Lelaki dan Gadis Hujan

50 6 0
                                    

Juara 2
Rifqa Haura Nuzula dan Lutfiatul Mursida

Air langit turun dengan derasnya, mengguyur kota yang penuh populasi udara ini. Sesegera mungkin aku mencari tempat untuk berteduh. Dulu aku menganggap hujan adalah pembawa keberuntungan, tapi ternyata aku salah. Hujan adalah pembawa sial dan aku benci itu. Di saat hujan, orang yang kusayang perlahan meninggalkanku bersama seribu luka.

Untuk sekian kalinya, laki-laki yang kucintai setengah mati, ternyata kembali mempermainkanku. Aku sama sekali tidak paham, apakah mereka bersama-sama mengadakan janji untuk menjadikanku bahan taruhan? Hanya saja, saat ini aku sudah tak pernah menangis hanya karena dijadikan bahan taruhan, saking seringnya.

“Huh, mengapa susah sekali mencari tempat berteduh di sini?” Kembali aku menyusuri jalan setapak ini sambil mencari tempat berteduh. “Benar-benar hari yang sial,” gerutuku sembari memeluk diriku sendiri yang mulai menggigil.

Tiba-tiba, aku merasa tetesan dari langit itu tidak lagi membasahiku. Ternyata seorang laki-laki yang tak kukenal membagi payungnya untukku.

“Terima kasih,” ucapku tulus. “Tidak masalah, lagi pula kau tampak kedinginan. Hei lihat! Di sana ada halte, ayo berteduh!” Lelaki berwajah rupawan itu menarik tanganku dengan lembut dan menuntunku menuju halte.

“Terima kasih.” Lagi-lagi aku mengucapkan terima kasih padanya yang hanya dijawab oleh anggukan kecil. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika lelaki itu tidak membantuku, mungkin aku akan mati kedinginan. Hujan masih turun dengan deras seolah-olah tak ingin berhenti. Duduk berdua dengan lelaki yang belum kukenal disertai keheningan membuatku ingin segera pulang dan bergelung di balik selimut yang hangat. Namun takdir seperti tak berpihak padaku, bus yang akan mengantarku pulang tidak terlihat sama sekali.

“Omong-omong, kau naik bus nomor berapa?” Suara bariton itu mengalihkan perhatianku. “4026,” jawabku. “Oh, itu busmu sudah tiba. Pergilah!” Segera kuayunkan kaki memasuki bus. Namun, sebuah suara menghentikan langkahku. “Hei! Kupastikan kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa, Gadis Hujan!” Sebelum sempat aku membalas perkataannya, ia telah berjalan menjauhi halte dengan payung biru yang melindunginya dari hujan.

♧♧♧

Kicauan burung membuatku bersemangat untuk menjalani hari. Kumulai hari ini dengan menyingkap gorden dan membuka jendela. Kudapati matahari yang bersinar begitu cerah, membuatku yakin hujan takkan turun. Dengan senyum yang mengembang, kulangkahkan kaki keluar kamar dan lekas berangkat ke sekolah.

Sungguh di luar dugaan. Langit tiba-tiba saja berubah menjadi kelabu dan siap menumpahkan airnya. Tetesan-tetesan air yang turun mulai membasahiku. Secepat mungkin aku berlari menuju sebuah kios kecil di pinggir jalan untuk melindungi diri dari hal yang kubenci itu.

“Halo, Gadis Hujan!” sapa seorang lelaki berkulit putih dengan hidung mancung, bibir merah merekah, serta mata hitam kecoklatan yang amat mempesona. Ya, dia adalah lelaki hujan–begitulah aku menyebutnya sekarang–yang telah menolongku. “Mengapa kau ada di sini?” tanyaku sambil menatap curiga padanya.

“Jangan menatapku seperti itu, Gadis Hujan. Dan bukankah aku pernah bilang bahwa kita akan berjumpa kembali.”
“Kau pantas dicurigai. Jangan-jangan kau menguntitku ya?! Aku tidak akan memaafkanmu, Lelaki Aneh!”

“Hei, dengarkan aku! Pertama, aku tidak menguntitmu. Kedua, kita bertemu karena takdir. Ketiga, aku bukan lelaki aneh.”

“Terserah kau saja,” ujarku sembari berlalu pergi meninggalkannya karena hujan telah reda.

♧♧♧

Beberapa kali pertemuanku dengan Lelaki Hujan terjadi tanpa sengaja. Anehnya, ia selalu berlindung di bawah payung setiap kali berjumpa denganku. Dari pertemuan itulah aku tahu bahwa Lelaki Hujan itu bernama Marka. Celoteh-celoteh aneh yang dilontarkan Marka, membuatku kerap merasa nyaman. Entah bagaimana caranya, keputusanku untuk tidak menjalin hubungan lagi karena terlalu sering dijadikan bahan taruhan mulai berubah saat aku bertemu dengan Marka.

Seperti saat ini. Saat hujan kembali mengguyur tanah-tanah kering, Marka datang sembari membawa payung berwarna merah marun. Dia mendekatiku sembari berkata konyol, “Anggap saja payung ini seperti bunga mawar. Bukankah kau ingin aku datang dengan membawa bunga mawar seperti laki-laki romantis pada umumnya?”

