Pria itu mengangguk lagi. "Dia menyusup di balik rok seorang ibu-ibu pedagang di pasar," bisik pria itu lagi.
Sontak kututup mulutku dan menoleh pada Sugar yang masih manyun dan memainkan jarinya. Setelah kulihat baik-baik, baru kusadari Sugar memiliki luka memar di bagian kening, pipi bagian atas, dan sudut bibirnya juga berdarah.
Astaga.
"Katanya dia mau mencari dompet Nuna," lanjut pria itu.
"Serius?" balasku.
"Ya, Nona bisa tanyakan sendiri padanya. Untung saja dia bertemu denganku, karena kurasa dia bukan pria normal, tidak mungkin melakukan pelecehan. Jadi, aku mengajaknya bicara dan dia bilang mau pulang."
Sugar memang tidak normal. Dia bukan manusia. Dia kucing. Aku curiga saat di pasar dia berjalan dengan cara merangkak.
"Oleh karena itu...." Pria itu tersenyum dan menggaruk kepalanya lagi. Sampai aku mundur dua langkah, takut kalau pria tua yang satu ini ternyata kutuan karena sejak tadi terus menggaruk kepalanya. "Perjalanannya, 'kan, tidak dekat, ya.... Jadi, aku juga butuh....." Dia menggerakkan telunjuk dan ibu jarinya--bukan. bukan membentuk simbol hati untuk mengatakan 'Saranghae'--melainkan memberi isyarat lain. Meminta upah.
Seketika aku teringat dengan uang yang tersisa di dompet. Sudah menipis dan hanya cukup untuk makan dua hari. Kalau aku memberikan pada pria tua itu, aku bisa terancam tidak makan besok.
Aku mendengkus lelah. Kenapa, sih, kucing satu ini ingin sekali tinggal di rumahku!? Bikin repot saja. Aku tidak masalah kalau wujudnya kucing betulan, tapi kucing yang ini bukan kucing pada umumnya. Suka sekali bikin masalah.
Kesal dan separuh ikhlas, aku mengeluarkan beberapa lembar dari dompet untuk membayar pria tua itu. "Aku hanya ada segini."
Pria itu menghitung jumlahnya. "Wah, Nona, ini tidak cukup. Harga bensin sekarang mahal sekali. Aku tadi juga sempat memberi anak itu minuman."
"Kenapa diberikan minuman? Dia bawa bekalnya sendiri di tas yang dibawa," balasku sentimen. "Aku tidak punya uang lagi. Hanya itu yang bisa kuberikan pada Anda."
"Wah, bagaimana, ya? Aku juga sudah membantunya agar dia tidak dipukuli, lho. Kalau aku tidak datang... mungkin adikmu itu bisa mati dihajar massa!"
Kenapa pula tidak dihajar sampai mati? Biar aku lega dan tidak dicari-cari makhluk aneh ini? Ah, tapi tidak tega juga, sih. Kalau dipikir-pikir dia tidak jahat, setidaknya dalam beberapa hari ini Sugar anak yang manis, tapi... tetap saja aku sekarang sedang dipalak!
"Jadi bagaimana, ya?" Pria tua itu mengusap dagunya sembari melirikku dan isi rumahku yang terpampang lewat pintu.
Aku ini sudah miskin. Masa mau memberikan hal lain yang semakin membuatku miskin?
"Aaaahhh... ya sudah!" Aku mengeluarkan lagi sisa uang yang kumiliki. Habis sudah. Dua hari tidak makan. Mungkin nanti aku minta makanannya Sugar saja. Sial memang aku ini. "Ini. Sudah, ya, aku tidak punya uang lagi." Kuperlihatkan isi dompetku yang melompong lalu ku goyang-goyangkan. "Tinggal sisa dua uang koin ini. Aku ini orang miskin. Mana mungkin punya banyak uang!"
Pria tua licik itu tersenyum menang saat menyambut uang pemberianku. "Baiklah, terima kasih!"
Tanpa menunggu sosok pria tua itu sempurna pergi, aku langsung menutup pintu hingga berdebum nyaring.
"SUGAR!!! KENAPA KAU SELALU MEMBUATKU SAKIT KEPALA!!" Aku menghentakkan kakiku kesal. Sementara Suga bengong dan menelengkan kepalanya ke kanan. "KAU MEMBUATKU HARUS PUASA DUA HARI!"
"Nuna...."
"Kenapa, sih, kau pulang!? Lebih baik kau di pasar saja!" kataku frustrasi dan berjongkok. "Aku belum dapat pekerjaan baru dan kau.... astaga, aku mau makan apa...."
YOU ARE READING
CATNIP
FanfictionRate M [ ON GOING ] Tentang aku dan seorang laki-laki asing yang kutemukan tidur di atas ranjangku ketika aku baru saja pulang ke rumah. Siapakah lelaki itu? Apakah dia seorang maniak atau byuntae yang akan merugikanku di kemudian hari? AU! Fantasy...
4. BAU
Start from the beginning
