pertemuan pertama.

1.4K 234 50
                                    

Felix, seratus persen, tak menyesali keputusannya kali ini.

Senyumnya mengembang dari detik pertama keberangkatan. Jika biasanya ia akan tertidur selama berada di perjalanan, kini sebaliknya, netranya terus terbuka dengan antusias melihat pohon-pohon yang sangat menyegarkan pemandangan.

Liburan kali ini, Felix tak pergi ke luar negeri. Meskipun tabungannya cukup untuk berkeliling Eropa, destinasi sederhana dari perjalanannya kali ini berakhir di kota dimana Pak Dani, supir pribadinya, tinggal.

Niat isengnya berubah menjadi sebuah rencana yang bahkan tak ia pikirkan matang-matang, namun sangat menyenangkan ketika dibayangkan. Rencana yang terbesit ketika Pak Dani bercerita tentang rumahnya yang berada di desa. Lingkungan yang masih belum terpapar asap kendaraan, lingkungan yang masih hijau, lingkungan yang masih asri.

Felix tak berhenti memuji ketika mobil yang dikendarai sudah keluar dari ramainya kota, sementara Pak Dani yang bertugas untuk mengantar Felix hanya tersenyum kecil menanggapinya.

Tak berlebihan ketika Pak Dani mendeskripsikan bagaimana tempatnya tinggal. Ketika Felix menurunkan kaca mobil, angin yang berhembus menerpa wajahnya sangat berbeda dengan angin panas yang terasa saat ia berada di Jakarta.

Mungkin, bagi sebagian besar orang, terkesan mengherankan untuk berlibur ke desa seperti ini. Apalagi, teman-temannya di kota mengolok-olok Felix karena datang ke desa, terkesan sangat tidak kekinian.

Desa ini, seperti desa pada umumnya. Bukan sebuah tempat wisata yang membuat banyak orang berdatangan. Sebuah desa di bawah kaki gunung, desa yang baru pertama kali Felix kunjungi karena ia tumbuh di gemerlapnya kota.

Setelah berjam-jam perjalanan, mobil yang Felix tumpangi berhenti didepan sebuah pekarangan rumah. Felix dengan tergesa keluar dari mobil. Seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat mainan, matanya tampak berbinar.

"'A, mari masuk. Maaf, rumah saya memang kecil, tapi kemarin saya sudah suruh istri saya buat bersih-bersih, dijamin nyaman buat ditinggali."

Felix yang masih berdiri di depan pintu mobil menoleh, "Iya, Pak. Terimakasih banyak. Nanti saya masuk," jawabnya sopan.

"Biar saya bawakan dulu kopernya."

Felix mengangguk dan tersenyum kecil. Bukannya masuk kedalam rumah, Felix memilih berjalan memasuki kebun kecil di samping rumah milik Pak Dani.

Dirinya kemudian memetik beberapa tomat yang sudah terlihat memerah cantik dan mengumpulkannya di telapak tangan. Satu genggam penuh tomat berhasil ia dapatkan.

"Ini 'Aa Felix yang dari kota? Duh, ganteng pisan. Mari masuk, saya sudah buatkan teh manis di dalam."

Felix yang tengah berjongkok, berjengit kaget. Pipinya memerah malu, seperti tengah melakukan sesuatu yang salah. Ya, memang pada kenyataannya dia sedang memetik buah yang bahkan ia ambil tanpa seizin pemiliknya.

Felix berdiri dan menunduk, kemudian meminta maaf karena perbuatannya. Wanita paruh baya dihadapannya yang ternyata istri dari Pak Dani, tentu saja memakluminya. Kemudian Felix kembali dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah, dan kali ini Felix tak menolaknya.

Rumah dengan dominasi warna biru dan putih itu memang tampak sederhana sekali, tetapi terlihat bersih dan nyaman. Bu Asmi, Istri Pak Dani, dengan hangat menyambut kedatangan Felix dan menggiringnya menuju ruang tamu. Disana ada kursi dan meja yang terbuat dari kayu, menghadap jendela yang langsung bertabrakan dengan pesawahan karena rumah ini memang berada di paling ujung.

"Tapi, Ibu sebelumnya mau minta maaf ya, 'A," ujar Bu Asmi setelah membawakan satu cangkir teh manis kehadapan Felix.

"Kenapa, Bu?" tanya Felix.

butterfly ; changlixWhere stories live. Discover now