Chapter Nine

Mulai dari awal
                                    

Bibir merah mudanya seolah memohon untuk dicium. Rambut panjangnya diikat ponytail, mempertontonkan lehernya yang menggiurkan. Mengundangku untuk mengisi ruang kosong di lekuk leher itu. Mengecup dan menggigitinya sehingga meninggalkan jejak panas dekat nadinya.

Ia sedikit berkeringat di dahi dan leher. Dua kancing teratas kemejanya terbuka, belahan dadanya mengintip sedikit sehingga aku dapat melihat titik keringat yang mengalir ke sela-sela lembah payudaranya. Tampak seksi dan menggoda. Rok pensil selutut warna hitam kontras dengan kulit putih mulus dan kencang dari kedua kakinya.

Aku bisa membayangkan ketika aku mendudukkannya di pangkuanku dan roknya kudorong keatas sampai batas pinggang dan tanganku mengusap pahanya selagi aku melumat bibir yang ranum itu, ia menghadiahiku dengan desahan dan erangan gairah. Mendadak, organ yang berada dibawah tubuhku menggeliat karena pikiran itu.

Oke, man. Stop it!

Aku jadi terdengar seperti remaja puber yang terangsang untuk pertama kalinya.

"Apa kau selalu naik bus ke kantor?" Tanyaku untuk mengalihkan pikiran.

"Iya, Sir."

Membayangkannya naik turun bus dan berdesak-desakan bersama penumpang yang lain membuatku sedikit tidak nyaman. Aneh. Ada apa denganku? Kenapa bayangan tentang para pencopet dan pejahat seksual yang suka mencari mangsa di dalam bus meresahkanku? Ada rasa ingin melindungi yang kuat keluar begitu saja.

"Mulai besok kau kujemput setiap pagi ke kantor."

Parahnya, aku kaget sendiri bisa bicara seimpulsif ini.

Dan sepertinya, ia terlihat tidak senang. Kerutan di dahinya menandakan hal itu. Tapi, kenapa? Bukankah ini malah menguntungkannya?

"Terima kasih sebelumnya. Tapi maaf, saya masih bisa berangkat sendiri."

Nada bicaranya yang tegas diselimuti sikap segan membuatku makin ingin menekannya lebih lagi.

"Aku tidak ingin dibantah. Tidak bijak jika kau menerima sanksi lagi hanya karena terlambat masuk kantor."

"Apa Anda selalu seperti ini? Memaksakan kehendak pada orang lain?" Dia murka.

"Kau tak suka caraku?"

"Sangat."

"Sekarang belajarlah menyukainya kalau begitu. Kau tak punya pilihan lain, nona."

Matanya melotot terkejut. This is way too fun. Melihatnya terdesak seperti ini malah membuatku makin ingin melumat bibirnya yang membuka karena shock.

"Sa-saya bisa naik taksi."

"Taksi terlalu mahal untuk kantong mahasiswi."

"Anda meremehkan saya?"

"No. Hanya berpikir realistis."

"Anda tak perlu repot, Sir. Lagipula saya sudah biasa menggunakan kendaraan umum."

"Kau menolakku?" Dengan alis terangkat dan suaraku yang sedingin es, ia terlihat salah tingkah.

Suara hembusan nafas berat mengindikasikan bahwa akhirnya ia setuju.

"Baiklah, tetapi dengan syarat."

"..."

"Anda hanya boleh menjemput saya beberapa blok jauhnya dari rumah dan menurunkan saya dalam jarak beberapa meter dari kantor."

Syarat macam apa itu?

Ia menghela nafas tak sabar, "Saya tidak ingin menimbulkan kehebohan yang tidak perlu di daerah rumah saya dengan kemunculan mobil semewah ini menjemput setiap pagi." Menunduk, dia melanjutkan dengan setengah suara, "Lagipula, kita tidak ingin membuat gosip di kalangan karyawan jika mereka sampai melihat saya turun dari mobil Anda di pelataran parkir."

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang