"Historix, laki-laki yang memperjuangkan ilmu pengetahuan. Tanpa kerja kerasnya mereka dan juga kita semua tidak akan merasakan apa itu belajar seperti pada bangsawan. Jangankan itu, bahkan kita akan jadi manusia buta huruf seumur hidup," jelas Mrs Sydney padaku.

Sebelas? Bukankah jumlah muridnya dua belas? Apakah aku harus bertanya padanya? Informasi yang terlalu cepat, bahkan aku baru mengetahui jika Historix adalah nama orang!

Belum sempat suaraku keluar. Pekikan dari seberang sana mengganggu suasana. Mrs Sydney bertindak seperti ibu, dia memegang pundakku. "Ada sesuatu, kamu tunggu di sini."

Rintihan dari seorang gadis terdengar baik olehku. Entahlah apa yang terjadi, aku tidak peduli—karena mereka pun sama tidak pedulinya padaku—sudah ada Mrs Sydney yang menangani. Aku kembali melihat patung-patung unik.

Patung batu yang diukir sedemikian rupa, menyambung perasaan bagi kesebelas siswa. Historix, anak laki-laki yang masih kecil tetapi berjasa. Aku tahu menyentuh apa pun di museum tidak diperkenankan. Namun ada dorongan kuat dari hati pada tangan untuk menyentuh batu-batu ukir itu.

Patung Historix yang aku sentuh, begitu keras tetapi hangat mengalir ke hati. Bisik-bisik dari semua penjuru terdengar padaku. Ini menyebalkan. Akhirnya aku mau tidak mau melepaskannya.

oOo

Semua data sudah kucatat, biarlah Waner yang membuat laporannya. Dia harus menanggung tugas ini! Seenaknya sakit dan membuatku sendirian. Sejak aku memasuki bus, Mrs Sydney tidak lagi terlihat.

".... Aku kasihan pada gadis kelas sebelah. Bagaimana bisa salju ada di dalam ruangan dan membuatnya tergelincir?" Sayup-sayup kudengar suara tersebut, semakin lama semakin keras.

"Hei, tidakkah kamu berpikir Rachie yang melakukannya? Memang seharusnya dia tidak perlu ikut."

Aku bergeming. Semua hal yang tidak logis terjadi disangkutpautkan denganku seperti biasanya. Bahkan lupanya penjaga sekolah yang memegang kunci kelas pun pernah mereka sangkutkan padaku. Menyebalkan, bukan?

"Permisi, bolehkah aku duduk di sini?" Suara serak yang begitu dekat, tidak dikenali olah otak dan aku hanya membalasnya dengan anggukkan.

Suara mesin lalu mengikuti, kendaraan yang ditumpangi agak bergetar, pertanda mesin memanas. Namun, tidak mengerti kenapa enggan rasanya hati meninggalkan tempat ini.

Aku membuka mata dirasa mobil mulai berjalan. Pemandangan putih, monoton. Memang apa yang diharapkan dari awal musim dingin? Natal masih lama. Pantulan mantel merah dari kaca membuatku heran. Itukah orang yang meminta izin padaku?

Aku diam-diam meliriknya. Hidung mancung dengan bola mata hijau seperti daun di musim panas. Kulit pucat menyatu dengan musim dingin. Serta rambut pirang yang begitu nyentrik layaknya warna pisang segar di supermarket. Aroma kayu manis tiba-tiba tercium oleh hidungku. Entah kenapa membuatku lapar akan kue. Hey, Rachie, sadarlah! Orang di sampingmu bukan makanan. Aku lalu geleng-geleng, membenarkan apa yang ada di dalam benak.

"Apa ada yang salah dalam wajahku?" ucap laki-laki tersebut dan bodohnya aku pun menggangguk.

"Haha." Kedua mata itu bersembunyi. Senyum merekah membuat pipiku merona. Tidak pernah ada orang yang bertingkah aneh seperti ini. Sebelum ia melanjutkan, "Historix, itulah namaku."

"Hah?!"

Butuh beberapa detik otakku nyambung dengan kenyataan. Butuh lima menit pula aku meratapi diri ketika satu bus menertawakan, tidak ada Mrs Sydney membuat mereka lebih leluasa tertawa. Nama Historix jelas masih menempel dalam benakku. Itu patung. Bukan manusia.

"Kenapa kamu berteriak? Seperti baru lihat batu bicara saja," ledek laki-laki tersebut padaku. Dan jelas kamulah batunya, Historix.

"Maaf, aku baru sadar ada orang di sebelahku," balasku datar. Aku memilih membuang muka merah padam. Hati masih berdegup-degup, oh siapa pun tolong buat hatiku tenang. Jangan pinta dia memelukku, karena hatiku akan menjadi tidak waras.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 21, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TUGAS WATNWhere stories live. Discover now