2. Sandi

45 11 25
                                    

Aku tahu dia sejak bangku kelas sepuluh. Hubungan kami hanya sebatas teman kelas, yang tak kunjung berubah selama satu tahun. Teman kelas dalam artian duduk bersama di satu ruang, bukan sejenis teman dekat, atau teman saja.

Kami tidak pernah terlibat obrolan serius, bahkan seingatku saling sapa saja tidak pernah. Tunggu dulu, aku tahu dia karena sebatas satu kelas, bukan sengaja ingin menyimpan namanya di dalam kepala dengan alasan kesan khusus.

Dia hampir tidak terlihat. Jika absen kelas tidak diberlakukan, dan jika namanya tidak selalu disebut dalam daftar peringkat, aku yakin kehadirannya akan benar-benar tidak disadari siapapun. Maaf, tapi begitulah menurutku.

Hingga Hukum Kepler yang baru-baru ini kukenal di kelas sebelas, membawaku untuk tidak sekadar mengetahui dia, tapi juga mengenal. Ibu Nining membagi kelas kita menjadi beberapa kelompok, saat itu beliau menunjuk ke arah dia lantas berpindah ke arah wajahku sambil berkata, "Kamu ... ajarin Sandi." Hal sama yang beliau lakukan pada murid lain.

Aku kira hanya sampai di situ. Namun, ada hal lain.

Dia sering pergi sendirian ke ruang bimbingan konseling, dia sering tergesa-gesa pergi ke toilet, dia sering menelungkupkan tangan untuk dijadikan bantal di saat semua murid pergi ke kantin, dan terakhir, permulaan di balik tahunya aku akan semua hal sering miliknya, selepas futsal tempo lalu, aku memergokinya menangis di ruang kelas yang sudah kosong.

Tidak sepatah kata pun aku lontarkan. Kubiarkan saja dia melewatiku dengan tangannya yang sibuk menghapus air mata. Namun, tidak dengan esoknya. Kujadikan saja Hukum Kepler sebagai alasan, untuk mengajaknya ke kantin, misal. Atau untuk bertanya langsung pulang atau tidak, dengan terlebih dahulu basa-basi bagian soal yang baru dikerjakan–takut-takut dia menangis sendirian lagi.

Aku hanya, entahlah. Semuanya mengalir begitu saja, kau tahu.

Tidak terasa, ujian Hukum Kepler berakhir memuaskan. Dia juga lebih sering mengobrol denganku ketimbang sebelumnya. Begitupun teman kelas yang berakhir menjadi ... teman, saja.

Kemarin aku melihatnya berdiri dengan kedua siku tertumpu pada pembatas loteng. Entah cuma tatapannya saja atau isi kepalanya juga yang berfokus pada langit di atas sana. Namun, pancaran sendu di air mukanya masih sama.

Aku menghampiri, lalu membual. Kubilang, "Setelah tujuh belas tahun aku tahu langit, baru akhir-akhir ini aku bisa ngenalin dia. Aku pernah ngeliat langit yang bener-bener bersih, cuma biru, kosong. Aku juga pernah ngeliat langit berawan, gumpalannya kentara jelas, putih. Dan besoknya, aku ngeliat langit berawan lagi, tapi mendung."

Dia masih diam, mendengarkan. "Yang akhir-akhir ini aku liat di kamu itu ... yang terakhir. Dan sama kaya langit, yang di kamu pun, nanti pasti bakal berubah."

Satu kata yang dia lontarkan padaku sama sekali tidak bisa aku jawab. Walau bagaimanapun, aku tetap tidak bisa menjanjikan apa-apa.

"Kapan?"

[]

zoloftWhere stories live. Discover now