"Dia sekarat, Haricatra," demikian Soni menggenapi ngilu yang menyerang dada.

Haricatra mengejar. "Sakit apa?"

"Kanker SALCON."

Nyaris berhenti berdetak jantung anak itu.

Tak ada setitik suara pun dari lantai bawah yang bisa menembus lorong kaca itu. Suasananya begitu hening. Segala hiruk pikuk yang berseliweran di bawah laksana sebuah film bisu yang abstrak. Masing-masing orang punya beban, punya keluhan, punya penyakit. Bahkan untuk manusia sekelas Soni yang menguasai pasar obat di seluruh negeri, kepala masih saja jadi masalah.

"Hal yang paling menyakitkan adalah," pria itu menyandarkan lengannya ke pembatas logam di tepi lorong, mengunci matanya di wajah seorang bocah yang terbaring tanpa daya di antara pasien lain, menjaga rasa tatapannya seprivat mungkin. "Kamu punya segalanya lalu kamu kehilangan segalanya."

Ingin lidah Haricatra berkata sesuatu, namun dia lagi-lagi memilih diam. Fakta yang kini berlaga di hadapannya masih menyisakan kejut yang aneh.

"Jika kamu diberi kesempatan memilih," Soni menggosok-gosok jam tangan digital di lengan kirinya. Tampilan layar mungilnya berpendar, menunjukkan angka 14:15. "Mana yang kamu pilih, Haricatra: kematian atau derita?"

Dengan sudut matanya, Haricatra mengintip jam tangan itu lekat-lekat. Akhirnya dia tahu saat itu pukul berapa. Gila saja. Dia pingsan hampir enam belas jam. Tak terbayang berapa dosis obat bius yang dijejal ke aliran darahnya. Perawat psikopat!

"Yang mana?" ulang Soni.

Anak itu kaget. Dipindainya sekujur lengannya yang kaku dengan tatapan mata yang begitu lemah.

Soni menunggu sembari mendongakkan kepala. Diambilnya napas panjang, mengusir sesak yang mencekal kerongkongan.

"Saya tahu bagaimana rasanya mati."

Aliran napas Soni tersedak. Bocah itu dipandanginya lekat-lekat. "Mengesankan," komentarnya.

"Saya merasakan rasa sakitnya berkali-kali."

Jemari Soni melompat-lompat risau di tepi bingkai kaca. Cincin bermata biru di jari manis kanannya berkilau, seperti mata seekor gurita yang tentakelnya melambai-lambai. "Lalu," sambungnya. "Pernahkah kamu membayangkan rasa perih akibat kehilangan orang-orang yang kamu sayangi?"

Haricatra terpukau. Pertanyaan aneh itu tepat meluncur tatkala dilihatnya seorang pria tua terbatuk-batuk di salah satu deretan pasien. Seorang perawat yang sepenuhnya diselubungi pakaian anti-kontaminasi sedang menanganinya. Tubuh pria itu kurus kering. Wajahnya tirus seperti jeruk kering yang airnya telah terperas habis. Perawat yang diselubungi pakaian ala astronot itu menyuntikkan sesuatu ke balik lengan pasiennya. Terlambat. Dari mulut lelaki kurus kering itu terciprat darah merah yang memerciki lantai dan bantal. Matanya melotot, seolah bertatapan langsung dengan kepribadian maut.

Segera Haricatra menutup matanya, lalu berpaling ke wajah Soni. Pria itu sedang menanti jawabannya dengan wajah datar. Pemandangan mengerikan seperti itu pastinya sudah biasa dilihatnya.

"Saya tidak sanggup melihatnya, Pak."

Soni tersenyum, seperti sebuah tanda kepuasan. Didorongnya punggung Haricatra, dan mereka beranjak lagi. Ujung lorong makin dekat. Ada sebuah pintu elektronik putih yang tertutup rapat dan hanya bisa dibuka dengan sidik jari. Kesan yang benar-benar futuristik.

"Kematian adalah akhir kehidupan setiap orang," kata-kata Soni mengayun pelan, seirama langkahnya. "Tetapi banyak hal lain yang lebih buruk daripada kematian. Kadang orang lebih memilih mati daripada menanggung derita, Haricatra. Orang bilang, kehidupan kadang lebih pahit daripada mati."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Where stories live. Discover now