhnya itu harus menenteng koper dan dua tas besar.

Arin segera turun membawa bawaan mereka bertiga, matanya berkeliling mencari sosok pria jangkung bernama Agus. Langkah kakinya terhenti ketika seseorang memanggil dari arah belakang dan saat menoleh, pria yang dicari sudah berdiri tepat di hadapannya, menyuguhkan senyum terbaik.

"Mas," panggil Arin seraya mendekat. Wajahnya tersipu-sipu, pipinya merona.

Agus pun demikian, pria berlogat Jogja medok itu meraih tangan Arin dan saat akan memeluk tubuh ramping Arin .... "Ekhem! Belum mahram!" Bu Desi menginterupsi sambil melotot ke arah Agus.

Kemudian, saat posisi sudah dekat dengan keduanya, tangan yang mulai berkerut itu meraih dan menjewer telinga sang ponakan seraya memarahinya. "Untung, ya, budhe lihat."

"Awww, sakit, Budhe!"

"Makanya, buruan nikah!" kritik Bu Desi pada ponakan satu-satunya itu. Ya, Agus adalah ponakan Bu Desi yang menjalin hubungan LDR dengan Arin sejak dua tahun silam.

Selamat datang di kota Yogyakarta, kota pelajar sekaligus kota wisata.

Setengah jam perjalanan, mengantarkan mereka ke sebuah panti asuhan di daerah Sleman, Yogyakarta. Panti asuhan yang dikelola negara itu, berpenghuni anak-anak yang tak beruntung. Ada yang sengaja ditinggalkan orang tuanya begitu saja. Ada pula yang hanya dititipkan sementara, seperti Arin misalnya, sang ibu terpaksa meninggalkan buah hatinya karena terpaksa menjadi seorang tenaga kerja luar negeri.

Cinta Mentok KuotaWhere stories live. Discover now