Sugar berlutut di depanku, memasang wajah memelas seperti merasa bersalah. "Nuna--"

"Kau lihat tadi! Aku diperas orang yang mengantarmu! Kau ini bodoh sekali, ya?"

Sugar menekuk wajahnya.

"Aku tidak tahu kau ini makhluk apa. Kau tiba-tiba saja datang dan membuatku bingung juga ketakutan!"

"Sugar tidak jahat, kok--hiks. Sugar anak yang patuh dan baik, hiks!"

Aku mengerjap. Dia... menangis? Sungguhan?

Mendekat, aku pun melihat wajahnya yang super merah. Saat dia menyadari itu, dia pun memalingkan wajahnya sembari mengusap air mata. "Kau sungguhan menangis?"

Kedua bahunya naik turun, suara sengukannya semakin jelas.

Oh, astaga. Aku bukan mengurus seekor kucing. Aku mengurus manusia dewasa dengan perangai bak anak kecil. Pantas saja gajinya tidak realistis, rupanya pekerjaannya juga aneh.

"Sugar janji tidak akan membuat ulah, hiks. Sugar sayang sama Nuna."

Hatiku lumer mendengar ucapannya yang begitu lugu. Dia menyayangiku yang bahkan sudah berusaha untuk membuangnya, membiarkannya babak belur dihajar orang lain. Aku sudah membodohi dan memarahinya, tapi sekarang ia masih bisa berkata dia menyayangiku.

Apakah ini hanya akal-akalannya saja?

Saat ia semakin terisak, aku langsung mengelus kepalanya dan saat itu pula tangisannya mereda. Sugar pun mendongak menatapku, bibirnya masih membentuk busur terbalik, melengkung ke bawah. Dia benar-benar sepolos itu.

"Nuna, masih marah, ya?" Aku menggeleng lesu. Biarlah tidak makan dua hari daripada menjadi orang yang jahat. "Nuna, sayang sama Sugar?"

"Tidak," jawabku datar. Dia semakin melengkungkan bibirnya, siap meledakkan tangis. Namun, sebelum itu, aku langsung mengusap kembali kepalanya kemudian turun ke dagu. Dia mendengkur lagi, lebih kuat dan lebih kuat sampai ia berbaring telentang di lantai dengan sepasang tangan juga kaki yang tertekuk--seperti kucing.

"Nuna, perut," ucapnya serak.

"HAH?"

"Perut...." Dia menunjuk perutnya. "Mau di perut."

"A-apanya?"

"Tangan Nuna...." Dia menuntun tanganku untuk ke atas perutnya. "Dielus seperti waktu pertama kali Nuna bertemu Sugar."

Aku melongo, dia mengingatnya kalau aku pernah mengelus sebentar perut gembulnya itu waktu ia masih berbentuk seekor kucing.

"Kenapa? Apa karena tidak ada lemaknya jadi Nuna tidak mau mengelus?" tanyanya sedih. "Aku juga bingung kenapa aku tidak gendut kalau jadi manusia."

Makhluk yang satu ini sepertinya memang memiliki kekuatan sihir di matanya, apalagi saat matanya membulat dan berbinar-binar. Semua perasaan dan pikiran negatifku seolah pudar perlahan, tergantikan rasa gemas dan tidak tega. Sama seperti sekarang, tanganku otomatis bergerak mengelus perut datarnya. Rasanya aneh sekali, mengelus perut manusia dan perut kucing adalah dua hal yang bertentangan. Ketika mengelus perut kucing, sensasinya adalah semakin gemas dan perasaanmu menghangat, tapi kalau mengelus perut manusia yang rata begini rasanya malah aneh.

"Turun lagi, kemarin Nuna pegangnya ke bawah lagi, lho." Sugar meraih tanganku, menuntunnya agar sedikit turun. Menyadari itu aku langsung mengepalkan tanganku kuat dan menahannya. Dia ini gila!? Di bawah perut itu ada apa, coba!?

"YAK! MESUM!" Aku menyentaknya kuat. Sugar jelas terkejut melihat wajahku yang sudah semerah udang rebus.

"Mesum?"

CATNIPWo Geschichten leben. Entdecke jetzt