Lalu yusuf ditengah perjalanan bertemu seorang wanita tua yang berpakaian kebaya hijau lalu ia mengatakan

"perjanjian durung lunas telu jiwo maneh seng kudu di pateni kanggo ngelunasi janji." (Perjanjian belum lunas tiga jiwa lagi yang harus dibunuh buat melunasi janji)

Yusuf bersimpuh kepalanya menunduk seperti seorang yang menyembah. Tak salah lagi ia adalah utusan kanjeng nyai bernama mbok sri. Mbok sri duduk dengan anggun disebuah batu besar dan sosok mbok sri menghilang dengan senyuman. Yusuf tak menyangka ibu raka dan nimas adalah tiga korban terakhir setelah bapaknya yusuf dan ayahnya nimas sendiri tapi siapa dua jiwa sebelumnya dan siapa yang melakukan perjanjian ini. Dan terlintas dipikiranya bahwa jiwa yang menjadi korban merupakan darah keturunan dari yang melakukan perjanjian.

"Berarti kalo benar ayah menjadi korban ayah masih satu darah keturunan dengan ayahnya nimas." Yusuf berkata dalam hati sambil terus memanggil nama nimas.

*****

Ku buka kelopak mataku. Aku berada di tempat berbeda dari yang tadi. Kini aku berada di sebuah tempat indah disekelilingnya terdapat tembok besar berarsitektur jawa. Aku duduk bersimpuh menghadap lurus kearah singgasana nan megah tak ada seseorang pun yang duduk diatas kursi tersebut. Mataku mengamati sekeliling hening dan sejuk yang aku rasakan. Kicauan burung kecil membuat suasana semakin tentram. Tak pernah kurasakan ini sebelumnya. Tak kusadari aku mengenakan pakaian putih seperti kain mori yang terbalut di badanku. Dengan rambut panjangku yang terurai.

Seorang wanita datang dari sebuah pintu dengan ukiran jawa. Wanita itu bersanggul dengan mahkota diatas kepalanya. Ia anggun mengenakan pakaian putih suci ditambah harum bunga melati yang menyertai. Dengan langkah kaki yang lembut ia duduk di singgasana itu. Wajahnya menghadap kearahku aku merasa sangat malu. Ia cantik jelita aura yang ter pancarkan sangat positif.
Yang terlintas dipikiranku beliau adalah "kanjengnyai" nama yang pernah dikatakan oleh yusuf waktu itu.

"jeneng mu nimas lisa purwanto yo, jeneng seng apik kanggo awak mu seng ayu lan waninan." (Namamu nimas lisa purwanto ya nama yang bagus buat kamu tang cantik dan pemberani) ucap kanjeng nyai dengan lemah lembut.

Ternyata kanjeng nyai telah mengetahui namaku lalu apa yang ingin dia katakan.

"Panjenengan kados pundi ngertos asma ndalem?" Tanya diriku.

secara sponta aku fasih berbicara dengan bahasa krama. Kanjeng nyai membalas dengan senyuman yang manis.

Entah ada angin apa Mataku mulai buram tak melihat setitik cahaya apapun. aku mulai membuka kedua mataku. Tepat didepanku ada seseorang menghadap kebelakang. Saat ia membalikan badan. Ternyata dia yusuf. Dan aku tidak berada ditempat yang tadi melainkan di sebuah gubuk reot. Wajah yusuf semakin pucat ditanganya terdapat sebuah pisau yang terlihat tajam. Aku mengira ia ingin membuka ikat tali ini. Namun pisau itu di arahkan di mukaku. Hidung,mata dan mulutnya mengeluarkan darah kulitnya wajahnya mengelupas semakin matanya melotot kearahku semakin banyak darah yang dikeluarkan hingga kelopak matanya sobek dan kedua bola matanya copot dan jatuh ketanah. Badan nya semakin membesar wajahnya semakin tak karuan darahpun keluar disekujur tubuhnya.

Kini ia bukanlah yusuf melainkan makhluk bertubuh besar dengan wajah yang hancur dan memunyai taring serta lidah yang menjulur keluar mata yang tadi lepas sudah terpasang berwarna merah melotot. Makhluk itu semakin mendekat sambil menudingkan cakarnya.

"Aaaaaaaarg tooooolongggg." Aku berteriak kencang.

Saat ia mulai mengangkat leherku yang membuatku tak dapat berteriak. Genggamanya semakin kuat lidahnya yang penuh dengan air liur menjulur ke rambut dan mukaku. Aku terus mengingat allah dan berzikir dalam hati sambil memejamkan mata. Lalu tak selang beberapa lama yusuf datang membawa keris dan membelah tubuh makhluk tersebut dengan sekali pangkas. Tubuhku jatuh ke tanah melihat darah di mana mana dan usus makhluk itu menjalar tak karuan membuat ku lemas. Tangan yusuf membantuku berdiri kutolak dan aku berusaha untuk lari sekencang mungkin menuju keramaian. Karena pikiranku masih trauma. Aku sampai di depan rumah nenek. Masuk dan mengunci pintu. Duduk di sofa menghadap jendela. Disamping sofa ada kursi goyang. Yang bergerak aku mulai panik. Bukanya hantu melainkan kakek duduk di kursi dengan muka pucat.

NANTANG URIPWhere stories live. Discover now