Jilid-1
Hujan salju berlarut panjang, pagi itu udara tampak cerah,
namun hawa tetap dingin, salju bertumpuk tebal dan mengeras
menjadi es. Jalan raya itu masih sepi belum kelihatan orang
berjalan, setiap pintu dan jendela rumah-rumah sepanjang jalan
raya ini masih tertutup, alam semesta seakan-akan diliputi
keheningan yang menegangkan serta bau membunuh.
Dengan mengenakan mantel kulit rase tebal, Tong Thong-san
duduk di atas kursi besar yang dilembari kulit harimau di ujung
jalan raya, matanya memandang lurus ke jalan raya di hadapannya
nan sunyi beku, dalam hati dia bersorak gembira. Dia amat puas
karena perintahnya dilaksanakan dengan baik.
Jalan raya ini tertutup untuk penduduk, kini dia jadikan sebagai medan laga, dalam jangka
setengah jam, dia sudah siap mencuci tumpukan salju yang mengeras itu dengan cucuran darah Lo Toh dari Sek-ek.
Detik-detik yang ditunggu menjelang datang, jika ada orang, perduli siapa dia beranjak di
jalan raya ini, maka orang itu harus dibunuh, meski hanya kakinya saja yang menginjak jalan
raya ini, maka kaki itu harus dipotong.
Kota ini miliknya, siapapun jangan harap bercokol di tanah kekuasaannya, demikian pula Lo
Toh dari Sek-ek pun. Kecuali Wi-pat-tay-ya, siapapun jangan harap bisa menghalangi
kemauannya.
Puluhan laki-laki tegap berpakaian ketat siap-siaga, berdiri jajar di belakangnya, tangan
lurus, muka beringas diliputi hawa membunuh. Di kanan kiri Tong Thong-san terdapat dua kursi
besar pula. Seorang pemuda bermuka pucat, bersifat congkak dan dingin, duduk bermalasmalasan
di kursi kiri, tubuhnya berselimut kulit bulu panjang warna kelabu, harganya ribuan
tahil emas, jari kelingkingnya menggantol sebilah pedang panjang yang dihiasi jamrut dan
permata kemilau, bersarung hitam, pedang di obat-abitkan.
Pemuda ini merasa tugas yang harus dia selesaikan terlalu membosankan, karena dia
merasa kurang setimpal turun tangan terhadap lawan sejenis Lo Toh dari Sek-ek ini.
Orang di sebelah kanan berusia lebih muda, dengan sebatang Yan-ling-to yang kemilau, dia
sibuk membersihkan kuku jarinya. Kelihatan dia pura-pura tenang, namun wajahnya yang
menampilkan watak kanak-kanak kelihatan merah lantaran tegang dan emosi.
Tong Thong-san memahami perasaan pemuda ini. Waktu pertama kali dia menjalankan tugas
yang diperintahkan Wi-pat-tay-ya dulu, demikian pula keadaannya. Tapi dia tahu kalau pemuda
ini berjajar nomor dua belas di antara Cap-sha-thay-po dalam perguruan Wi-pat-tay-ya. Yanling-