Luka yang Menganga

5.6K 359 3
                                    

"Bianca!" teriak Rangga terkejut.

Mereka terlonjak melihatku yang tengah berdiri di ambang pintu. Lemas, tubuh ini bergetar hebat menyaksikan hal yang tidak senonoh di depan mata.

"Gila kalian berdua!" teriakku dengan sisa-sisa tenaga.

Gea terlihat mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Pun dengan Rangga.

Wajah panik yang tersirat di raut Gea, menggambarkan betapa malunya ia. Dengan gelagapan, ia berusaha keluar dari pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sementara Rangga, ia berdiri mematung menunduk tanpa berani menatap.

"Sadar, nggak, apa yang udah lo lakuin?" Aku berjalan mendekatinya yang sudah memakai kemeja dengan buru-buru.

Plak!

Tamparan keras berhasil mendarat di pipinya.

"Lo punya otak harusnya buat mikir! Ngerti, nggak!" seruku lagi. Dengan mendorong tubuhnya keras hingga tersender di dinding. Sementara dia tak melawan, masih memegangi pipinya yang telah mendapat elusan kasar.

"Pergi dari kamar gue! Cowok nggak tau diri!" usirku. Dengan suara gemetar, dada ini berapi penuh dengan kobar.

Tanpa berkata apa pun, ia beringsut keluar dari kamar ini. Lalu menghilang di balik pintu kamar Gea. Sakit.

Sedetik ... dua detik ... rasa perih kian menikam kuat di dada ini. Tubuh serasa tak bertulang. Lemas.

Tak terasa tubuh ini ambruk, bersamaan dengan tangis yang berderai. Meluapkan lava yang amat panas, begitu berdentum tak berbias.

Perih ... rasa ini terlalu sakit untuk kutanggung. Semua harapan sirna, semua mimpi telah lenyap ditelan pengkhianatan yang menjijikan.

Perjuangan indah yang tertata demi sebuah cerita, kini terhapus tanpa makna. Lenyap ... diri ini bagai terjerembab dalam jurang yang begitu curam. Hancur berkeping menjadi sebuah serpihan.

Menatap leptop yang berada di atas nakas, seketika mengingat bahwa aku harus pergi. Aku kembali hanya untuk mengambil benda tersebut, meski disuguhi oleh pertunjukkan yang memuakkan.

Lelaki itu tak ada artinya, dibandingkan dengan masa depanku yang terus berjalan dan tentu bercahaya.

Aku berdiri meski gontai, kaki ini masih bergetar. Menyaksikan bagaimana sesuatu yang berserakan di lantai, cukup menjelaskan bagaimana mereka menikmati sebuah aktivitas yang belum usai.

Mengambil laptop itu, lalu memasukkan ke dalam ransel yang kubawa. Kaluar dari kamar, membiarkan semuanya berserakan tanpa ku bereskan.

Keluar dan menatap pintu kamar Gea lekat. Dalam hati berteriak sumpah serapah bagi mereka. Tangis tak mampu kuhentikan. Begitu sulit menahan.

Tersadar ada Abang ojek yang menungguku di depan. Buru-buru aku melangkah menghampirinya.

Tanpa menghentikan tangis. Aku duduk di belakang driver.

"Jalan ke terminal, Bang," ucapku sengau. Yang langsung mendapat anggukkan dari Abangnya.

Sadar jika aku pasti sudah tertinggal oleh kereta. Kuputuskan pergi dengan menggunakan bus.

Sepanjang jalan, air mata ini terus berderai tanpa henti. Derasnya angin yang menghantam wajah, tak berhasil membuat buliran bening ini mengering pada pipi.

Isakan demi isakan tak mampu kubendung. Inginku berada di tengah keramaian yang riuh. Lalu berteriak demi melepas perih dalam dada. Di mana? Aku harus ke mana?

Move On! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang