V. Jeno dan Jaemin

Mulai dari awal
                                    

"Maksudmu menghabiskan hari libur seperti biasa?" Mark tertawa, membiarkan sang kekasih mencium punggung tangannya.

Donghyuck hanya mengangguk, tubuh mendekat sampai ia bisa merasakan hembusan napas Mark menerpa puncak kepalanya. Dia mendesah lega, damai.

"Aku masih rindu."

Mark tertawa lagi, kali ini mengeratkan pelukan. "Miss you too."

.

.

.

Jeno menoleh, mengamati pemandangan di balik jendela kafe. Warna jingga tumpah di atas langit, lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Donghyuck mengikuti arah pandang temannya, melihat ramai pejalan kaki melewati mereka. Ada rasa khas tiap kali dia memandang kosong ke arah jalanan, yang dulu dia sering lakukan ketika tidak memiliki kegiatan apapun. Minum segelas coklat hangat, jemari bertautan manis dengan jemari sang kekasih di atas meja.

"Jadi, bagaimana?" tanyanya pelan, takut.

Menoleh, Jeno menatap temannya. Wajah pria itu terlihat lebih tenang, membuat Donghyuck sadar bahwa mereka memang sudah tumbuh menjadi dewasa.

"Tidak ada. Tidak ada yang bisa atau harus aku lakukan."

Namun, mendengar suara sengau Jeno membuat Donghyuck marah. "Bullshit. Kau bisa melakukan sesuatu! Semua orang tahu kalian saling menyukai. Optimis sedikit! Berusaha sebelum menyerah. Paling tidak, kau tidak akan menyesal nantinya."

Oh, betapa mudah ketika memberikan solusi pada orang selain diri sendiri.

"Apa Jaemin pernah membahas perasaan kalian? Pernah mengatakan sesuatu tentang kau yang bilang suka padanya saat kelas sebelas? Kalau dia tidak mengatakan apa pun, kau berhak mencoba, 'kan?"

Donghyuck sangat menyayangi Jeno. Mungkin lebih dari perasaan cintanya pada Mark. Sebab begitulah perasaan pada keluarga. Perfectly accepting the imperfections. Donghyuck belajar hal ini ketika dia cemburu buta pada sahabat Mark di Kanada.

Sekarang, Jeno tidaklah bahagia. Sejak kelas sebelas, dia lebih pendiam. Lebih banyak mengamati. Seperti Jaemin yang memiliki panggilan 'Bola Pantul' menjadi 'Hantu Perpustakaan'. Padahal menurut Renjun dan Mark, Jeno termasuk anak yang optimis dan selalu bersemangat.

"Cobalah. Demi aku?"

Jeno menurunkan pandangan, menatap Donghyuck yang menangkup kedua tangannya penuh keyakinan.

"Kalau kencan Jaemin nanti tidak berakhir ke mana-mana, aku akan mencoba."

Jawaban itu menghasilkan senyuman lebar dari Donghyuck.

.

.

.

Helaan napas yang menggema di dalam kamar membangunkan Jeno. Dia menatap langit-langit yang gelap, berpikir keras mengenai apa yang harus dikatakan.

"Tidak bisa tidur?" akhirnya dia bertanya.

"Hm," jawaban dari ranjang di sampingnya terdengar.

Penasaran, Jeno berbaring menghadap ke samping, mendapati Jaemin yang sudah sejak tadi berbaring menghadapnya.

Padahal mereka selalu tidur di ranjang yang sama saat menginap. Namun sejak Jeno mengungkapkan perasaannya, dia sendiri yang memilih untuk memberi ruang bagi Jaemin. Entah di rumahnya atau di rumah lelaki itu, dia akan menggelar kasur lantai dan tidur di sana.

Jeno sama sekali tidak mau memberatkan atau membuat tidak nyaman sahabatnya. Dia ingin menunjukkan pada Jaemin bahwa tidak ada yang harus lelaki itu takuti.

Bye My FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang