1

21 0 0
                                    

Hujan deras yang turun subuh tadi melembutkan tanah yang dipijaknya. Sisa air yang menempel di dedaunan, jatuh satu-satu ketika dia menyibakkan rumpun pakis untuk membuka jalan. Sesekali disekanya wajah yang ditetesi air dari jemari daun sawit. Perlahan sepatu botnya memberat oleh tanah yang menempel setiap kali dia mengayun langkah. Dia berhenti berjalan, mengikis tumpukan tanah di telapak sepatunya, dengan parang yang selalu dibawanya.

Sebenarnya dia harus buru-buru, sebab dia sudah hampir terlambat. Tapi egrek bergolok tajam yang tersampir di pundaknya, membuatnya tak berani berjalan cepat-cepat. Jalan menurun dan becek membuatnya harus sangat hati-hati, agar egrek yang seharusnya dipakai untuk memotong tandan sawit itu, tidak sampai meluncur memutuskan batang lehernya.

Dia mulai terengah-engah ketika perjalanannya hampir sampai ke dasar jurang. Bukan karena kelelahan berjalan, tapi karena dia takut tergelincir dan terkena egrek. Setahunya, belum pernah ada buruh pengegrek yang tetap hidup setelah lehernya terkena egrek. Semuanya mati, entah dengan leher menggelinding, atau dengan luka sayatan di leher.

Dia sendiri dulunya adalah anak seorang pengegrek. Bapaknya berangkat bekerja setiap pukul lima pagi, persis seperti yang dikerjakannya sekarang. Berjalan berombongan bersama kawan-kawannya, lalu kemudian berpisah jalan, ketika masing-masing sudah harus menuju ke petak-petak sawit yang menjadi tugasnya masing-masing.

Biasanya jam empat atau jam lima sore, Bapaknya sudah ada di rumah. Duduk di teras rumah setengah beton yang disediakan perkebunan, sambil minum teh pahit yang disediakan Ibunya. Kadang ada singkong rebus atau pisang rebus, yang didapat dari halaman samping rumah. Seperti orang-orang afdeling waktu itu, sore menjelang malam dilewatkan dengan mengobrol antar tetangga. Tak ada kebiasaan membaca koran, sebab tak ada orang yang sanggup berlangganan. Juga tak semua orang memiliki televisi untuk ditonton. Di masa itu, listrik hanya menyala mulai jam tujuh malam sampai jam sebelas malam.

Tetapi suatu hari Bapaknya tak kunjung pulang. Padahal mata hari sudah tenggelam. Ibunya sangat gelisah dan mulai menanyai satu per satu kawan-kawan Bapaknya yang berangkat bersamanya di pagi hari. Semua kaget dan panik. Mereka lalu melaporkan ke mandor satu, ada karyawan yang belum pulang. Malam itu juga semua lelaki menyalakan obor, membawa senter besar inventaris afdeling, berjalan dipimpin mandor menuju lembah tempat Bapaknya mengeggrek hari itu.

Sebentar saja setelah tiba di jurang itu, para pencari langsung menemukan Bapaknya. Tergeletak berlumuran darah. Rupanya ketika sedang mengegrek, tandan sawit berduri tajam yang beratnya puluhan kilo itu, jatuh menimpa kepalanya. Bapaknya masih hidup ketika ditemukan, tanpa erangan kesakitan. Orang-orang langsung menggedor rumah Mantri perkebunan, mencari pertolongan pertama. Mandor satu meminjam pick up bertenda milik perkebunan, agar Bapaknya bisa dibawa ke rumah sakit yang jauhnya lima belas kilo meter. Namun begitu Bapaknya diangkat ke atas pick up, maut langsung mencabut nyawanya.

***

Dia masih kelas limaSD waktu itu. Yang dilakukannya cuma menangis meraung-raung dekat Ibunya yang berulang-ulang pingsan. Dia anak paling tua dan masih punya tiga orang adik.

Sebulan setelah kematian Bapaknya, Ibunya bekerja sebagai penggaruk – pembersih tanah di sekitar pohon sawit-. Dia berhenti sekolah, melepaskan cita-citanya menjadi mandor satu yang menaiki motor besar, lalu mulai bekerja menjadi penjaga bola di lapangan tenis milik perkebunan, tempat para staff menghabiskan sore mereka. Setelah badannya semakin besar, dia mulai ikut menjadi kuli bongkar pupuk atau beras milik perkebunan, tapi cuma sebentar, karena dia kemudian memilih untuk mengekor pengegrek, mengumpulkan brondolan sawit yang jatuh dari pohon. Ketika telah merasa cukup bertenaga, dia mulai belajar mengegrek. Sebenarnya dia takut sekali, tapi hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukannya, agar bisa meringankan beban Ibunya memberi makan adik-adiknya.

Mengegrek bukan pekerjaan yang mudah. Bambu sepanjang tiga meter lebih, dengan golok panjang diikat di ujungnya itu, akan bergerak tak tentu arah, jika kedua tangan tak mampu mengendalikannya. Mengambil tandan sawit juga tak gampang, sebab cabang-cabang sawit yang berduri sangat tajam itu, harus dipotong lebih dulu, agar golok bisa mencapai tandan sawit. Tertimpa cabang sawit, tertimpa tandannya, sampai tanpa sengaja golok terlepas dari ikatan dan menimpa tubuh pengegrek, itulah semua risiko yang mungkin dialami oleh pengegrek.

Dia sebenarnya sering merasa takut, seperti sekarang ini. Bukan saja takut tertimpa sawit, tapi juga takut pada hantu-hantu yang didengarnya menghuni jurang-jurang yang lembab dan gelap ini. Apalagi untuk mencapai jurang ini, dia harus melewati dua areal pekuburan, salah satunya menjadi tempat Bapaknya dimakamkan. Ngeri rasanya. Tapi dia tak punya pilihan.

Dia sudah sampai di dasar jurang sekarang. Diletakkannya rantang pelastik berisi bekal makan siangnya, lalu menanggalkan egrek dari bahunya yang kelelahan. Rasa takut membuatnya mengedarkan pandang ke sekitarnya. Berharap tak menemukan kepala tanpa tubuh terbang di antara batang-batang sawit. Setiap hari dia memang merasa takut. Takut hantu, takut ular, takut monyet. Dia benci pada orang-orang jahil, yang mengumbar cerita tentang seramnya jurang-jurang perkebunan ini.

Dia mulai bersiap. Diangkatnya egrek, mendekati sebatang pohon sawit. Mengerahkan tenaga untuk memotong sebuah dahan yang menutupi tandan buahnya. Terdengar bunyi krakk ketika dahan itu patah dan terjuntai. Dipotongnya sekali lagi dengan egreknya, lalu gesit menghindar ketika dahan itu akhirnya jatuh berdebum. Tinggal satu dahan lagi. Diarahkannya egrek dan mulai memotong, ketika tiba-tiba darahnya tersirap. Dari balik dahan dia melihat sepasang mata kecil, menatap persis ke arahnya. Dia melompat sambil berteriak kaget, meninggalkan egreknya bergantung di dahan.

Terdengar bunyi desisan, lalu terlihat seekor binatang berwarna kehitaman melompat turun dari pohon sawit. Dia kembali melompat kaget, ketika sebentar kemudian menyadari, bahwa itu hanya seekor trenggiling.

Dia memaki-maki sebentar trenggiling yang entahsudah lenyap ke arah mana, lalu tertawa mengingat betapa tololnya dia tadi.Diteruskannya mengegrek, sampai rasa lapar akhirnya tiba. Di bawah sebatangPohon Sawit ia duduk mengasoh, membersihkan tangan dengan air hujan yangtertahan di daun pakis. Setelah berdoa, lahapdisantapnya nasi dan orek tempe, masakan Ibunya tadi pagi.**   (selesai) 

Pada Jurang Dan Pohon SawitWhere stories live. Discover now