Sebenarnya, beberapa saat lalu, aku memang pernah melemparkan argumen itu padanya. Aku berkata bahwa dia sangat aneh. Jika seorang laki-laki datang dengan bunga mawar, Marka selalu saja datang dengan membawa payung.

Aku terkekeh sembari menerima payung itu. Kami menyusuri jalan sembari melempar candaan. Terkadang, aku tidak percaya jika Marka berhasil membuat diriku jatuh hati padanya. Lelaki yang aneh.

“Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau mulai jatuh cinta padaku, ya?!” tuding Marka tiba-tiba. Aku menunduk malu setelah ketahuan menatapi wajahnya. Dia memang sering menuduhku jatuh cinta padanya, walaupun itu memang benar adanya. Namun, tentu saja aku akan merasa malu jika mengakui tentang perasaanku secara terang-terangan.

“Bisakah kau diam? Perhatikan jalanmu saja sana! Aku tak segan-segan tertawa kencang, ya, kalau sampai kau terjatuh!”

“Kau jahat, Rain!”

“Memang.”

Seperti biasanya, perdebatan itu akan selesai setelah kami menapakkan kaki di halte bus. Sayangnya, akhir-akhir ini bus seringkali datang terlambat. Berdasarkan rumor yang beredar, bus-bus itu selalu saja terlambat karena beberapa buruh yang berdemo untuk kenaikan gaji. Akibatnya, lalu lintas yang biasanya lancar menjadi terhambat dan berakhir macet.

“Rainey, kalau kau mulai menyukai seseorang, bilang padaku, ya!”

Aku mengernyit. Aku tidak segila itu untuk menyatakan perasaanku secara langsung padanya. Lagipula, aku tidak tahu mengapa tiba-tiba dia mengatakan hal itu.

“Kenapa?”

“Biar aku bisa minta pajak jadian! Haha.”

Aku mendengus kencang sambil memukul punggung Marka dengan tas kecilku. Padahal, dalam hati aku berharap bahwa pertanyaan itu dibuatnya agar ia mengetahui apakah aku sedang menyukai laki-laki lain atau tidak.

Tak lama, bus langgananku telah tiba. Aku melambaikan tangan pada Marka sambil memasuki bus dengan hati berbunga-bunga. Sepertinya, kisah cintaku kali ini lebih baik dari hubunganku yang lain.

Aku kembali menjalani hari seperti biasa. Selalu bertemu dengan Marka di setiap hujan saat pulang dari sekolah. Hubungan kami semakin dekat. Akhir-akhir ini, aku menyukai tingkah Marka yang lebih romantis daripada sebelumnya. Jika pertamakali bertemu ia membiarkan diriku membawa payung sendiri, maka akhir-akhir ini dia memayungiku sembari merangkul tubuhku dengan hangat.

Jujur saja, aku selalu menunggu pernyataan cinta yang tak tahu kapan akan dilontarkan Marka padaku. Beberapa kali pula aku merasa pesimis jika cintaku bertepuk sebelah tangan. Tetapi, melihat keromantisan yang ditunjukkannya, aku yakin bahwa dia juga mencintaiku.

Karena aku merasa dia terlalu lama menyadari perasaannya, maka aku memutuskan untuk melakukan beberapa kode yang pasti lebih mudah dia sadari jika Marka peka sedikit saja. Untung saja hari ini hujan. Cuaca semakin memburuk entah karena apa.

Aku kembali menyusuri jalanan. Namun, setelah setengah perjalanan menuju halte aku tempuh, Marka sama sekali belum datang. Aku mulai jengkel saat ini. Aku berjalan cepat dan melupakan kode-kode yang sudah aku susun dengan baik. Sama sekali tak dapat kuduga, Marka datang dan berdiri di sebelahku. Bedanya, ia hanya membawa 1 payung yang kerap dipinjamkan kepadaku.

Tanpa kata, dia menyodorkan payung merah marunnya. “Pakailah. Mulai saat ini, payung ini resmi menjadi milikmu. Jaga baik-baik, ya.”

“Maksudnya?” tanyaku.

“Kenang-kenangan dariku.”

Aku tercenung. Aku tak paham dengan apa yang dia katakan. Marka menepuk bahuku seraya terkekeh. “Tugasku sudah selesai, Gadis Hujan. Kini, kau sudah bisa jatuh cinta lagi. Sayangnya, aku tak bisa bersama denganmu lagi.”

“Hah?! Kenapa?!”

“Jangan merindukan aku, ya! Ingat ini baik-baik, aku mencintaimu, Rainey!”

Marka mengecup singkat dahiku. Tetapi, sebelum sempat aku membalas perkataannya, Marka berubah menjadi butiran air yang jatuh di tanah, bersatu dengan hujan. Jadi, apakah kisah cinta palsuku kembali terulang?

Aku menghela napas sembari menatap butiran air itu. “Aku juga mencintaimu, Marka! Sangat-sangat mencintaimu.”











Event; CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang