Paragraf 6 ; Strange Feeling

Start from the beginning
                                    

Acara hari pertama pun telah usai, tetapi Runa masih enggan untuk pulang karena hari masih siang. Jadi, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus, sambil menikmati pemandangan para mahasiswa yang sedang hilir mudik. Kebetulan ia saat ini melewati kantin kampus, sehingga ia memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari membeli minuman karena ia pun sebenarnya sudah merasa haus.

"Loh, kamu ada di sini rupanya. Aku kira sudah pulang."

Runa menolehkan kepalanya ke samping kanan setelah mengambil minuman pesanannya, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok yang sudah tidak asing lagi baginya. Untung saja ia belum meminum minumannya, bisa-bisa ia tersedak ketika melihat sosok lain yang datang bersama dengan lelaki yang menyapanya itu. Evan, dan juga Saga.

'Argh! Kenapa mereka ada di mana-mana? Bisakah aku tidak bertemu dengan merekaㅡah maksudku tidak bertemu dengan lelaki dingin itu sehari saja? Apa jangan-jangan mereka juga berkuliah di sini? Sial!'

"Oh, hai. Kebetulan sebentar lagi aku memang mau pulang, hehe."

"Evan, apa ini alasanmu mengajakku kemari? Apa untuk menemui wanita tidak tahu diri ini?"

'Tahan, sabar, aku sedang tidak ingin mengumpat. Aku juga sedang tidak mood untuk adu mulut dengannya. Sabar..."

"Bang Ga, aku benar-benar harus menemui dosen sebentar di sini. Alasanku memaksa abang ikut kemari juga agar abang tidak berada di rumah terus. Tapi kebetulan sekali aku malah bertemu dengannya di sini. Jadi, ehm... apa kamu bisa menjaga bang Saga sebentar di sini? Aku tidak akan lama. Hanya beberapa menit. Tolong."

Sebelum Runa sempat membalas ucapannya, Evan sudah lebih dulu berlari dan meninggalkan keduanya. Tentu membuat Saga terlihat kebingungan karena tadi ia memang tidak sempat membawa tongkatnya karena Evan terlihat sangat terburu-buru. Daripada di rumah sendirian karena Wira yang menjemput Sean di pusat rehabilitasi, lebih baik Evan mengajak dirinya untuk ikut dengannya ke kampus. Begitu pikir Saga.

Padahal sebenarnya ini semua sudah direncanakan oleh Evan pagi tadi. Ia sudah menghubungi Radit untuk meminta jadwal Runa, sehingga lebih memudahkan dirinya untuk memantau aktivitas Runa selama di sini. Dengan berpura-pura pergi ke kampus karena sang dosen ingin bertemu dengannya karena hal mendesak, ia akhirnya berhasil melancarkan aksinya.

Mereka berdua kini hanya berdiri terdiam karena merasa sangat canggung dalam keheningan, namun beberapa saat kemudian Runa langsung menarik tangan Saga ketika ada segerombolan lelaki yang tengah berjalan ke arah mereka. Tanpa meminta izin Saga terlebih dahulu, Runa segera mengarahkan telapak tangan Saga ke sebuah bangku kosong agar ia bisa meraba permukaan bangku, lalu Runa membantu Saga untuk duduk sembari menunggu Evan.

"Mau ku belikan minum?"

"Tidak perlu."

"Baiklah."

Suasana kembali hening. Saga bahkan masih merasakan ada yang aneh dari dalam dirinya, karena baru kali ini ada seseorang yang langsung mengerti keadaannya tanpa bertanya seperti orang kebanyakan. Jujur saja, alasan ia malas keluar rumah juga karena orang-orang yang selalu memandangnya aneh, dan ada pula orang-orang yang terlihat mengasihaninya karena keterbatasannya.

Ditambah kebanyakan orang juga tidak tahu bagaimana cara memperlakukan seseorang yang memiliki keterbatasan penglihatan sepertinya, membuatnya lebih senang untuk mengurung diri di dalam rumah. Namun, entah mengapa wanita yang duduk di sampingnya ini sangat berbeda. Bahkan dari awal pertemuan mereka juga Runa tidak pernah menanyakan tentang kekurangannya, atau mungkin meminta izin terlebih dahulu ketika hendak menolongnya.

'Apa dia sengaja melakukan ini untuk menarik perhatianku?'

Saga mengerutkan keningnya ketika tangannya tidak sengaja meraba bangku di sebelahnya. Runa tidak ada di sampingnya. Padahal ia yakin beberapa saat yang lalu wanita itu masih duduk tidak jauh darinya. Kini Saga mulai panik. Jujur ini pertama kalinya juga ia keluar rumah dan berada di keramaian seperti ini. Ia takut dengan pandangan aneh orang-orang yang akan merendahkan kekurangannya. Pun, ia juga takut jika tidak bisa pulang.

"Hei, kamu masih ada di sini, bukan? Hei! Leluconmu tidak lucu! Apa kamu sudah pergi? Hei!!!"

"Aku punya nama. Namaku Runa. Lebih tepatnya Aruna Senja."

Dengan santainya, Runa menjejalkan sepotong tteokbokki ke dalam mulut Saga yang masih setengah terbuka, membuat Saga terkejut hingga hampir tersedak. Untungnya Runa segera menyodorkan sebotol minuman untuk Saga dengan meletakkan minuman tersebut ke tangannya, dan Saga pun langsung meminumnya.

"Tteokbokki di sini enak sekali ternyata. Akhirnya perutku terisi juga. Aku lapar sekali."

Tanpa diduga, jantung Saga berdetak lebih kencang dari biasanya, sampai-sampai ia mengira jika ia terkena serangan panik. Runa yang melihat kebingungan di wajah Saga itu hanya bisa tersenyum kecil, lalu memilih untuk duduk di samping Saga sembari memberikan tepukan kecil di punggungnya, sekadar untuk menenangkannya.

"Mana mungkin aku tega meninggalkanmu sendirian di sini. Meskipun kamu sangat menyebalkan, tetapi aku bukan orang yang seperti itu. Aku akan menemanimu sampai adikmu datang."

Evan yang memantau dari kejauhan, hanya bisa tersenyum puas karena keinginannya untuk mendekatkan Saga dengan Runa berhasil. Masih terlalu dini untuk dikatakan berhasil memang, tetapi ia melihat ada sedikit perubahan dari Saga. Saga terlihat sedikit melunak kepada Runa, dan menurutnya itu akan menjadi awal yang bagus.

"Seorang Saga yang terkenal dingin dan keras seperti es batu, sebentar lagi pasti akan melunak dan mencair. Tenang saja, bang. Aku yakin jika wanita itu pasti bisa mengubah abang menjadi bang Saga yang dulu."

***

PARAGRAFWhere stories live. Discover now