4》 Jeremy Kafka Bangsat Indrapraja

43.2K 3.2K 243
                                    

A/n : TRIPLE APDET!

***
Una keluar dari ruangan Jeka dengan perasaan yang teramat kesal. Rasanya pengen banget Una rubuhin atau bakar gedung ini saking kesalnya.

Mba Raisa yang tengah sibuk dengan komputernya, kini mengalihkan pandang ke arah gadis berumur 25 tahun yang menghentak-hentakkan kaki setelah menutup pintu ruangan Jeka.

"Una, kenapa?"

Mendengar suara orang lain di sini, Una refleks melirik ke samping kanan dan melihat Mba Raisa melihatnya penuh tanya. Gadis berambut sebahu ini langsung salah tingkah dan seperti biasa melempar wajah cengengesannya pada perempuan cantik itu.

"Gak apa-apa, Mba," jawabnya singkat dan gak jelas.

"Gimana, keterima?" tanya Mba Raisa lagi yang dibalas anggukan Una. Una dengar, Mba Raisa mengucap selamat dan tersenyum lebar.

Senyum Mba Raisa yang penuh ketulusan dan kecantikan paripurna seolah berkata lain di pikirannya. "Mampus kamu, rasakan nerakamu ini, Una, hahaha!"

Memang semenjak bertemu laki-laki gendut, jelek, bau, dan jerawatan itu ... Una berubah jadi manusia yang sangat negatif thinking.

"Terima kasih, Mba," jawabku sembari berjalan mendekat ke arah wanita hamil itu.

"Sebelum memulai pekerjaan, ada baiknya Mba mengajakmu berkeliling untuk mengenalkanmu pada karyawan yang lain dan untuk mengetahui apa saja yang ada di kantor ini. Hitung-hitung pengenalan agar kamu tahu." 

"Mm, Mba, tapi sebelum itu ... Una mau ke  toilet sebentar. Boleh?"

"Boleh. Toilet ada di sana."

Una menoleh ke belakang mengikuti arah tunjuk Mba Raisa. Ada kiri pintu ternyata.

"Oke, aku izin ke sana sebentar."

"Iya."

Una bergegas ke toilet. Bukan, bukan untuk buang air. Melainkan dia menuntaskan emosinya di sana. Una menyumpah-serapahi Jeka di toilet setelah memastikan tidak ada orang yang ada di dalam sana.

"Dasar laki-laki menyebalkan! Kamu tahu gak? Di mataku kamu tetap laki-laki jelek, gendut, bau, dan jerawatan. Setampan apa pun kamu sekarang ... kamu masih tetap begitu!" omel Una sambil menatap kloset di dalam toilet. Membayangkannya seolah itu adalah wajah Jeka. "Jangan kamu kira kamu bisa menindasku, ya? Liat aja, aku akan berusaha keras dapat uang banyak dan beli perusahaan bahkan mulut kamu! Dasar laki-laki sombong. Kalau bukan karena mama yang banding-bandingin aku sama anak tetangga, najis tahu gak aku kerja di perusahaanmu!" Una mengacungkan jari tengah ke arah kloset duduk dan setelahnya menekan tombol air di belakang sana. Berharap emosinya bisa hilang bersama dengan air yang kini mengalir ke septic tank.

Jika kesal dengan orang, Una pasti akan selalu melakukan hal seperti ini. Marah-marah di kloset dan membayangkan kalau musuhnya adalah kotoran di dalam sana. Setelah puas, dia akan menekan tombol air seolah habis pup. Setelah itu, biasanya emosi Una akan membaik.

Una mengembuskan napas, setelah itu keluar dari sana dan sempat merapikan penampilannya dulu di cermin yang ada di dekat wastafel. Dia menarik kedua sudut bibir ke atas sembari merapikan pakaiannya yang sedikit terlipat lalu dia memilih keluar karena tidak enak pada Mba Raisa yang mungkin menunggu lama.

Hari ini baru permulaan. Mba Raisa mengajak Una pergi dari satu ruangan ke ruangan lain. Hanya untul mengenalkan diri secara singkat sebagai pengganti Mba Raisa.

Una kagum---sekaligus minder---karena Mba Raisa tampak sangat dihormati di sini. Sepertinya, Mba Raisa gak pernah merasakan punya haters. Sepertinya, hidup Mba Raisa sangat sempurna.

Hate You, Mister!✔Where stories live. Discover now