Perfect Ending

30 4 0
                                    

Juara 3
Ufi Ulandari & Syilfah Qolbi

Ini dariku.
-Dari seseorang yang teramat mencintaimu.

Cinta adalah satu - satunya yang tersisah dari tubuhku saat ini. Walau cinta itu hanya aku yang merasakan betapa besarnya. Hadirnya tetap terasa indah dan menyenangkan.

Bahkan disaat terakhirku, yang aku inginkan hanya kehadirannya bersama senyum hangat. Senyum hangat yang selalu aku lihat, namun sayangnya... tak dapat aku miliki.

Sayang sekali.

Seperti aku yang selalu memperhatikanmu walau diam. Sungguh, ini sudah jadi sebuah kebahagiaan bagiku. Disaat kamu tersenyum, meski aku tau nanti bukan aku pemilik senyum itu.

Menyesakkan. Namun, biarlah aku yang menanggung cintaku yang teramat dalam ini.

--oOo--

Para dokter mulai berdatangan memasukin ruangan 301. Para perawat yang ikut mengekorinya, tak kalah sibuk untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien malang itu.

Semua usaha sudah dilakukan. Namun, nihil. Detak jantungnya tidak lagi terasa, berdetak lemah seakan enggan. Tangis di luar ruangan bersurai, saat seorang dokter menyampaikan berita.

Salah seorang wanita paruh baya bahkan pingsan, karena berita yang disampaikan oleh dokter itu. Kesedihan menjalar disekeliling ruangan.

Bahkan seorang dokter muda yang baru saja menyampaikan berita itu, cukup merasa teriris. Menyaksikan sanak keluarga yang merasa kehilangan. Dirinya sangat tau bagaimana rasanya ditinggalkan selamanya oleh orang yang berarti dalam hidup.

Tak ingin terlalu larut dalam duka orang lain, lantas sang dokter muda melenggang dari tempat itu.

Terlepas dari kepergian sang dokter, suasana duka semakin erat. Isak tangis saling bersaut - sautan. Hanya ada satu orang yang bertahan didepan pintu ruang rawat. Seorang wanita berambut hitam legam yang nampak lelah dan kacau.

Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja yang ia dengar, lebih tepatnya berusaha untuk tidak mempercayai berita itu. Ini semua terasa tak adil baginya, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia seenaknya pergi meninggalkan dirinya, disaat perasaannya sudah mulai berubah.

Hatinya sudah luluh.

"Ini ga adil, Kak! Ga adil! Aku udah sayang sama kamu."

Wanita berumur dua puluh empat tahun itu terus menggelengkan kepalanya. Menolak mentah - mentah takdir pahit yang sudah terpampang jelas di hadapanya.

Dan perasaan itu muncul. Saat si pria sudah tidak ada, barulah ia menyadari perjuangan pria itu untuknya. Bahkan di saat - saat terakhirnya, nama yang tertulis di buku pria itu adalah namanya. Nama gadis yang tak akan bisa menjadi miliknya. Ia menyesal. Didalam dadanya kini hanya segundah penyesalan yang tak ada habisnya.

Kamu bodoh Arnetha. Sangat bodoh!

Kalimat itulah yang terngiang dikepala gadis malang bernama Arnetha itu. Ia merasa hancur. Menanamkan dalam hati bahwa kematian pria yang ia cintai itu semua karena dirinya. Karena keterlambatannya. Benar saja, ini semua memang tentangnya. Ini semua berawal dari Arnetha.

Dalam diam Arnetha tertunduk. Memejamkan mata kuat - kuat berharap ia tidak akan pernah membuka matanya lagi. Namun, sayangnya yang ia lihat bukan pria itu. Melainkan segundah kenangan yang kembali ia tangisi. Semua terlambat... hatinya telah hancur. Walau waktu terus berjalan. Tetapi, hatinya sudah berhenti sejak pria itu meninggalkannya.

"Kak, bawah aku. Tolong jangan ninggalin aku. " Bibir keringnya yang mulai memucat kini bergetar. Nyawanya seakan telah meninggalkan tubuh lemahnya. Meninggalkan raganya yang berantakan, "kak Sean!"

Kalimat itu menjadi penutup kisahnya. Kubik dingin rumah sakit tidak lagi terasa di kulitnya. Satu - satunya yang bisa ia lihat sebelum kesadarannya hilang ialah kegelapan.

--oOo--

Menjadi wanita yang lemah, membuat Arnetha memutuskan untuk menyerah. Memilih untuk mengakhiri semuanya saat Sean kita sudah tidak ada lagi untuk merangkulnya. Pria yang notabate nya adalah kakak laki - laki Arnetha.

Seharusnya, mereka berdua sadar. Apa yang terjadi diantara mereka merupakan kesalahan besar. Lantara, tidak seharusnya seorang saudara kandung berharap saling memiliki.

"Ar..Arnetha? Arnetha bangun!"

Secepat mungkin, wanita itu membuka kedua kelopak matanya lebar - lebar...tatkala rungunya mendengar suara yang begitu familiar.

Dengan nafas yang memburuh, serta beberapa bulir keringat yang menghiasi dahi hingga lehernya...Arnetha memandang sekelilingnya. Menemukan sesosok pria yang membuat jantungnya memompa cepat.

Pria itu terlihat sehat, tidak terlihat sakit sedikitpun. Justru ia memandang Arnetha dengan heran. "Ada apa, Ar? Kamu kenapa?"

Masih dengan sorot mata yang bingung dan panik, Arnetha tak mengalihkan pandangannya dari sosok pria tinggi itu. Tangannya bergerak, menyentuh pipi hingga rahang Sean.

"K-kak Sean, ini beneran kamu kan?" ucap Arnetha dengan ragu - ragu.

Membuat pria di depannya sedikit terkekeh. Sean menyentuh tangan mungil milik Arnetha yang berada di pipinya, mengusapnya perlahan menggunakan ibu jari.

"Kamu mimpi lagi?"

"Mimpi?"

Arnetha mengerutkan dahinya. Kembali mengingat dan mengulang sekelebat ingatan tentang bagaimana ia dengan mata kepalanya sendiri, melihat Sean terbaring tidak bernyawa di atas brangkar rumah sakit.

Hatinya bertanya - tanya, apa benar itu hanya mimpi. Atau sebaliknya justru sekarang ia sedang bermimpi Sean ada di hadapannya.

"Udahlah, Ar. Gausah kamu pikirkan! Cepat bangun dan siap - siap ke kantor. Nanti Ibu marah lagi," ucap Sean sebelum akhirnya melepas tangan adik kecilnya itu dari pipinya. Mulai berdiri dari posisinya yang sempat duduk di bibir ranjang milik Arnetha.

Namun, sebelum pria itu bergerak lebih jauh...ia merasakan sebuah tarikan halus pada lengannya. Serta rasa hangat pada pundaknya, tatkala ia menoleh mendapati gadis berambut coklat itu menenggelamkan wajahnya pada pundak Sean.

"Kak," ucapnya lirih.

"Iya?"

"Kak Sean." Tanpa memperlihatkan wajahnya, Arnetha terus memeluk lengan Sean dengan wajahnya yang tertunduk bersembunyi di balik pundak lebar milik kakaknya itu.

"Apa, Ar?"

"A-aku mimpi kakak meninggal," Sean merasakan kini pundaknya menghangat dan basah. Bahkan sesekali terdengar isakan kecil dari sana. "Aku takut kak, kakak ga boleh ninggalin aku. Kakak harus janji."

Sean membalik punggungnya, membuat pelukan pada lengannya terpaksa lepas. Kini ia menatap senduh ke arah wanita yang tengah tertunduk di hadapannya. Rambutnya yang terbilang panjang menutupi sebagian wajah Arnetha.

Untuk mengantisipasi keadaan itu, Sean segera menepuk pundak gadis itu perlahan. Membuat mau tak mau Arnetha mendongak. Memperlihatkan wajah bengkaknya lantara baru bangun tidur serta kerena menangis.

Sean kembali bersuara, "aku ga akan kemana - mana. Aku disini, buat kamu."

Kalimat singkat itu seakan menyembuhkan segala rasa gundah di hati Arnetha. Tatapan serta senyum yang menghiasi wajah tampan Sean seakan menghipnotisnya untuk percaya pada setiap kata - kata yang keluar dari bibir Sean. Meski ia tau bahwa nantinya, Sean akan benar - benar pergi darinya.

"Hari ini jadikan, makan malam sama keluarga tunangan kamu?"

Perlahan, senyum di wajah Sean luntur beransur - ansur. Menatap sayu ke arah Arnetha yang nampak mengulas senyum manis atau mungkin senyum hambar.

"Arnetha?"

"Have fun ya, Sean."

Arnetha beranjak dari tempat tidurnya. Melangkah tanpa berani menoleh dan menatap mata Sean yang kini menghujaminya dengan tatapan sulit terartikan.

Baik Sean maupun Arnetha, sadar akan kesalahan yang terjadi. Mereka tak seharusnya seperti itu. Mereka seharusnya seperti seorang adik kakak pada umumnya, yang saling menyayangi namun bukan untuk memiliki. Bukan untuk saling menyakiti.

Karena memang pada akhirnya mereka tidak bisa bersatu.

--oOo--

Arnetha masih tak yakin perasaannya. Ia tahu, ia salah karena bisa-bisanya mencintai kakak kandungnya sendiri. Tapi, kenapa perasaan ittu harus ada?

Arnetha mendesah pelan. Menikmati angin malam yang menerpa wajah serta rambutnya. Ia hanya ingin menenangkan hatinya yang masih bimbang dengan ini semua. Satu sisi, ia ingin berakhir bahagia karena cinta, seperti orang - orang. Namun, di lain sisi, mereka kakak-adik yang terlahir dari Ibu dan Ayah yang sama.

Sehabis pulang dari makan malam dengan keluarga tunangan kakaknya, membuat Arnetha ingin menikmati malam ini di balkon kamarnya.

Sean. Nama itu yang berjalan diotak, maupun hati, dan fikirannya. Memiliki Sean, sama saja seperti bermimpi ketika malam hari. Hanya mimpi, bukan kenyataan. Kenyataannya mereka saudara kandung, yang tak mungkin bersatu.

Arnetha tertawa miris. Apalagi kakaknya sudah memiliki tunangan yang cantik dan juga sangat baik. Arnetha tidak tega untuk merebutnya. Lagipula, kuasa alam tidak akan pernah menyetujui perasaannya terhadap Sean.

Brakk

Arnetha tersentak. Saat mendengar suara seseorang yang melempar barang. Dengan penasaran, Arnetha pun bangun dari duduknya. Lalu melangkahkan kakinya untuk mencari suara asal tersebut.

Arnetha menutup pintu balkon kamarnya, udara malam ini cukup dingin. Dirinya saja sudah memakai sweater putih yang dibelikan Sean saat mereka jalan-jalan ke Puncak dulu.

Arnetha menengok ke kanan - ke kiri mencari asal suara bising tadi. Namun, sepertinya suara itu bukan berasal dari kamarnya. Dengan malas, Arnetha membuka pintu kamarnya yang sengaja ia kunci karena ia tak ingin diganggu dahulu, sebelum hatinya sudah kembali tenang.

"Maksud Papa apa?!"

Arnetha menegang saat dirinya membuka pintu kamarnya, dan langsung mendengar suara bentakan yang berada dari ruang tamu rumahnya. Suara itu... suara yang menganggu fikirannya akhir - akhir ini. Sean. Ya, itu suara kakaknya. Namun, kenapa kakaknya mengeluarkan suara keras seperti itu?

Dengan langkah yang tergesa-gesa Arnetha menginjak setiap anak tangga rumahnya dengan cepat. Tanpa memikirkan kakinya yang akan tergelincir ataupun yang lainnya.

Saat sudah berada di lantai bawah. Matanya tercengang, saat melihat kakaknya yang berpenampilan berantakan dengan tangan yang penuh darah, kemeja merah maroon yang sudah kusut, serta rambut yang acak-acakan.

Dan ini bukanlah Sean yang Arnetha kenal.

Sean yang ia kenal, adalah pria yang disiplin dan tidak suka dengan yang namanya membuat penampilan berantakan seperti sekarang ini. Ia termasuk orang yang selalu menjaga kebersihan.

Wajah Sean mengeras marah, menahan gejolak dalam hatinya yang sangat ingin menghancurkan semua barang yang berada disekitarnya. Tangannya mengepal, hingga kuku - kukunya memutih namun banyak yang terkena noda darah akibat perbuatannya sendiri.

Sean menonjok tembok menggunakan tangannya dengan kesal. Matanya menatap tajam, pada seseorang yang sudah merawat serta menjaganya selama ini.

Arnetha terpekik, saat melihat Sean menonjok tembok dengan kencang. Ia refleks lari menuju tempat Sean berdiri. Menyentuh tangan Sean dengan lembut.

"Kak, kakak kenapa? Kok nonjok tembok gitu sih," omel Arnetha merasa bahwa kali ini kakaknya benar-benar berbeda.

Sean menepis tangan Arnetha yang tadi menyentuh luka di ibu jarinya. Iris matanya menyorot tajam ke arah Arnetha. Tatapan penuh teka-teki yang sama sekali tidak Arnetha mengerti.

"Kamu, Ar! Kamu. yang. udah. buat. aku. jadi. gini!" bentak Sean pada Arnetha dengan menekan setiap kata dikalimatnya.

Arnetha mendongak menatap Sean, tak percaya. Sean membentaknya?

Dengan mata yang memanas, Arnetha memandang wajah Sean.

"Kakak bentak aku?" tanyanya pelan dengan airmata yang meluncur begitu saja dari pelupuk matanya.

Sean membuang muka ke arah lain, karena ia tak kuat melihat orang yang gadis yang teramat ia cintai, menangis di hadapannya. Apalagi, karena dirinya sendiri.

Pria itu menghelah nafas, menghirup udara banyak-banyak. Tanpa melihat ke arah lawan bicaranya, ia menjawab, "Iya."

Arnetha tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Sean. Ia pun tak pernah sama sekali membuat Sean marah seperti sekarang ini. Dia saja ... Baru pertama kali mendengar suara keras yang mengandung penekanan dari bibir kakaknya itu. Selama ini, Sean selalu bersuara lembut saat bicara dengannya tanpa bentakan seperti tadi. Sean selalu memperlakukannya baik, tanpa amarah, tanpa pukulan, tanpa bentakan. Dan ... Karena itu lah, Arnetha memilih menjatuhkan hati pada Sean.

Arnetha pun memandang kecewa pada Sean. Susah payah meredahkan emosi di dalam dadanya. "Aku gak tau masalah apa yang sedang kakak hadapi. Yang aku tau, pasti itu berat. Kalau memang aku ada salah, kenapa kita gak bicara baik-baik saja kak?"

Arnetha tahu, bahwa orang yang sedang marah itu akan sedikit mereda, jika lawannya berbicara dengan lembut. Meskipun, ia tak tahu apa yang terjadi kakaknya. Namun, ia harus bersikap tenang tanpa emosi, agar Sean luluh padanya. Meski dalam hati, ia bertanya-tanya: apa sebenarnya yang terjadi?

Sean menengok sejenak ke arah Arnetha, lalu mengalihkan matanya ke dinding ruang tamu rumahnya. Ia sedikit tertawa miris.

"Kita...kita bukan saudara kandung. Kita cuman suadara angkat tanpa ada ikatan darah, Ar," jawab Sean yang bukan menjawab pertanyaan Arnetha, melainkan menambah tanda tanya dalam benak adiknya itu.

Deg

Arnetha merasa kakinya seketika melemas. Bagaimana mungkin, Sean mengatakan hal konyol seperti itu. "Ka-kak pasti la-gi ber-canda 'ka-n?"

Bayangkan saja, bagaimana perasaan Arnetha saat itu. Senang dan terkejut, bercampur menjadi satu. Arnetha tak mampu lagi berucap, ia kini menatap Sean lekat-lekat... Seakan meminta penjelasan lebih.

Sean menggeleng lemah. Tak hanya Arnetha yang tergungcang akan berita ini, Sean pun tak kalah terkejut. Ia bimbang harus menyambut berita ini seperti apa. Haruskah ia sedang, karena itu artinya mereka bisa bersatu? Tapi, akan terasa egois jika Sean melakukan itu. Lantara sekarang ia sudah berstatus sebagai tunangan orang lain: yaitu Veronika. Mereka akan melangsungkan pernikahan 2 bulan ke depan.

Sean bimbang, jiwanya hanya untuk Arnetha begitupun hatinya. Tapi, fikirannya jatuh pada Veronika - perempuan yang sangat baik hati, bahkan meskipun dia tau bahwa Sean mencintai orang lain, ia tak masalah jika dirinya hanya seperti pelampiasan saja untuk Sean. Ia menerima Sean dengan apa adanya.

Veronika adalah gadis baik. Tapi, kenapa hati Sean masih jatuh pada Arnetha? Sean dilema. Ia ingin marah. Ia ingin berteriak sekencang-kancangnya. Kenapa berita ini baru muncul, disaat dirinya sudah bertunangan dengan Veronika? Sean merasa ini tidak adil.

Begitupun Arnetha tak percaya dengan ini. Kenapa mereka harus terlambat mengatahui berita ini. Apa takdir sekejam itu pada dirinya? Sementara, Arnetha hanya diam. Matanya beralih pada paruh baya yang sedang menatapnya dengan mata yang sembab.

"Bu... Ini gak benerkan? Aku sama kak Sean itu bukan saudara kandung?" tanya Arnetha kembali memastikan. Ia tak ingin kecewa lagi.

Yunia-Ibunya hanya diam memandang Arnetha. Kedua matanya juga mengeluarkan bulir-bulir air yang mengalir dikedua pipinya.

"Bu, jawab! Aku butuh jawaban dari Ibu sama Ayah...." ucap Arnetha lirih.

Sean yang melihat itu, rasanya ia ingin sekali menghapus sisa-sisa airmata dikedua pipi Arnetha, lalu memeluk gadisnya agar sedikit lebih tenang. Tapi... Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Andro-Ayahnya sedikit menoleh ke arah kedua anaknya itu. Tangannya terus saja mengusap punggung istrinya agar lebih tenang sembari menghembuskan nafas kasar, "Itu benar Netha. Kamu dan Sean bukan saudara kandung. Namun... Kalian berdua saudara angkat. "

Tubuh Arnetha menegang. Mulutnya terbuka, ia masih sulit percaya. "Ba-gaimana bi-sa?"

"Ayah akan menceritakannya."

