"Alhamdulillah Tata sehat. dan masalah pendidikan Tata sudah selesai dan sekarang sudah bekerja kek."

"Kerja dimana?" Namanya Agnes, putri dari Diana, istri papanya yang bisa dibilang sebagai saudara tirinya.

Grahita tersenyum tipis, "Dirgantara's Restauran."

Agnes mengangguk ditempatnya. Tatapan menilai masih kentara di wajahnya, "Kukira kamu sudah punya restoran sendiri."

Fu*k!

Ingin sekali Grahita menyumpal mulut berbisa milik Agnes itu. Sejak dulu mereka tak sejalan. Agnes kerap kali berkata pedas dengan dirinya, tak hanya itu, Agnes juga kerap kali iri dengan perlakuan sang eyang kepada dirinya.

Memangnya dia siapa? Darah Pramonoadmodjo saja tidak ada dirinya? Begitu batin Grahita ketika Agnes begitu mendamba ingin di hormati bak keturunan keluarga Pramonoadmodjo juga.

"Kukira kau tau Agnes, semua butuh proses, bukan sekedar berbicara manis saja dan menadahkan tangan untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah." Perkataan Grahita barusan membuat Agnes terdiam. Sial. Grahita memang pandai membuat dirinya tak berkutik sama sekali. Sama saja Agnes di sindir jika dirinya hanya mampu merengek dan merengek. Hanya bisa meminta sesuatu tanpa usaha yang berarti. Berperan bak peri yang nyatanya perlahan menggerogoti harta milik kakeknya itu. Benar-benar ular. Begitu batin Granita.

"Sudah sudah. Lebih baik kita makan." Ucap Sadewa Pramonoadmodjo yang merupakan ayah biologis Grahita. Grahita tak kaget dengan tindakan sang papa. Dirinya mungkin saja tak akan dicari sekalipun menghilang selamanya karena Grahita tak ubah hanyalah anak kandung yang tersisih, tergantikan rubah yang menjelma sebagai permata.

Grahita lalu duduk dan menyantap hidangan makan malam. Pembicaraan makan malam ini banyak di dominasi oleh sang kakek. Sesekali Granita akan menimpali jika itu perlu dilakukan, sisanya menjadi pendengar setia.

Selesai makan, Grahita tak langsung pergi. Perempuan itu masih saja setia disana, menunggu aba-aba eyangnya.

"Kalian jangan ada yang beranjak terlebih dahulu. Eyang ingin membicarakan sesuatu, mengenai investasi eyang."

Diana dan Agnes yang awalnya nampak malas untuk mendengarkan kultum eyang lantas berbinar ketika mendengar kata investasi. Hal itu membuat Grahita menatap mereka tak suka. Memang bibit ular sudah ada sejak dulu.

"Apartemen yang ada di kawasan Jakarta Pusat sama beberapa properti yang ada, eyang serahkan ke Grahita. Kamu berhak untuk mengelola harta itu nduk. Besok juga eyang bakal kirim mobil baru, eyang rasa BMW itu sudah selayaknya di garasikan."

Diana alias ibu sambung Grahita mendengus tak suka ketika yang di obrolkan justru harta yang akan di serahkan ke Grahita. Ia kira harta sang mertua akan di bagi rata di sana, tetapi ternyata justru di berikan kepada anak sambungnya itu.

Grahita tersenyum, "Terima kasih eyang, tetapi eyang tak perlu repot-repot mengirim Tata mobil baru. Biarpun mobil itu sudah buluk, tetapi ada banyak kenangan yang Tata kenang bersama oma dan Almarhum opa disana."

Tuan Soeroso seketika terdiam namun kemudian tersenyum, "Tidak apa-apa. Anggap itu hadiah eyang atas kelulusanmu."

"Baiklah, kalian boleh meninggalkan meja makan ini kecuali Tata dan Sadewa." Lantas mereka yang tak disebut namanya beranjak sambil memasang muka masam, utamanya Diana dan Agnes yang begitu tak suka dengan Grahita.

"Apa kamu nyaman tinggal di Paris?" Tanya tuan Soeroso.

Grahita terkekeh pelan, "Sangat nyaman, tapi karena oma masih hidup dan menanti Tata di sini, Tata mengurungkan niat menetap disana lebih lama. Di sini ternyata masih ada orang yang menanti Tata dengan tulus di Indonesia."

Aksara Dan Suaraजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें