Merindu Jingga

182 0 3
                                    

Di savana biru atas ubun-ubunku

Mega-mega kemuning mengaksarakan namamu

Sebelum anak-anak hujan menghapusnya hingga tak berjejak

Membuat aku menekur rindu di bumi sendirian menanti jingga berikutnya

Jaket jeans dengan warna memudar dan sudah lecek sedikit basah karena gerimis sejenak tadi. Gerimis yang hanya mampir mengapungkan rindu dari dasar hati yang sudah lama mati suri karena jiwanya hilang. Rambut dipotong satu centi tidak terhalang topi seperti biasanya. Pemilik mata elang itu selalu melewati jalan Anggrek di samping taman yang sudah tidak terurus. Sungguh, angin pun enggan menyapanya. Mereka takut sisa-sisa sepi itu terbawa dan mereka kehilangan gemerisik di antara buluh kerinduan anak dewa.

"Kak Biru!" suara cempreng milik Arunida tiba-tiba memanggilnya. Tubuh kecil dengan gitar--tidak bagu--berlari kecil ke arah dia, Biru, agak tergesa. Arunida bungkuk sebentar mengatur nafas yang sudah tidak beraturan.

"Kenapa, Ni?"

"Aruni tadi ketemu orang yang nanyain Kak Biru."

"Di mana?"

"Di rumah. Tapi gak nitip pesen apa-apa. Nanti dia balik lagi katanya."

Biru hanya ber-oh sedikit sebelum menyuruh Aruni pulang dan dia berbalik melanjutkan jalan ke arah barat. Entah kemana. Mungkin mencari mentari yang sudah hilang kemuning--tidak pada waktunya--karena mendung. Aruni hanya cemberut sedikit. Tidak banyak karena sebenarnya sudah tidak asing lagi melihat Biru seperti itu. Dingin dan...kesepian. Rambut sebahu Aruni bergoyang mengikuti tubuhnya yang dibawa berlai kecil sambil berdendangkan lagu Libur Telah Tiba. Walau sudah kuno--kata teman-teman Aruni--Aruni tetap menyukai lagu itu. Katanya liburan itu adalah milik orang gedongan.

"Kakak, nanti malam pulang kan?" Aruni berbalik sejenak dan berteriak keras. Biru yang terlihat punggungnya semakin mengecil itu hanya mengangguk dan mengangkat jempol kanannya. Itu berarti nanti malam akan makan nasi goreng lagi. Aruni tersenyum kembali melangkah.

Lampu yang berganti warna dengan cepat di dalam ruangan temaram dengan suara musik keras khas R n B memekakan telinga penyuka sepi. Asap roko sudah mengalahkan kabut musim kemarau separuh tahun ini. Rumah sakit paru-paru sepuluh tahun lagi akan penuh. Ada ratusan orang di ruangan itu, jika separuhnya saja yang menjadi perokok aktif, berarti semua orang akan menjadi korbannya. Langit menghentakan kakinya ke lantai. Sepatu kets berwarna biru dan celana jeans biru sudah kusam menjadikannya dapat bergerak ringan.

Langit memilih duduk di meja agak pojok. Masih ingin diam saja menikmati puntung rokok mentholnya yang masih panjang. Hanya saja matanya tetap meyusuri sekeliling ruangan. Mata elangnya mencari anak dewa yang sudah tidak bisa terbang ke langit karena mereka mematahkan sayapnya. Mata itu sudah lebih tajam dari mata kucing saat melhat dalam gelap. Dia sudah terbiasa berfungsi hampir sama optimalnya saat melihat di tempat terang. Gegap gempita itu menelan ricuh mentah-mentah sehingga telinganya malah terlalu sepi. Hanya malaikat di langit yang bisa menerjemah sepinya. Sepi terurai begitu saja bagai nafas yang tersembuh setelahnya sudah. Hilang begitu saja.

Rokok menthol yang hanya tinggal batang filternya saja itu diinjak Langit. Sudah habis. Langit menghela nafas panjang--entah berat atau apa--sebelum bangun dan mulai bergerak. Langkahnya ke arah pojk paling barat. Seorang perempuan berpenampilan menakjubkan dengan stiletto, blezer, rok sempit di atas lutut, dan rambut di sanggul acak-acakan ber-make up tipis. Tipe perempuan frustasi karena turun jabatan, dipecat, atau cerai. Langit mengulum senyum melihatnya. Senyum yang mengasihani orang-orang yang terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Mengutuk diri sendiri. Tanpa mau menunduk atau menoleh dan tidak bersyukur. Egois.

Cinta Separuh DewaWhere stories live. Discover now