Rumah (jaemren)

3.3K 362 48
                                        

Dingin, gelap.

Pemuda itu memeluk kedua kakinya di atas kasur, membuat tubuhnya tampak lebih mungil. Tampak lemah dan rapuh.

Tangannya hendak menyalakan penghangat ruangan, namun egonya menolak. Ia hanya menginginkan kehangatan dari sesosok pemuda yang tak kunjung kembali sejak tiga hari lalu.

Mata serupa rubah itu menerawang. Sepertinya tidak ada hal baik yang terjadi selama tiga hari itu, sejak adu mulutnya dengan pemuda yang selalu ia rindukan, Na Jaemin. Bukan pertengkaran besar, namun menyinggung perasaan pemuda itu yang begitu menyayangi wanita yang telah membawanya ke dunia.

Dengan mata masih menerawang, Renjun meluruskan kakinya. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Jika saja ia tidak mengusik diamnya Jaemin di muka jendela tiga hari lalu, mungkin pemuda itu kini sedang berada di sampingnya. Jika saja ia tidak membandingkan beratnya masalah miliknya dengan kekasihnya itu, mungkin Jaemin tidak menolak untuk menetap dan memberi kehangatan pada pemuda berdarah China itu.

Tiga hari tanpa seseorang yang dapat diajak berbagi di tengah malam seperti ini, rasanya hampa. Hidupnya terasa semakin runyam dengan banyaknya tenggat waktu pekerjaan yang menghampiri, namun tak ada yang menyemangatinya untuk bangkit.

Mulut Renjun memang diam, tetapi hatinya sungguh-sungguh berteriak agar pemuda dengan senyum cerah itu kembali pulang dan berbagi kisah dengannya.

Merasa perbuatannya sia-sia, pemuda bertubuh mungil itu menyeret punggungnya dari sandaran kasur, membuat tubuhnya kini berbaring dengan selimut. Angin malam yang menyusup lewat jendela di dekat kakinya tak ia hiraukan. Hanya lampu tidur remang-remang yang menyala sekarang. Ia menoleh ke kanan, kemudian mendekap erat-erat sebuah guling yang ia harap akan mengisi kekosongan hatinya untuk malam ini. Kedua mata rubahnya ia paksakan agar terpejam.

Baru saja pikirannya hendak masuk ke alam mimpi, terdengar bunyi gerisik aneh dari arah luar rumah diikuti decitan pintu yang ia kenal betul sebagai pintu depan rumah. Dengan mata masih terpejam, kedua alis Renjun terangkat, diikuti telinganya berusaha menajamkan pendengaran. Ia tak salah dengar bahwa ada sesuatu di luar kamarnya yang sedang bergerak-gerak. Pencurikah?

Renjun tak merasa begitu. Tak ada hawa bahaya yang ia rasakan. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menggerakkan tubuhnya dan memeriksa ke luar kamarnya yang nyaman ini?

Sepertinya tak perlu. Siapapun orang itu tadi, sudah membuka pintu kayu yang mengurung Renjun di kamar itu.

"Sudah tidur ternyata."

Tubuh Renjun masih belum bergerak dengan posisi membelakangi orang itu, namun matanya kini membelalak. Ia kenal betul suara orang yang baru datang itu. Sosok yang sejak tadi ia rindukan kehadirannya.

Hawa hangat menguar di dekat punggung Renjun, pertanda sosok itu, Na Jaemin, sudah berada di belakangnya. Ia kemudian duduk di sisi lain kasur dengan perlahan, dengan maksud tak ingin mengusik lelap kekasihnya.

Kedua mata Renjun refleks menutup ketika sebuah telapak tangan besar menepuk-nepuk puncak kepalanya, kemudian menyisir sebagian poni yang jatuh menutupi mata.

"Astaga, tubuhmu dingin sekali." Telapak tangan kanan itu masih menyusuri kepalanya, namun kini dengan maksud mengecek suhu. Tangan kirinya kemudian menyentuh lengan Renjun, membuat hangatnya tangan itu terasa kontras dengan kulit Renjun yang sudah mendingin.

"Kenapa penghangat ruangannya tidak kau nyalakan, ya ampun." Jaemin menjauhkan kedua tangannya, hendak menyalakan alat itu.

Merasa kehangatan dari tangan Jaemin hilang, tangan Renjun dengan gesit segera menangkap kembali tangan yang menjauh itu. Jaemin terkesiap.

Collections | Jaemren, NohyuckWhere stories live. Discover now