--oOo--

"Sean adalah anak yang kami angkat dari Panti Asuhan. Saat itu, Ibumu mengalami penyakit yang dinyatakan susah untuk mendapatkan keturunan. Kami juga sudah melakukan kegiatan program bayi tabung beberapa kali. Namun, hasilnya nihil. Tapi tau-taunya, disaat Sean berumur 5 tahun, kamu lahir Netha. Kamu keluar dari rahim Ibumu. Kamu adalah anugerah yang diberikan Tuhan pada kita. Ibu, Ayah sangat bersyukur dengan kehadiran kamu dikeluarga ini. Apalagi melihat kendekatan kalian berdua, meski kalian bukan saudara kandung.... "

"...dan tentunya Ayah menyadari satu hal diantara kalian, yaitu: kalian saling mencintai. Memutuskan untuk menjodohkan Sean pada sahabat Ayah adalah keputusan terbaik. Ayah bukan bermaksud jahat padamu, Netha. Kami hanya, ingin kalian menjadi anak kami. Bukan menantu kami. Maafkan Yah... Netha, Sean..." sambung Andro menjelaskan semuanya. Sedangkan, Yunia ia sudah tidak menangis seperti tadi. Namun, tatapannya rapuh pada kedua anaknya.

Semua pertanyaan-pertanyaan difikiran Arnetha sudah terjawab saat dirinya mendengar penjelasan dari Andro. Ia bergeming, tak tahu harus berbuat apa. Sama halnya dengan Sean, ia hanya memandang kosong pada wajah Arnetha.

Andro tahu, bahwa kedua anaknya ini mencintai satu sama lain. Apalagi, saat melihat perilaku Sean terhadap Arnetha. Bukan sekedar Adik. Andro tahu bahwa mereka tidak masalah jika ingin bersatu. Tapi, ia tak ingin salah satu dari mereka menjadi menantunya. Ia ingin mereka berdua menjadi anaknya selama-lamanya.

"Maafin Ibu Netha, Sean... Kita berdua yang buat kalian jadi seperti ini." Isakan lolos dari bibir Yunia. Ia tak kuat melihat kedua anaknya seperti tidak hidup. Awalnya ia menolak keras-keras keputusan Andro, karena, menurutnya mereka berdua berhak bahagia. Tapi, Sean mendengar semua ucapannya saat ia berbicara dengan Andro diruang tamu.

Arnetha kira, jika dirinya bukan saudara kandung dengan Sean. Ia akan bersatu dengannya. Tapi... Kenapa seperti ini? Ini bukanlah yang Arnetha inginkan. Namun, pantaskah ia menolak takdir. Arnetha tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima keputusan kedua orangtuanya.

Arnetha memaksakan kedua sudutnya agar melengkung ke atas, "aku udah maafin ibu sama Ayah. Kalian gak salah, tapi aku dan kak Sean yang salah. Dan .... aku juga, sudah menerima keputusan Ibu sama Ayah. "

Seiring ucapan itu keluar dari bibir Arnetha, matanya menatap senduh ke arah Sean. Menatap pria yang sebentar lagi melanggar janji-janji yang ia ucapkan pada Arnetha. Sebentar lagi ia akan meninggalkan dirinya.

Andro sedikit legah saat mendengar jawaban dari Arnetha. Meski ia tahu, bahwa dalam hati mereka ingin bersatu. Tapi ... Ia ingin yang terbaik buat mereka. "Syukurlah..."

Pandangan Andro beralih pada Sean, menatap putranya yang tak melepaskan pandangannya dari adik angkatnya.

Sean menyadari maksud dari tatapan Andro itu. Ia mengangguk lemah pada Andro. "Sean juga terima keputusan itu, Yah."

Ingin sekali Sean menolak keras-keras keputusan kedua orangtuanya. Namun, ia tak bisa melakukan apa-apa. Mereka berdua yang sudah merawat serta menjaganya. Mereka berdua adalah orang yang mengadopsi dirinya dengan baik.

Andro tersenyum tipis, "Minggu depan kamu akan langsung melakukan akad nikah dengan Veronika, Sean."

Sean kembali mengangguk. Namun, kakinya perlahan melangkah ke arah gadis yang menatapnya dengan senduh. Tanganya beralih menarik Arnetha dalam pelukan hangat.

"Tapi biarkan aku meluk Arnetha untuk terakhir kalinya."

--oOo--

Hari ini terjadi, hari dimana Sean akan menjadi suami yang sah untuk Veronika. Ini benar-benar terjadi. Saat dimana Arnetha akan kehilangan sosok Sean.

Dari kejauhan gadis itu memandang teduh kedua pengantin yang sedang bercanda ria dipanggung. Veronika, dengan gaun putih panjangnya yang membuatnya terlihat lebih cantik daripada yang biasanya. Dan Sean, Pria itu memakai kemeja putih dengan pita hitam yang menghias dilehernya.

Sean sudah bahagia, tentu bukan bersama dirinya.

Sean sudah menemukan pasangan hidupnya. Bahkan, wajah Sean menunjukkan bahwa Pria itu sudah melupakan dirinya. Arnetha tentu bahagia, namun jauh di dalam sana ada rasa perih.

Arnetha ingin sekali menolak takdir. Tetapi ia tidak bisa. Ia lemah. Ia sedih. Ia rapuh. Satu-satu pria yang Arnetha cintai adalah Sean. Hanya Sean, dan cukup Sean. Namun, pria itu sudah bahagia dengan keputusan yang dipilih oleh kedua orangtuanya.

Arnetha menengok saat merasakan bahunya disentuh seseorang. Ia memandang wajah Pria berkacamata dengan gayanya yang maskulin, tak lupa lesung pipit yang terlihat dikedua pipi Pria itu.

"Ar? Ayo, aku yakin kamu pasti bisa," ucap Dani. Pria dengan senyum manis yang siap menyembuhkan luka Arnetha.

Arnetha pun mengangguk. Lalu dengan sigap memeluk lengan tangan kekar Dani.

Dani tersenyum kecil. Anertha adalah orang yang sangat ia cintai. Meskipun dirinya berbeda beberapa tahun dari Anertha. Namun, ia tak mempermasalahkan soal umur. Karna cinta itu tak mandang usia. Ia tentu tahu, bahwa Sean-sahabatnya menyukai Arnetha sejak lama. Namun, karena status mereka berdua. Akhirnya mereka tidak bersatu.

Dani tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, untuk lebih dekat dengan Adik Sean. Jika dulu ia mundur, karena Sean mencintai gadisnya. Namun, sekarang tak ada yang menghalanginya lagi.

Saat sudah di depan kedua mempelai pengantin. Sean yang awalnya tersenyum, kini senyumnya luntur saat melihat Adiknya bergandeng tangan mesra dengan Sahabatnya. Dalam hati, ia masih belum rela untuk melepaskan Arnetha dari hidupnya. Namun, Veronika sekarang adalah istrinya. Dan Sean menghargai itu.

Buru-buru Sean tersenyum lebar pada Dani. Ia pun langsung memeluk tubuh Dani ala-ala lelaki. Sedangkan, Arnetha memeluk Veronika dengan pelan.

"Gak nyangka sekarang lo udah gak sendiri lagi ya," ujar Dani sedikit terkekeh. Sean hanya bisa tertawa.

"Jelaslah, emangnya lo? Masih sendiri dari dulu," balas Sean.

Dani tak menjawab ucapan Sean. Ia malah sedikit melirik ke arah Arnetha yang sedang berbicara pada Veronika. Ia pun mengarahkan pandangannya kembali pada Sean.

Sean yang tahu arah pandang Dani. Ia pun memukul bahu sahabatnya pelan. "Gue percaya sama lo."

Dani merasa mendapat lampu hijau dari sahabatnya, yang notabenya sebagai kakak dari gadis yang cintai. Ia merasa sedikit senang. Lalu merangkul Sean dengan sahabat.

Arnetha yakin bahwa Veronika akan menjadi pendamping hidup Sean dengan baik. Lihat saja bahkan perempuan itu sudah mengetahui bahwa Sean mencintainya. Tapi, ia terlihat baik-baik saja.

"Foto yuk!" ajak Veronika.

Mereka pun menyetujui ajakan Veronika. Sean pun menyuruh sang fotographer untuk memotret mereka berempat. Arnetha menempatkan posisi disebelah kanan Sean, dan Dani diposisi sebelah kiri Veronika.

Cekrek

Cekrek

Cekrek

Cekrek

Sang fotographer menyudahi potretannya. Arnetha mengeluarkan banyak gaya yang menurutnya konyol hanya untuk foto dipernikahan kakaknya saja. Ia melihat kakaknya tertawa lepas bahkan senyum yang lebar. Ia benar-benar sudah melupakan dirinya.

Tanpa sadar Arnetha tersenyum tipis. Tak apa, dirinya yang tersakiti. Karna ia memang pantas mendapatkan itu. Akibat dirinya yang terbawa perasaan pada Sean. Memang, ia yakin bahwa hari ini akan tiba.

Sean yang merasa diperhatikan ia pun menengok ke arah Arnetha, ikut merasa teriris tatkala melihat betapa kerasnya Arnetha mencoba kuat. Namun, Sean tersenyum manis. Ia dan Arnetha harus menerima takdir itu.

Menyadari tatapan Sean, buru-buru Arnetha mengalihkan pandangannya. Ia rindu senyuman itu. Ia rindu perilaku Sean. Ia rindu dimanja dengan Sean. Ia rindu akan tentang Sean.

Dani pun menyalami Veronika, "Semoga menjadi keluarga yang samawa ya."

Veronika menanggapinya dengan senyuman. Dan ikut membalas salaman Dani, "semoga, makasih udah datang."

Dani mengangguk, ia pun merangkul Arnetha yang sedari diam sejak selesai dari sesi pemotretan tadi. Arnetha sedikit terkejut akibat perlakukan Dani, namun ia pun sedikit tersenyum tipis.

Saat sudah berada nurun dari altar. Dani mengambil salah satu minuman yang sudah disedikan di meja. Lalu memberikan minuman itu pada Arnetha.

Arnetha menerimanya, lalu meminumnya pelan-pelan.

"Takdir emang kejam Ar," ucap Dani sembari tersenyum lirih dengan tatapan yang tertuju pada Sean.

Arnetha menaruh gelas tersebut di meja seperti semula. Lalu memandang Dani dengan tatapan bingung. Namun, ia memilih diam.

Sampai akhirnya Dani menoleh kearahnya dengan senyum yang tidak berubah. "Tapi, aku ada buat nyumbuhin luka itu."

Tentu, Arnetha tidak terkejut lagi. Ia jelas tau bahwa Dani menyimpan perasaan padanya. Selama ini, ia menyadari semua perhatian yang pria itu berikan padanya. Namun, saat itu Arnetha dibutakan oleh cintanya terhadap Sean.

Arnetha menatap iris mata Dani yang tersembunyi di balik kacamata. Mencoba menelaah, maksud dari senyuman manis yang Danu berikan padanya. Namun, yang dapat ia lihat hanyalah ketulusan.

Senyum perlahan terlihat dari wajah cantik Arnetha. Mungkin inilah alasan Tuhan tidak mempersatukannya dengan Sean: karena sang pencipta sudah merencanakan takdir dan kisahnya bersama pria lain.

Yakni Dani.

Tidak ada salahnya jika Arnetha memilih bahagia. Meski bukan bersama Sean.

"Kalau begitu, aku tunggu bukti dari ucapan kamu, Dan. "

Mungkin ini jawaban dari takdir, bahwa semua orang itu berhak bahagia meskipun bukan dari orang yang ia cinta. Tak selamanya, sepasang kakak-adik yang saling mencintai namun bukan saudara kandung, akan bersatu.

Karena, takdir itu tak ada yang tahu. Begitupun Arnetha.

Event; CerminWhere stories live. Discover now