Tiga Belas

122 14 1
                                    


"Duduk, dulu, Na." Palupi menarik kursi untuk Aruna kemudian memasuki ruangan yang bagian atas pintunya bertuliskan staf only.

Lewat tatapannya, Aruna mengkuti kemana Palupi pergi. Dia beralih memperhatikan sekelilingnya setelah tubuh jangkung Palupi menghilang di balik pintu. Di sisi kanan sebuah mobil dengan bagian kap terbuka. Dua orang mengenakan seragam warna hitam dengan garis merah di bagian lengan dan dada tampak serius. Entah sedang membicarakan apa. Satu mobil berada di sisi lain. Salah satu mekanik berada di bawahnya. Dan sebuah mobil tidak jauh dari hadapannya tidak sedang diapa-apakan.

Tidak banyak montir yang tampak. Hanya ada lima. Suasananya juga tidak terlalu ramai. Tidak seperti bengkel tempat Aruna dan Lintang biasa menyervis mobil. Bengkel Palupi terkesan sepi dan minim pengunjung.

Seperti halnya gadis lain, bengkel bukan tempat favorit Aruna. Bahkan untuk urusan oli mobil dia lebih sering meminta Lintang yang melakukannya. Dan secara otomatis menjadi tanggung jawab Jonathan. Kalau sekarang dia bersedia meluangkan waktu mengikuti ajakan Palupi, ya, karena sikap laki-laki itu menunjukkan satu dari tujuh kriteria yang dibuatnya. Bukankah usaha selalu berbanding lurus dengan hasil? Nah, kalau ingin mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginan maka harus berkorban. Salah satunya dengan duduk di bengkel Palupi. Bersabar dengan gerah yang membuat lehernya sedikit berkeringat. Menunggu laki-laki itu menyelesaikan pekerjaannya kemudian mengantar Aruna pulang sesuai janjinya tadi.

Sentuhan dingin di lengan membuat Aruna menoleh. Palupi kini berdiri di sebelahnya menatapnya sembari menyodorkan minuman kemasan. Alih-alih menerima botol minuman pemberian Palupi, Aruna malah terkesiap. Palupi tampan itu jelas. Sejak awal Aruna sudah mengakuinya. Postur tubuhnya yang gagah semakin tampak sempurna dengan hidung mancung dan besar plus mata hitam yang menyorotkan ketenangan yang menghanyutkan. Namun, penampilannya kali ini menunjukkan hal yang berbeda. Celana jin dan kaos tanpa lengan itu tidak hanya membuat Aruna lupa bernapas, tetapi sungguh sanggup mencabut nyawanya. Lengannya tidak terlalu berotot namun tampak begitu kokoh dan melindungi.

"Na," panggil Palupi sekali lagi. Botol minuman dengan titik-titik air di luar botol itu masih terulur ke arahnya.

Aruna kelagapan namun segera mampu menguasi keadaan. Diterimanaya botol minuman itu sembari tersenyum. Membuka tutupnya lalu minum secukupnya.

"Saya tinggal sebentar, ya, Na," pamit Palupi yang dijawab Aruna dengan anggukan.

Mobil-mobil itu datang dan pergi silih berganti. Satu mobil baru saja selesai ditangani kemudian datang satu lagi. Begitu terus silih berganti. Bahkan di saat mekanik dan Palupi sedang bersiap-siap menutup bengkel karena jam operasional menyisakan waktu sepuluh menit lagi, masih ada mobil yang datang dan pemiliknya memohon-mohon supaya Palupi menangai mobilnya.

Aruna sempat menahan napas. Khawatir Palupi luluh dan bersedia melakukan pemeriksaan kemudian lanjut melakukan perbaikan. Aruna memang menginginkan laki-laki dengan semangat kerja tinggi alias bukan pemalas. Tetapi memiliki suami gila kerja sampai lupa waktu bukan lelaki impiannya. Ah, ternyata kekhawatiran Aruna tidak terbukti, Palupi menolak dan meminta untuk datang lagi besok.

Tepat pukul setengah enam sore bengkel tutup. Satu per satu montir meninggalkan bengkel setelah yakin semua alat-alat mereka masuk ke dalam penyimpanan barang dan menguncinya.

"Yuk, Na," ajak Palupi begitu berada di hadapan Aruna. Penampilan laki-laki itu sudah segar kembali. Sama sekali tidak tampak kalau habis berkutat dengan oli dan mobil.

Aruna mengikuti Palupi menuju mobil laki-laki itu. Palupi membuka pintu untuk Aruna. Setelah gadis itu duduk di kursinya, cepat-cepat dia memutari mobil, masuk dan duduk di kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mobil, Palupi menoleh ke arah Aruna dan berucap, "Thank's, ya, Na, sudah mau menunggu." Diam sejenak sebelum akhirnya dia melanjutkan "Sebagai permintaan maaf untuk waktumu yang kacau hari ini, saya traktir makan malam. Tempat kamu yang tentukan."

Gadis itu menoleh. Merapatkan bibirnya sejenak. Enak juga ditraktir makan. Pakai menentukan sendiri pula tempatnya. Artinya dia bebas memilih dan Laki-laki di sebalahnya ini siap mengantar kemanapun. Hanya saja waktunya tidak pas. Ada pekerjaan yang harus dia dan Lintang selesaikan. Setengah jam yang lalu saja sepupunya itu sudah heboh mengingatkan untuk langsung ke toko.

"Thank's untuk tawarannya, Nat. Tapi, malam ini ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di toko. Saya harus segera balik ke sana." ucap Aruna. Ditatapnya Palupi sambil tersenyum.

Palupi mengangguk maklum. "Kapan-kapan saya akan tetap traktir kamu. Demi ketenangan jiwa saya karena sudah membuatmu menunggu lama."

Aruna tersenyum mendengar kata-kata Palupi. Akhirnya dia memang harus menunggu. Sewaktu mereka datang yang terlihat hanya tiga mobil. Hanya saja, keluar satu masuk satu lagi. Bahkan belum selesai satu mobil sudah masuk satu mobil lagi. Aruna tahu, setiap kali mobil masuk, Palupi menoleh ke arahnya dan menunjukkan ekspresi rasa bersalahnya.

"Boleh. Percaya lah, saya bukan tipe yang suka menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi ditraktir," ucap Aruna sembari menoleh dan tersenyum. "Saya takut kamu yang enggak kuat melihat selera makan saya yang naik lima tingkat setiap kali ada yang bayarin."

"Perlu kamu ketahui juga, semangat saya naik lima tingkat setiap kali ada yang bersedia menerima ajakan makan dari saya. Kita lihat saja, setahan apa kamu menerima tawaran dari saya," ucap Palupi tidak mau kalah.

"Oke. Kita lihat saja nanti."

"Deal."

"Deal."

Palupi menjalankan mobilnya melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin belum. Langit senja kemerahan mengiringi perjalanan mereka. Aruna melirik ke sebelah kanan. Menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya. Jantungnya berdegup lebih kencang. Wajahnya memanas karena Palupi juga melakukan hal yang sama. Tatapan mereka bersirobok. Menimbulkan gelenyar-gelenyar menyesakkan. Setelah saling lempar senyum, keduanya sama-sama melepas tatapan. Menatap jalanan dan orang-orang yang saling mendahului laju mobil mereka yang tidak terlalu kencang.

"Jadi, sebagian besar yang datang kebengkel peninggalan ayahmu itu, pelanggan-pelanggan semasa ayahmu masih hidup?" tanya Aruna. Tadi dia sembat mengobrol dengan salah satu pemilik mobil. Laki-laki tua itu bercerita kalau dia sudah menjadi pelanggan bengkel itu sejak masih dipegang ayah Palupi.

"Beberapa. Sebagian sudah meninggal. Hanya saja sebagian diganti oleh anak-anak mereka."

"Pelanggan warisan," gumam Aruna. Ada begitu banyak hal yang bisa diwariskan. Harta, kebaikan, kebencian, dendam, dan hari ini bertambah satu lagi yang Aruna ketahuai, pelanggan. Setiap orang tua bebas memilih apa yang akan mereka tinggalkan kepada anak-anak mereka. Dan bapaknya memilih mewariskan... ah, sudahlah, batin Aruna. Mood-nya selalu berubah buruk setiap kali mengingat seseorang yang dia sebut sebagai ayah. Suami dari ibunya. Yang orang-orang bilang mirip banget dengannya.

Tanpa sadar Aruna mengembus napas cukup keras. Embusan yang membuat Palupi meliriknya. Palupi ingin bertanya namun saat melihat gurat sedih meski samar kini mewarnai wajah gadis itu, dia urung melakukannya dan memilih membiarkan Aruna sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai mobil Palupi berhenti di depan Nantang's Bread&Coffe tidak ada lagi obrolan antara mereka.

Palupi membukakan pintu mobil untuk Aruna, mempersilahkan gadis itu turun.

"Thank's," ucap Aruna.

Palupi menutup pintu penumpang mobilnya, memutar tubuh menghadap Aruna.

"Saya yang makasih kamu sudah sabar menunggu."

"Saya juga makasih sudah ditunjukin warung mi ayam super enak, ditraktir, diantar pulang."

Palupi tersenyum mendengar ucapan Aruna. Tetap saja tidak mau kalah, batinnya.

"Minggu sore, saya jemput."

"Oke," jawab Aruna. "Selamat malam".

"Selamat malam," balas Palupi, lalu kembali masuk ke mobil dan menjalankannya meninggalkan toko roti dan pemiliknya.


Bersambung.

Just Another BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang