2. OPERASI

33 4 0
                                    

True story, keep enjoy.

Aku percaya,
cobaan-Nya sesuai porsi kekuatanku.
Aku percaya,
kebahagian akan nyata meski masih kelabu.
Aku percaya semuanya.
Tuhanku, ada pada kalbu.

🌾🌾🌾🌾🌾

Siak, Riau 2017.

Deut ...

Benjolan di bagian sensitifku kembali berdenyut, memberi rasa ngilu yang berkelanjutan. Aku mencoba menengoknya, tepat di bawah ketiak kiri. Ah, sungguh, besarnya sudah hampir sama seperti kuning telur. Ini akan mengganggu segala aktivitasku di hari ini.

"Alea!" Panggilan ibu menggema ke seluruh sudut rumah yang berhasil mengetuk dan masuk ke dalam gendang telingaku.

Aku kembali merapikan baju yang sudah kukenakkan dan membalut kepala ini menggunakan kerudung segi empat bermotif bunga. Cermin itu memantulkan senyum yang baru kusadari akhir-akhir ini, bahwa aku manis. Aku menatap cermin tersebut lebih lamat. Alea! Kuat untuk diri sendiri, ya. Kamu bisa.

"Sudah hampir jam delapan, Nak!" Lagi-lagi suara ibu menggema, membuyarkan monologku. Cermin mungkin langsung menertawakanku.

Hari ini, seperti biasa aku mengawali pagi dengan membersihkan toko ATK, tempat di mana aku bekerja, yang bukan hanya ATK, di sini pun menyediakan jasa potokopi. Namun, denyut ini terus mengganggu konsentrasiku. Aku juga sangat kelelahan, entah apa yang sebenarnya tumbuh pada wilayah tubuhku yang satu ini.

Hingga detik, menit, jam dan hari pun berlalu. Aku semakin lemah. Hingga ayah pun ibu menyuruhku resign dari pekerjaan.

Dunia seperti runtuh begitu saja, menimpaku hingga tak berdaya. Kalimat yang terlontar dari sang Dokter telah merobek hati dan perasaanku saat ini. Aku didiagnosis mengidap FAM (Fibroadenoma mamae); sejenis tumor jinak. Tepatnya aku terkena tumor payudara, yang bahkan sudah ada lima titik benjolan, bukan hanya satu. Ini adalah alasan dokter sulit untuk mengoperasiku, karena terlalu banyak yang harus dibedah, belum lagi jamkesda yang kumiliki, tidak bisa membantu banyak. Detik itu juga, tak terasa airmata ini terjun pada dataran pipi yang tirus.

Namun suatu keajaiban yang Allah berikan kepada hidupku. Paman Wildan, satu-satunya keluarga yang hidupnya bersanding dengan kekayaan, berhasil menolongku yang sempat gagal operasi. Hari itu pun, nasib baik berpihak padaku.

💟

"Alea, beli soto, yo!" Amel, teman satu kelasku mengajak ke kantin usai bel istirahat dibunyikan.

Aku bergeming, menatap lembaran uang bernilai seribu rupiah. Napasku terhenti sedetik. Jangan mengeluh, Alea! Masih dapat satu gorengan, Kok.

"Dek?!"

Satu pekikan suara yang terdengar dari ranjang sebelah, telah mengagetkanku. Lamunan tentang masa lalu saat sekolah memang membuatku nyaris bersedih. Semenjak hari itu, aku memang hobi sekali memakan gorengan yang otomatis lemak jahat banyak masuk ke dalam tubuh ini. Tidak tanggung-tanggung aku melakukan hobi itu sampai tiga tahun berturut-turut. Ini yang menyebabkan FAM memilih tubuhku sebagai sasaran.

"Dioperasi itu gak sakit, kok. Tenang saja. Ibu juga pengidap tumor payudara. Kamu gak sendirian."

Aku menatap haru ke arahnya. Lihatlah, bahkan dia lebih parah dari pada aku. Yang kutahu kepalanya botak akibat efek samping dari kemotrapi.

Aku tersenyum, lalu mengucapkan rasa syukur pada Ilahi Rabbi.

Detik berikutnya adalah yang paling mencengkam. Aku dibawa masuk ke ruangan operasi. Sungguh, jantung ini terpacu begitu hebatnya setelah kedua bola mata berhasil menangkap alat-alat kesehatan yang menurutku sangat menyeramkan. Belum lagi, pakaian yang dipakai oleh dokter dan para suster yang berwarna hijau, sangat awam bagiku. Peluh dingin pun mengucur hebat pada pelipisku. Tangan ini tak mau kalah, dengan beraksi mencengkram bahan dari celana yang kukenakkan sekarang. Mataku tak lepas menatap sang Dokter dan para suster, mereka mulai berbincang dan ... tidak! Mereka akan membiusku sekarang juga.

ANTOLOGI CERPEN NASIHAT HIDUP (ON GOING) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt